x

Iklan

Ahmad Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Oktober 2019

Senin, 21 Oktober 2019 14:55 WIB

Pelajaran dari Tan Malaka

Dari Tan Malaka bangsa Indonesia diwariskan sikap jujur, tidak mata duitan, pro rakyat kecil, dan berani. Seperti waktu ia pidato di rapat pertama Persatuan Perjuangan ke-I di Purwarkarta 1922, “Orang tak akan berunding dengan maling dirumahnya”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tan Malaka, laki-laki kelahiran 2 Juni 1897 Pandam Gadang, Sumatera Barat terkenal dengan pendiriannya yang segenap jiwa memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia 100 persen. Itu dilakukannya melalui gerakan, tulisan, dan ucapan.

Dari Tan Malaka bangsa Indonesia diwariskan sikap jujur, tidak mata duitan, pro rakyat kecil, dan berani. Seperti waktu ia pidato di rapat pertama Persatuan Perjuangan ke-I di Purwarkarta 1922, “Orang tak akan berunding dengan maling dirumahnya”.  

Ironisnya, di sepanjang hidupnya, Tan Malaka banyak menempuh pelbagai penderitaan. Diburu intelijen Inggris, Amerika, Belanda dan akhirnya mati mengenaskan pada 21 Februari 1949, ditangan bangsanya sendiri. Ia dieksekusi oleh tentara Republik Indonesia di Desa Selapanggung dalam sebuah kemelut ideologis. Tan dianggap menentang Pemerintah Republik Indonesia Soekarno-Hatta dan di pandang membahayakan Indonesia yang baru saja diproklamasikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sungguh ironis, seorang penulis pertama konsep Naar de Republiek Indonesia (1925) gugur bukan ditangan penjajah akan tetapi di tangan bangsanya sendiri. Namun belakangan, kata Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang setia menelusuri jejak Tan Malaka, gagasan dan ide cemerlang tentang gerakan revolusi yang ditulis Tan menjadi bacaan dan pegangan politik tokoh pergerakan termasuk Sukarno.

Buah Pemikiran Tan Malaka yang tertuang dalam buku-buku yakni Dari Penjara ke Penjara (3 jilid 1948), Opus magnum “Madilog” (1943), Parlemen atau Soviet (1920) dan Onderwijs (1921), Dasar pendidikan (1921), Naar de Republiek Indonesia (1924), Semangat Muda (1925), Massa Actie (1926), Manifesto Bangkok (1927), Pari dan International (1927), Aslia Bergabung (1943), Manisfesto Jakarta (1945), Thesis (1926), Pidato Purwekerto (1946), Pidato Solo (1946),Islam dalam Tinjauan Madilog (1948), Pandangan Hidup (1948), Kuhandel di Kaliurang (1948), Pidato Kediri (1948), Gerpolek (1948), dan Proklamasi 17-8-45, Isi dan Pelaksanaanya (1948) sangat harum bagi para mahasiswa aktivis pergerakan, meskipun sampai saat ini karya Tan masih sulit didapatkan. Hal tersebut dikarenakan Pada zaman Orde Baru buku-buku Tan Malaka dilarang. Buku-bukunya dicari lewat bisik-bisik. Madilog (1943) jadi puncak karya Tan Malaka, sebagai filsuf sampai tataran praksis, bukan cuma tataran ide.

Mungkin, apa yang dikatakan oleh manusia yang sudah 13 kali di penjara itu (Filipina 1937, Hong Kong, 1932, 11 penjara di Jawa 1922, 1946-48) benar adanya, “Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi” (Dari Penjara ke Penjara Jilid II, 1948). Semua orang mengakui peranya dalam merumuskan konsep keindonesiaan. Muhammad Yamin menjulukinya “Bapak Republik Indonesia”. Sukarno menyebutnya “seorang yang mahir dalam revolusi”.

Demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tan masuk dipelbagai organisasi. Dimulai Anggota Serikat Islam Semarang (1921-1922), Wakil Ketua Serikat Buruh Pelikan (1921-1922), Ketua Partai Komunis Indonesia (1921-1922), wakil komintern untuk Asia Timur (1924), Ketua Biro Buruh Lalu Lintas Se-Pasifik (1924), Ketua Partai Republik Indonesia, Thailand (1927), Ketua Persatuan Perjuangan (1946), pendiri Partai Murba (1948), dan terakhir Pimpinan Gerilya Pembela Proklamasi (1948).

Selain itu, perjuangan Tan Malaka dalam mencapai kemerdekaan Indonesia 100 persen dapat dilihat selepas dari penangkapannya pada tahun 1922, dan kemudian diusir keluar Indonesia. Dia sudah menjadi aktivis komunis yang tak kenal lelah mengutarakan gagasannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tan juga menganggap partai adalah sebagai alat perjuangan mencapai kemerdekaan 100 persen. Hal itu terlihat selepas kegagalan pemberontakan pada pertengahan November 1926, Tan Malaka keluar dari Partai Komunis Indonesia dan mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di perantauan Bangkok pada tahun 1927.

Banyaknya kontribusi Tan Malaka dalam mencapai kemerdekaan Indonesia, Presiden Sukarno menetapkannya menjadi pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 53 tahun 1963 yang ditandatangani Presiden Sukarno tanggal 28 Maret 1963.

Tirulah Tan

Saat ini para politisi sibuk mendekatkan diri ke dalam kekuasaan melalui safari politik. Partai Amanat Nasional (PAN), Demokrat, dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang pada Pemilu 2019 menjadi kompotitor dan akan beroposisi jika calon presiden Prabowo Subianto kalah ternyata menjelang pelantikan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) periode 2019-2024 mereka datang ke istana demi satu kursi menteri.

Berbeda dengan Ketua Umum PKI tahun 1921-1922. “Tan Malaka tidak mempunyai tulang punggung yang mudah membungkuk” tulis Bung Hatta dalam memoarnya, untuk negeriku, Vol 1: Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi 2011).

Meski Sukarno-Hatta tidak dilibatkan Datuk Ibrahim dalam menyusun proklamasi. Tapi ia tetap membantu mengumpulkan massa ke lapangan Ikada untuk menggelar rapat akbar. Rapat tersebut untuk menunjukan seberapa kuat rakyat mendukung proklamasi. “Dan Tan, berada di balik layar” kata Poeze.

Meski hasil rapat akbar itu membuat dada Tan Malaka menyesakkan, karena Sukarno dalam pidatonya meminta massa untuk tetap tenang dan percaya pada pemerintah yang akan mempertahankan proklamasi. Massa diminta pulang. Setelah itu barisan bubar meninggalkan lapangan.  

Ahmad Halim

Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) DKI Jakarta

Ikuti tulisan menarik Ahmad Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu