Banyak sekali pejabat yang menyampaikan penolakan terhadap rencana Presiden Joko Widodo menerbitkan perpu pembatalan revisi UU KPK. Alasan mereka ada yang logis, tapi tak sedikit juga yang aneh. Pernyataan Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan termasuk yang janggal.
Luhut berpendapat, Jokowi tak bisa serta-merta menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (perlu) pembatalan revisi UU KPK karena produk hukum itu telah diproses oleh lembaga yudikatif.
"Enggak bisa lagi terbitkan Perpu (KPK) karena sudah ditangani yudikatif dan diproses judicial review," ujar Luhut di Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta Selatan, Rabu, 2 Oktober 2019. Ia mengatakan UU KPK yang disahkan DPR telah digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh masyarakat.
Mari kita kita telaah fakta yang terjadi untuk memperlihatkan bahwa pernyataan Luhut tidak tepat.
Gugatan ke MK
Gugatan uji materil memang diajukan oleh diajukan 18 mahasiswa, dengan kuasa pemohon yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Sidang perdana gugatan itu telah digelar dilaksanakan, Senin 30 September 2019.
Para penggugat mempersoalkan proses revisi UU yang cacat prosedur karena tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas. Zico cs juga mempermasalahkan rapat paripurna pengesahan revisi UU KPK yang dianggapnya tidak kuorum.
Hanya, Hakim MK Enny Nurbaningsih menilai uji materi itu tidak jelas karena revisi Undang-undang KPK belum teken oleh Presiden dan masuk dalam lembaran negara. Artinya UU baru ini belum ada nomornya kendati sudah disetujui oleh DPR.
Hakim MK meminta penggugat memperbaiki gugatan itu. Artinya, penggugat harus menunggu Presiden meneken revisi UU KPK.
Tak Halangi Langkah Presiden
Gugatan ke MK itu sebetulnya tidak menghalangi kebijakan Presiden. Hal ini bahkan sudah dipraktek di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2 Oktober 2014. Saat itu SBY meneken UU No 22/2014 tentang pemilihan kepala derah oleh DPRD. Nah, setelah itu, Presiden juga langsung mengeluarkan Perpu No 1/2014 yang membatalkan undang-untung itu.
Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah juga sempat dibawa ke MK. Pada sidang MK pada 13 Oktober 2014, Hakim MK Arief Hidayat mengatakan ada dua kemungkinan. Pertama, para pemohon mencabut kembali pemohonannya. Kedua, permohonan masih dapat diteruskan dengan konsekuensi obyek permohonan tidak ada. "Silakan, apakah mau diteruskan atau tidak," tutur Arif
Beberapa tim pemohon langsung mencabut permohonannya. Mereka yang mencabut antara lain Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan Koalisi Perempuan Indonesia.
Kuncinya pada Presiden
Urusan membuat perpu, sebetulnya bergantung pada presiden. Tak mungkin revisi UU KPK digugat ke MK lantaran barangnya belum ada. Produk itu menjadi ada kalau sudah diteken Presiden dan diberi nomor . Hanya, produk itu akan “hilang” lagi kalau Presiden langsung mengeluarkan Perpu pembatalan seperti yang dilakukan SBY. ****
Ikuti tulisan menarik Anas Muhaimin lainnya di sini.