x

Iklan

Arip Apandi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Oktober 2019

Rabu, 16 Oktober 2019 10:12 WIB

Mengenal Pemikiran Ayn Rand soal Seni Ideal

Pemikiran Ayn Rand tentang seni dan sastra ideal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya tidak tahu sejauh mana orang-orang Indonesia mengenal Ayn Rand. Khususnya, apakah karya-karya tulis Ayn Rand sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia? Saya tidak tahu apakah karya-karya terkenal Ayn Rand sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia, seperti Atlas Shrugged, The Fountainhead, We The Living, The Romantic Manifesto: A Philosophy of Literature.

Terlepas dari itu semua, di sini saya hendak mengenalkan Ayn Rand pada pembaca, khususnya pembaca Indonesia, tentang pandangan dia mengenai seni ideal, dengan penekanan khususnya pada sastra. Bukan tanpa alasan, kita hanya sering mendengar gagasan tentang seni sejati dari tokoh-tokoh besar seperti Plato, Aristoteles, Horace, Immanuel Kant, Hegel, dll.

Dari para filsuf terkenal itu, gagasan tentang kesenian mengambil bagian yang cukup signifikan dari sistem filsafat yang telah mereka kembangkan. Sedemikian pentingnya seni bagi mereka membuat topik kesenian terus-menerus dibicarakan, bahkan masih menjadi bahan perdebatan hingga sekarang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitu pun dengan Ayn Rand. Lewat karyanya yang berjudul The Romantic Manifesto: A Philosophy of Literature, Ayn Rand turut ambil bagian dalam perdebatan seni pada abad ke-20. Di situ Ayn Rand menggugat gagasan kesenian yang dibawa realisme seni. Ayn Rand Menggugat gagasan kesenian sebagai representasi naif atas realitas. Baginya, seni (sastra) itu bukanlah fotografi. Ayn Rand juga menyindir ide tentang seni sebagai sesuatu yang harus "mendidik" seperti yang dicetuskan Horace. Ayn Rand memandang rendah kesenian (kesusastraan) didaktis, seni bukan pamplet politik ataupun alat propaganda.

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud Ayn Rand mengenai seni ideal? Kita akan mendapatkan jawabannya dalam karya terkenal Ayn Rand yang berjudul The Romantic Manisfesto: A Philosophy of Literature.

Ayn Rand: Selayang Pandang

Bernama asli Alyssa Alice Rosenbaum, Ayn Rand, yang lahir pada tahun 1905, merupakan keturunan keluarga Yahudi borjuis. Ayn Rand kecil berbeda dengan kawan-kawan sebayanya. Intelegensi tinggi sudah nampak pada diri Ayn Rand ketika usianya masih sangat belia. Tindakan dan perilakunya sangat berbeda; dia merasa bahwa sekolah itu membosankan, kesulitan memiliki teman, dan memiliki antusiasme yang tinggi terhadap gagasan-gagasan dari para pemikir. Dan di usia sembilan tahun, Ayn Rand sudah memulai aktivitas menulis (Merril, 2013: 19).

Dikenal sebagai figur kreatif dan berdiri di atas kaki sendiri, Ayn Rand merupakan salah satu dari sekian banyak figur pemikir kontroversial pada abad ke-20.

Tulisan-tulisannya memantik siapa pun untuk berpikir. Menariknya, Ayn Rand menuliskan gagasan filosofisnya tentang kehidupan itu dengan mode fiksi. Ini tentu mengingatkan kita pada gagasan Albert Camus dan Nietzche tentang peleburan antara batas filsafat dan sastra. Albert Camus pernah mengatakan bahwa aktivitas berfilsafat semestinya dituangkan dalam bentuk sastra, dan sudah pasti bahwa novel sejati adalah novel yang berisi diskursus-diskursus filosofis-metafisis (McBride, 1992: xi).

Begitulah Ayn Rand; seorang pemikir yang menuangkan gagasan filosofisnya dengan gaya sastrawi.

Kesuksesan Ayn Rand dimulai lewat karyanya yang berjudul The Fountainhead. Popularitas Ayn Rand kemudian semakin meningkat lewat karyanya yang berjudul Atlas Shrugged. Pada minggu pertama penjualannya, Atlas Shrugged dicetak sebanyak duaribu salinan di Amerika, melampaui penjualan novel terkenal lainnya seperti The Fellowship of The Ring.

Pada tahun 1991, sebuah survey yang dilakukan oleh Book of the Month Club menyebutkan bahwa Atlas Shrugged menjadi buku kedua yang paling dicari orang-orang setelah Bible. Ketika krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008, Atlas Shrugged dicetak ulang sebanyak enam ribu salinan (Merrill, 2013: 1-2). Itu belum termasuk karya-karya Ayn Rand lainnya. Menurut Foundation for Economic Education (2018: 8), penjualan dari keseluruhan karya Ayn Rand menembus angka tigapuluh juta salinan. Tidaklah mengherankan jika di Amerika sana ada sebuah grup yang menamakan dirinya sebagai "Rand Army" dan "Rand Worshippers".

Apa sebenarnya yang membuat Ayn Rand begitu dipuja-puja oleh orang-orang? Kembali meminjam perkataan Albert Camus dalam pidatonya tatkala meraih Penghargaan Sastra, karya-karya Ayn Rand itu begitu mempesona karena menawarkan penalaran praxis bagi orang-orang untuk menjalani kehidupan: menggerakan dan mencerahkan. Tidak main-main, dalam salah satu surat personalnya, Ronald Reagan secara terang-terangan menyatakan bahwa dia merupakan pemuja Ayn Rand. Selain itu, David Nolan, pendiri Partai Liberal di Amerika, pernah mengatakan, "Without Ayn Rand, the Libertarian Party wouldn't exist."

Dengan demikian, gagasan-gagasan Ayn Rand telah mempengaruhi lanskap kehidupan sosial dan politik Amerika sekarang. Di situlah menariknya Ayn Rand, pemikiran-pemikirannya tidak hanya dibicarakan di kedai-kedai kopi, namun juga dibicarakan di kantor-kantor pemerintahan.

Setelah menulis Atlas Shrugged, Ayn Rand berhenti menulis fiksi. Tulisan selanjutnya lebih merupakan esai tentang etika, sosial, politik, dan kesenian. The Romantic Manisfesto: A Philosophy of Literature adalah salah satunya.

Di sini saya tidak hendak membicarakan gagasan-gagasan Ayn Rand yang terkenal itu, seperti Objektivisme, kebebasan, dan diskursus-diskursus deliberasi publik lainnya. Di sini saya hanya akan membicarakan satu dari sekian banyaknya gagasan Ayn Rand, ialah kesenian, atau kesusastraan.

Ayn Rand: Deklarasi tentang Seni Ideal

Dalam membuka Manisfesto-nya, Ayn Rand menegaskan bahwa manifesto yang dia kemukakan bukanlah manifesto untuk suatu pergerakan tertentu. Suara Manisfesto Ayn Rand bukanlah berupa "kumandang" nyaring-melengking seperti halnya suara dari Manifesto Komunis-nya Karl Marx dan Friedrich Engels itu. Manifesto Ayn Rand lebih mirip seperti gumam; tidak terlalu peduli apakah oranglain akan mendengarkan atau tidak. Manifesto-nya tidak ditujukan untuk mewakili sikap publik ataupun visi-misi organisasi tertentu, melainkan suatu sikap personalnya atas kesenian. Ayn Rand menyatakan dalam The Romantic Manifesto: A Philosophy of Literature (1971: 9), "I speak only for myself. There is no Romantic movement today." Ayn Rand memilih menyebut manifesto-nya itu sebagai "the declaration of my personal objectives or motives".

Setelah menyatakan sikapnya itu, Ayn Rand bergerak pada suatu pertanyaan, apa itu seni atau sastra? Di situ Ayn Rand tidak membicarakan hakikat seni dan sastra dalam diskursus ontologis, melainkan pada apa yang dia sebut sebagai Psycho-Epistemological Function of Art. Itu artinya, pembicaraan Ayn Rand tentang apa itu seni berada pada wilayah aksiologis; tujuan dan peran seni bagi manusia dalam kehidupan sosial.

Ayn Rand: Psycho-Epistemological Function of Art

Dengan Psycho-Epistemological Function of Art, Ayn Rand mencoba mengangkat seni dan sastra ke permukaan. Ayn Rand menganggap bahwa topik seni dan sastra tidak sepamor topik sains, seperti fisika dan matematika. Penelitian-penelitian ilmiah terus dilakukan untuk mengembangkan fisika ataupun ilmu-ilmu lainnya. Ilmu-ilmu demikian berkembang pesat sehingga mampu menciptakan teknologi-teknologi mutakhir. Kemajuan pun tak terelakan, dan dari situ kita tahu apa yang disebut dengan interdiciplinary space atau subatomic particles, dengan hanya menyebut salah satunya.

Di sisi lainnya, topik seni dan sastra sedikit sekali mendapatkan perhatian. Seni dan sastra, seperti juga disebutkan Ayn Rand, seolah-olah merupakan pembicaraan yang misterius, sesuatu yang tak terjamah dalam diri seseorang, atau dalam istilahnya Ayn Rand, seni dan sastra bagaikan "a special kind of unknownable of demons". Padahal, usia seni dan sastra setua peradaban itu sendiri, dengan membandingkannya pada ilmu-ilmu pengetahuan alam yang baru berkembang pada abad pertengahan.

Ayn Rand percaya bahwa seni dan sastra tidak kalah pentingnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam bagi manusia. Di situ Ayn Rand mengenalkan konsep Psycho-Epistemological Function of Art. Seni dan sastra tidak lagi menjadi pembicaraan yang melangit, seni dan sastra menjadi punya pijakan yang jelas.

Tidak hanya ilmu-ilmu alam yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, akan tetapi juga seni dan sastra memiliki peran signifikan dalam kehidupan manusia. Ayn Rand mengatakan bahwa seni dan sastra mempunyai tujuan dan peran yang sangat jelas. Seni dan sastra dapat melayani dan memenuhi kebutuhan manusia; bukan berupa kebutuhan materi, melainkan berupa pemenuhan dan pelayanan kesadaran manusia. Lebih jauh lagi, seni dan sastra tidak dapat dilepaskan dari keberlangsungan hidup manusia—"not to his physical survival, but to that on which his physical survival depends: to the preservation and survival of his consciousness." (Rand, 1971: 13-14).

Kesadaran macam apa sebenarnya yang dimaksudkan Ayn Rand?

Disadari ataupun tidak, manusia membutuhkan pandangan yang komprehensif tentang realitas. Dengan kebutuhan itu, manusia berusaha mengintegrasikan nilai yang dia miliki, berusaha menetapkan tujuan dan merencanakan masa depannya. Dengan kata lain, pikiran manusia itu melakukan abstraksi atas realitas yang dicerap oleh indera manusia. Dari situlah timbul suatu sikap, nilai-nilai moral, atau dalam istilahnya Ayn Rand yaitu metaphysical value-judgements.

Ada dua kata kunci untuk memahami apa yang Ayn Rand maksud dengan metaphsyical value-judgements: abstraksi kognitif dan abstraksi normatif. Abstraksi kognitif adalah proses mengidentifikasi fakta-fakta yang ada dalam realitas dan abstraksi normatif adalah proses mengevaluasi fakta-fakta, menetapkan pilihan-pilihan sebelum mengambil tindakan.

Begitulah pemikiran Ayn Rand tentang seni dan sastra. Baginya, karya seni dan sastra merupakan suatu pandangan komprehensif seorang seniman, yang di dalamnya berisi sikap, pandangan hidup, metaphysical value-judgements. Ayn Rand kemudian mendefinisikan seni dan sastra sebagai "a selective re-creation of reality according to an artist’s metaphysical value-judgments." (1971: 16). Dengan demikian, seni dan sastra ideal, bagi Ayn Rand, adalah karya seni dan sastra yang memancarkan identifikasi dan evaluasi si seniman atas realitas.

Ayn Rand memberikan contoh mengenai karya sastra yang ideal dengan mengutip novelnya yang berjudul The Fountainhead. Ayn Rand bercerita bahwa banyak orang-orang yang "tercerahkan" setelah membaca The Fountainhead. Menurutnya, karakter yang bernama Howard telah membantu para pembacanya dalam membuat keputusan ketika dihadapkan pada dilema moral. Howard mampu menawarkan jawaban ketika dalam "this situation", juga menawarkan jawaban apa yang "harus" dan "jangan" dilakukan ketika berada dalam situasi tertentu.

Bukankah di awal telah disebutkan bahwa Ayn Rand menentang gagasan seni dan sastra yang bersifat etis? Tidakah Howard itu, secara tidak langsung, mengesankan nilai-nilai moral atau propaganda atau didaktis? Memang.

Ayn Rand sangat menekankan bahwa seni dan sastra bukanlah untuk "menggurui", namun bukan berarti bahwa seni dan sastra sama sekali tidak mengandung konsekuensi moral dan etis. Bagi Ayn Rand, "pesan moral" dalam karya seni dan sastra hanyalah konsekuensi sekunder, bukanlah etika yang menjadi tujuan utama seni dan sastra, bukan buku pedoman untuk apa yang harus kita lakukan dan apa yang tidak boleh kita lakukan, bukan "textbook on how to become one".

Seni dan sastra ideal merupakan kongkritisasi abstraksi kognitif dan normatif yang memancarkan semacam Weltanschauung dan metaphysical value-judgements si seniman. Itulah yang membedakan puisi ideal dengan kuot-kuot motivasi, dan itulah yang membedakan prosa dengan poster-poster propaganda dan fotografi (Rand, 1971: 17-19).

Demikianlah gagasan Ayn Rand tentang seni dan sastra ideal. Pemikirannya itu, saya kira, bisa dijadikan sebagai referensi bagi siapa pun yang ingin berkreasi seni. Yang terpenting dari pemikirannya itu, bagi saya pribadi, adalah konsepnya mengenai abstraksi kognitif dan normatif. Secara tidak langsung, dua istilah itu merupakan prinsip fundamental bagi proses kreatif dalam berkarya.

Salam berkarya!


Rand, Ayn. 1971. The Romantic Manifesto: A Philosophy of Literature. New York: A Signet Book

Foundation for Economic Education. 2018. Discovering Ayn Rand: Modern Essays on Her Life and Ideas. Atlanta: FEE.org

McBride, Joseph. 1992. Albert Camus: Philosopher & Littérateur. New York: Palgrave Macmillan

Merrill, Ronald. 2013. Ayn Rand Explained: From Tyranny to Tea Party. Chicago: Open Court Publishing Company

Ikuti tulisan menarik Arip Apandi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler