x

Babinsa Koramil 0815/12 Ngoro Sertu Samhudi Dampingi Petani Bajak Sawah

Iklan

oudi tiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Oktober 2019

Senin, 7 Oktober 2019 13:45 WIB

Ironi Sektor Pertanian, Saatnya Menggalakkan Petani-petani Muda

Sektor pertanian yang digadang-gadang menjadi kebanggaan Indonesia sebagai negeri agraria, bagaimana nasibnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memori saya terbawa pada suasana sepuluh tahun lalu. Saat bapak dan ibu guru mengenalkan Indonesia sebagai negeri agraris, negeri yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Nampaknya julukan ini tidak akan bertahan lebih lama lagi.

Tahun 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data luas lahan dengan metodologi Kerangka Sampel Area (KSA) menggunakan data hasil citra satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Terlihat adat menunjukkan angka 7,1 juta hektare, alias telah berkurang 0,65 juta hektare dari tahun 2017. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan penurunan luas lahan tersebut dipicu oleh gencarnya alih fungsi lahan.

Alih fungsi lahan yang dilakukan tentu saja tidak terlepas dari fakta bahwa sektor pertanian yang tak lagi menjanjikan untuk kesejahteraan. Dana hasil Rp 16 Triliun pengalihan subsidi BBM yang dilakukan pada tahun 2015 lalu, untuk irigasi, juga tidak banyak membawa perubahan di sektor pertanian. Terbukti bahwa penurunan luas lahan pertanian terus terjadi hingga saat ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal ini kian diperparah adanya penurunan jumlah rumah tangga usaha tani secara signifikan. Data hasil Sensus Pertanian (ST) tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga usaha tani (petani) berkurang sebanyak 5,1 juta rumah tangga selama 10 tahun terakhir. Hal ini menimbulkan dilema tersendiri karena di satu sisi penurunan jumlah rumah tangga usaha tani akan meningkatkan rata-rata luas lahan pertanian yang dikuasai petani dan menurunkan jumlah petani gurem. Tetapi, di sisi yang lain hal ini merupakan ancaman terhadap keberlanjutan produksi pangan nasional.

Perlu diketahui bahwa Rumah tangga pertanian menurut BPS adalah rumah tangga dimana ada satu atau lebih anggota rumah tangga yang mengelola usaha pertanian, baik usaha milik sendiri maupun milik pihak lain. Berkaca pada hal itulah, tak ayal pemuda saat ini tidak lagi tertarik dengan pertanian karena dianggap tak mampu meningkatkan kesejahteraan. Mereka yang menempuh pendidikan tinggi di bidang pertanian pun diliputi dilema akan masa depan, hasilnya memilih mengabdi pada perusahaan alih-alih mengabdi pada sektor usaha tani.

Ironi dari sektor pertanian tak cukup sampai di sini. Beberapa waktu lalu pada sidang paripurna DPR, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan. Pemerintah dan DPR mengklaim UU ini akan melindungi petani, akan tetapi sejumlah organisasi dan lembaga pertanian serta akademisi memiliki pendapat yang berbeda. Menurut Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan (KRKP) Said Abdullah, pengesahan UU ini justru akan membatasi ruang gerak petani, apalagi petani kecil dalam mengembangkan varietas. (Kompas,2019)

Seperti kita tahu sebagian besar petani Indonesia merupakan petani gurem yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Berdasarkan hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS 2018) jumlah petani gurem bertambah sebesar 10,95% dari tahun 2013 yaitu sebanyak 15,8 juta rumah tangga. Padahal beberapa penelitian menyatakan bahwa Break Event Point(BEP) dan surplus usaha tani untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai, bisa tercapai jika petani mengusahakan lahan pertanian minimal 0,5 hektar. UU dengan realisasi yang membatasi petani justru akan membuat petani gurem akan semakin jauh dari kata sejahtera.

Terlebih lagi, dalam data SUTAS 2018 terhitung hanya 15 persen dari petani kita yang menggunakan internet selama setahun terakhir. Hal ini tentu saja menjadi sebab petani kita sulit mengikuti perkembangan teknologi pertanian. Ditambah dengan UU yang membatasi penyuluh pertanian hanya dapat dilakukan oleh kalangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pasal 95 ayat 2) yang tentu saja akan mempengaruhi produktivitas dan kompetensi petani.

Permasalahan-permasalahan seperti inilah yang kemudian membuat generasi muda enggan melirik sektor pertanian. Padahal sebagai negeri dengan julukan negeri agraris sepantasnya sektor pertanian ini menyejahterakan masyarakatnya. Terbukti dalam data SUTAS 2018 usia petani didominasi pada kelompok umur 45 sampai 65 tahun. Sedangkan petani muda yang berusia kurang dari 25 tahun hanya berkisar pada angka 0,69 persen.

Berkaca pada kondisi ini, minat generasi muda terhadap profesi petani dan usaha pertanian haruslah digalakkan. Hal ini bisa terwujud apabila sektor pertanian menjadi lapangan pekerjaan yang menjanjikan secara ekonomi. Artinya, pendapatan petani harus ditingkatkan baik melalui insentif maupun bantuan subsidi impor. Perlindungan petani terhadap produk impor melalui jaminan harga yang menguntungkan hasil produksi petani juga penting dilakukan mengingat marak sekali produk impor yang akhir-akhir ini menyerang pasar Indonesia.

Jika tidak demikian, swasembada beras, swasembada daging, dan target-target yang diciptakan sebagai janji manis pemimpin negara mungkin hanya akan berhenti sebagai mimpi saja.

Ikuti tulisan menarik oudi tiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler