Menyambut Anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024, editorial Koran Tempo menantang para anggota Dewan yang baru. Inti tulisan itu mendorong agar para wakil rakyat segera memembuktikan bahwa mereka tidak akan seburuk parlemen sebelumnya.
Kenapa nadanya pesimistis? Sikap editorial ini dilatari oleh realitas bahwa kualitas demokrasi kita yang tengah menurun seiring dengan menguatnya oligarki. Parlemen dikhawatirkan cenderung melayani para elite penguasa ketimbang memperjuangkan aspirasi khalayak.
Hal itu sudah terjadi pada DPR periode lalu. Kinerja legislasinya amat buruk. Mereka pun terburu-buru ingin mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang yang akhirnya justru memicu demonstrasi mahasiswa.
Nah, dalam tulisan itu setidaknya ada dua tantangan yang perlu dijawab oleh DPR pimpinan Puan Maharani. Jika parlemen sekarang berani dan sanggup menjawab tantang ini tentu akan jauh lebih lebat ketimbang DPR era sebelumnya
Tantangan pertama
Jika DPR periode sekarang ingin mengukir prestasi, mereka bisa memulainya dari pembahasan RUU yang mengundang kontroversi. Di antaranya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Pertanahan. DPR periode sekarang semestinya bisa membahas ulang semua rancangan itu dengan menyerap aspirasi publik.
Seperti diketahui, sederet RUU itu dikritik karena lebih banyak melindungi kepentingan penguasa ketimbang masyarakat. Rancangan KUHP, misalnya, memuat pasal penghinaan yang bertujuan menjaga martabat presiden dan wakil presiden. RUU Permasyarakatan juga menjadi sorotan karena memberikan hak remisi dan rekreasi bagi koruptor. Adapun RUU Pertanahan lebih memihak pada kepentingan pengusaha. Konsesi pemakaian tanah negara dipermudah dan diberikan dalam jangka waktu yang lebih lama.
Tantangan kedua
Tantangan ini lebih berat: mengoreksi kesalahan DPR periode lalu yang merevisi Undang-Undang KPK. Parlemen telah mengebiri wewenang lembaga yang selama ini dinilai sebagai produk terbaik era reformasi itu. Melemahkan KPK juga sama saja dengan menghentikan perang terhadap korupsi.
Untuk mengembalikan kekuatan KPK, anggota Dewan yang baru hanya perlu bersikap pro-upaya pemberantasan korupsi. Mereka bahkan cukup mendukung langkah Presiden Joko Widodo jika ia menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan revisi UU KPK.
Keberanian anggota DPR untuk menerima kehadiran KPK yang kuat otomatis akan memulihkan kepercayaan publik terhadap parlemen. Artinya, anggota Dewan harus siap bekerja tanpa tergoda korupsi, sehingga tidak perlu ditangkap KPK. Sebanyak 23 anggota Dewan periode lalu, termasuk Ketua DPR, harus masuk penjara karena terjerat kasus korupsi.
Menurut editorial itu, tantangan tersebut sebetulnya tidak terlalu muluk-muluk dan sesuai dengan aspirasi para mahasiswa yang berdemonstrasi. Adanya KPK yang kuat untuk memerangi korupsi juga merupakan keinginan khalayak. Sesuai dengan janji anggota DPR ketika dilantik, bukankah mereka harus mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pribadi atau partai politik? ****
Ikuti tulisan menarik Y. Suprayogi lainnya di sini.