x

Iklan

Tatang Hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 25 Oktober 2019 11:39 WIB

Persaudaraan Islam (Sebuah Prosa)

Dengan aktif di mingguan Hadramaut, kemampuan Abdullah bin Nuh sebagai seorang penulis pun semakin terasah dan berkembang. di usianya yang ke 20 (1925), Mama Abdullah bin Nuh menulis sebuah prosa berbahasa Arab yang berjudul "Ukhuwah Islamiyah" (Persaudaraan Islam)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Persaudaraan Islam (Sebuah Prosa)

Oleh : Mama Raden KH. Abdullah bin Nuh

Anda adalah saudaraku. Betapapun keadaan Anda dan apapun kebangsaan Anda. Apapun bahasa Anda dan bagaimanapun kulit Anda. Anda saudaraku walaupun Anda tidak kenal aku dan tidak tahu siapa ayah-bundaku. Walaupun aku tidak pernah tinggal serumah denga Anda dan belum pernah seharipun hidup serumah bersama Anda di bawah satu atap langit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anda adalah saudaraku. Walaupun Anda berpangkat tinggi. Mendapat kedudukan yang mulia. Menguasai ilmu yang luas. Dan mempunyai banyak pengaruh yang besar. Atau memiliki harta yang sangat banyak.
Anda adalah saudaraku. Walaupun misalnya ada penduduk planet mars dan aku hanya penghuni planet beredar bernama bumi ini.

Tidak. Tidak usah Anda bersusah-payah mencari-cari buku sejarah silsilah keturunan. Jangan memaksa-maksa diri mencari-cari dari catatan-catatan nenek moyang. Jangan pula Anda bersedih lantaran aku bukan putra si Anu dari famili Anu. Atau lantaran kita tidak bertemu pada nenek pertama atau nenek kesepuluh atau keseratus atau seterusnya hingga berujunglah penelitian kita kepada Bapak kita Nabi Adam dan Ibu Hawa, tatkala keduanya makan buah pohon terlarang dan Allah menjatuhkan keduanya dari surga ke dunia yang fana ini. Tidak usah begitu! Karena, hubungan semacam ini kadang-kadang terjadi antara seorang penghuni surga dan seorang lagi penduduk kekal di neraka.

Namun Anda saudaraku … karena Anda seorang muslim. Setelah itu aku tak peduli apakah Anda orang Eropa, India, Turki atau Cina. Bangsa Barat maupun Timur. Atau apa saja yang Anda kehendaki. Karena ini merupakan penggolongan-penggolongan sederhana yang tidak berarti bagiku setelah kurenungkan dalam-dalam.

Anda saudaraku. Karena kita bersama-sama menyembah Tuhan Yang Satu. Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di satu padang yang luas, yaitu Padang Arafah. Kita sama-sama lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syari’at Nabi Muhammad Saw. Kita sama-sama bernaung di bawah langit kemanusiaan yang sempurna. Dan sama-sama berpijak pada bumi kepahlawanan yang utama.

Katakanlah padaku, demi Tuhanmu. Di ufuk mana di jagat raya ini terdapat persaudaraan yang lebih utama daripada ini? jangan sampai Allah mempertemukan kita apabila kita tidak beriman pada-Nya dan tidak berlindung kepada benteng pertahanan ini.

Marilah wahai saudaraku sayang. Kita duduk bersama-sama sebagaimana layaknya dua saudara atau dua sahabat karib. Kita saling memperbincangkan hal ini. Dan yang kita jadikan sebagai sarana bertukar pikiran serta alat pemersatu kita adalah bahasa yang dipakai Allah dalam menurunkan kitab yang kita baca bersama siang dan malam itu (yaitu bahasa Arab). Jangan kau ragu ungkapkan isi hatimu padaku. Rasa takut. Harapan. Kengerian. Kenikmatan. Kegembiraan. Dan kesedihan. Karena aku ingin berbagi rasa dalam hal ini. demi Allah, aku sangat ingin!

Mari wahai saudaraku sayang. Kita bahu membahu mengibarkan setinggi-tingginya bendera suci dan agung ini. Agar orang-orang di Barat maupun di Tumur melihatnya berkibar di angkasa. Sehingga bergabunglah kepadanya siapa saja orang-orang yang telah ditulis Allah sebagai orang yang bahagia di dunia dan di akhirat. Dan akan berpalinglah siapa saja orang yang ditulis Allah sebagai orang yang celaka.

Mari wahai saudaraku sayang. Kita singkap sejenak dari hadapan kita penutup tipis dan tembus pandang yang kita bentangkan di antara kita. Yang kita anyam dengan tangan-tangan kita sendiri dari benang-benang perbedaan dan salah paham dalam masalah mazhab yang sepele itu. Dan nun di sana. Di dalam kehangatan kalimat tauhid pemersatu kita. Dari kampung ikatan ruhani. Kita bersatu tolong-menolong. Bantu membantu. Bahu membahu. Mengurus kepentingan-kepentingan kita bersama.

Di sanalah tercapainya cita-cita kita. Marilah kita bersepakat mengerjakan kewajiban-kewajiban kita. Mengembalikan keluhuran kita yang telah rusak. Membangun kembali bangunan kita yang telah runtuh.
Alangkah merdunya bicaramu wahai saudaraku sayang. Alangkah agungnya keikhlasan yang nampak di wajahmu nan cerah. Alangkah indahnya kasih sayangmu yang bersenandung dalam untaian kata-katamu. Betapa sucinya cita-citamu yang memancar dari mata air nan suci yang mengalir dari lubuk hatimu. Alangkah besar gairahmu terhadap agama kita yang haq ini.

Ya. Di balik samudera bebas yang menggunung gelombangnya. Di balik lautan jihad yang terus menerus. Dan di balik kesabaran tiada terbatas. Di sana di tempat yang jauh, akan kita temukan mutiara yang hilang yang kita cari. Yang kini masih terpendam dalam lumpur impian dan kenyataan. Yang digenangi oleh nur kejayaan dan keindahan. Kesemuanya itu tergantung pada bersatunya kekuatan. Jernihnya akal pikiran. Pimpinan yang bijaksana. Niat yang ikhlas. Hati yang lebih gembira menyaksikan kejayaan amat daripada terpenuhinya keinginan hawa nafsu. Penuh kesabaran dan keyakinan teguh. Dengan itulah kita membuat kapal untuk menjalani tugas dan menghasilkan cita-cita. Karena, saat terpenting di dalam sejarah kebangkitan kita ialah saat di mana kapal itu akan membongkar sauh dan memulai perlayarannya nan agung. Maka berkibarlah bendera dan berkumpullah para penunpang.

Lantas berserulah Sang Penyeru : “Naikkah ke kapal dengan nama Allah saat berlayar dan berlabuhnya. Sungguh Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(Diterjemahkan oleh Dra. Hj. Mursyidah Abdullah bin Nuh dan diterbitkan oleh Yayasan Islamic Center Al-Ghazalu, Bogor, Jawa Barat. Dikutip Oleh : Tatang Hidayat dalam Buku KH. Abdullah bin Nuh “Al-Ghazali dari Indonesia” Ulama Sederhana Kelas Dunia "Ulama, Tentara, Pendidik, Sejarawan, Sastrawan, Pemikir Ekonomi, Jurnalis" karya Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M. Ec. & Tim Azkia tahun 2015).

 

Ikuti tulisan menarik Tatang Hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler