x

Iklan

Era Sofiyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Juli 2019

Rabu, 30 Oktober 2019 13:20 WIB

Meredam Hoax, Menata Kepingan Bhinneka yang Terserak

Literasi kebhinnekaan atau kewargaan (citizenship education) dan kewargaan digital (digital citizenship) tentunya tak sekedar mempersiapkan individu melek informasi. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kesadaran tentang hak-hak politik, sosial dan budaya individu dan kelompok, termasuk kebebasan berbicara dan tanggung jawab dan implikasi sosial yang muncul.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat”

Pernyataan tersebut ditegaskan Bung Hatta dalam artikelnya berjudul “Pancasila Jalan Lurus” (Penerbit Angkasa, Bandung, 1966). Bagi Hatta, sila pertama Pancasila bukan hanya soal hormat-menghormati agama masing-masing, melainkan juga dasar bagi tindakan keadilan, kebaikan, dan kejujuran. Anak bangsa  harus mengamalkan Pancasila, karena  berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa –menerima bimbingan dari Zat yang sesempurna-sempurnanya– membentuk karakter yang kuat, melahirkan manusia yang mempunyai integritas, yang jujur dan yang mempunyai rasa tanggung jawab.

Dengan dasar moral agama ini, Pancasila menjadi spirit anak bangsa untuk membangun persatuan yang merupakan Tanah Air Indonesia yang satu dan tidak dapat dibagi-bagi. Sementara, Persatuan Indonesia mencerminkan susunan negara nasional yang bercorak Bhinneka Tunggal Ika.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Refleksi Bung Hatta sangat tepat, karena sila pertama dalam Pancasila menjadi dasar utama dalam menegakkan kebenaran dan kesejahteraan rakyat. Ideologi Pancasila tidak lahir dalam ruang hampa. Ideologi Pancasila lahir karena perasaan senasib sepenanggungan bangsa Indonesia untuk merdeka. Tanpa sila pertama, bangsa ini tidak bisa dilahirkan. Sementara, sebagai ideologi nasional, Pancasila menjadi pemersatu masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, dan sebagai arah dalam pembangunan nasional untuk mencapai tujuan nasional.

Faktanya, ketidakseimbangan berideologi terjadi saat ini dimana Pancasila sebagai falsafah bangsa nyaris terlupakan. Pancasila tidak lagi berada dalam posisi equilibrium yang stabil yang kemudian berimplikasi terhadap sikap dan perilaku sebagai warga negara, maupun sebagai individu. Tidak hanya itu, pengaruh tiga ideologi global (Neo-Liberalisme, Neo-sosialisme/komunisme, dan Fundamentalisme mengatasnamakan agama) turut menciptakan ketidakseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ideologi, sikap dan perilaku warga negara, sampai pada tataran kebijakan publik.

Di sisi lain, kebhinnekaan yang sejatinya lahir sebagai pengikat sosial justeru kian gamang. Motto Indonesia yang ber-bhinneka dan kebhinnekaan adalah anugerah nyatanya belum mampu menjadikannya sebagai modal sosial yang produktif. Pluralitas dan kompleksitas bangsa Indonesia, justeru dikoyak-koyak dengan ujaran kebencian (hate speech) dan pembohongan-pembohongan informasi (hoax) atau fake news khususnya di ranah media sosial yang dampaknya menimbulkan permusuhan dan tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang mengutamakan toleransi. Pada akhirnya konsep tentang kebinekaan mengalami dekonstruksi oleh argumen-argumen yang ikut dibentuk melalui media sosial.

Berdasarkan konsep sosiologi, masyarakat adalah kelompok manusia yang menghasilkan kebudayaan berkaitan dengan perkembangan peradaban mereka. Dengan pengetahuan masyarakat yang masih minim, maka penggiringan opini melalui berita bohong (hoax) sangat mudah sekali dilakukan. Mereka merasa sah-sah saja untuk menggunggah tulisan, gambar atau video apapun ke dalam akunnya. Meskipun terkadang mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka unggah tersebut bisa saja melanggar etika berkomunikasi dalam media sosial. Hal ini didukung oleh industri media itu sendiri dalam menyajikan format berita online. Portal berita yang paling banyak dibaca adalah yang memiliki kecenderungan menampilkan isi (konten) berita yang hanya terdiri dari beberapa alinea, bahkan penyajiannya cenderung tak lengkap dalam satu berita.

Dalam konteks merebaknya persebaran hoax, masyarakat dapat mengalami kemunduran moral yang dapat membahayakan peradaban khususnya bagi masa depan generasi muda. Apa yang didapatkan oleh anak-anak dan remaja yang sejak kecil telah menyaksikan bahkan mengakses dan mempercayai keberadaan informasi palsu (hoax). Mereka yang dikenal sebagai Generasi Z lahir pada tahun 2000-an berada pada iklim politik kompetitif selama era internet. Tidak seperti pemilih mapan sebelumnya yang memiliki kebiasaan mengaksesi informasi via media cetak dan elektronik, generasi gawai ini telah menggenggam informasi melalui media online dari awal.

Satu sisi, mereka yang dikategorikan generasi milenial sekaligus warga negara dituntut bertanggung jawab atas masa depan bangsa dan negara. Namun, dilain sisi keberadaan media sosial tak jarang menciptakan kegaduhan dan konflik akibat isi informasi yang kerap tak beretika. Dalam hal ini, media sosial selayaknya dapat turut andil menciptakan komunikasi positif, kondusif sekaligus partisipasi yang terbuka, rasional, interaktif, serta konstruktif, terutama di kalangan generasi muda.

Demi meredam berbagai konflik di ranah media sosial, para millenial muda ini harus benar-benar didorong untuk memahami bahwa pluralitas Indonesia bersifat natural dan kultural. Mengapa? karena secara umum, usia muda adalah fase rawan, di mana mereka belum memiliki konsp diri yang kokoh. Jiwa muda diwakili oleh semangat yang menggebu dan kecederungan cepat bereaksi pada stimulus dari luar.

Selanjutnya, kalangan muda inilah pengguna media baru terbesar. Para millenial adalah penduduk asli dunia digital (native digital) yang akan mewarnai hiruk pikuk dalam dunia online. Bagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan dan pemahaman yang cukup tentang media tentu tidak bermasalah. Tetapi bagi mereka yang rentan pemahamannya terhadap media tentu sulit membedakan mana konten media yang bermanfaat, dan mana yang bermasalah jika dikonsumsi masyarakat tertentu.  

Sejalan dengan tujuan literasi media memberdayakan pengguna media sosial (netizen) sekaligus mengkonstruksi muatan positif dalam memanfaatkan media sosial adalah untuk menghasilkan warga masyarakat yang “well informed” serta dapat membuat penilaian terhadap content media berdasarkan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap media yang bersangkutan. Literasi media mempunyai konsep memfasilitasi khalayak konsumen media (publik) untuk berbudaya dalam memanfaatkan media sosial. Oleh karena itu, salah satu prinsip dalam pendidikan literasi media adalah memberdayakan khalayak. Disebut memberdayakan karena model literasi media menjadi kompas baru dalam mengarungi dunia media yang luas, sehingga orang tidak akan menjadi korban pembohongan media. Secara operasional, aspek literasi media ini harus bisa memunculkan kesadaran tentang posisi dan peran media baru (new media) dalam kehidupan berbangsa.  

Sampai disini, menguatkan kembali narasi dan literasi kebhinnekaan dalam menghadapi disrupsi informasi, tentu saja menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Literasi kebhinnekaan atau kewargaan (citizenship education) dan kewargaan digital (digital citizenship) tentunya tak sekedar mempersiapkan individu melek informasi. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kesadaran tentang hak-hak politik, sosial dan budaya individu dan kelompok, termasuk kebebasan berbicara dan tanggung jawab dan implikasi sosial yang muncul. Dalam beberapa kasus, argumentasi yang efektif dan keterampilan yang diperlukan untuk mengartikulasikan keyakinan dan pendapat pribadi secara bermartabat telah dimasukkan sebagai salah satu hasil belajar pada program pendidikan kewargaan. 

Salah satu tantangan saat ini adalah mengadaptasi tujuan dan strategi tersebut ke dunia digital. Tidak hanya menyediakan argumen, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan teknologis bahwa setiap warga negara mungkin perlu untuk menetralkan kebencian yang disebarkan melalui berita media online dan media sosial.

pertama, menyasar aspek knowledge, yakni perubahan dan peningkatan ranah pengetahuan dan wawasan individu dengan beragam dinamikanya.

Kedua, lebih berupaya terjadi perubahan sikap terhadap berbagai fenomena yang kerap viral di negeri ini termasuk isu-isu politik, baik yang positif maupun yang mengkhawatirkan.

Ketiga, kesediaan individu mengubah perilaku bahkan bertindak dalam rangka memperbaiki keadaan melalui partisipasi kritis dan konstruktif pada proses pengambilan keputusan sejak berpartisipasi pada pelaksanaan demokrasi.

Tidak bisa ditawar lagi. Menjadi tuntutan bagi pemerintah untuk secepatnya merumuskan konsep pendidikan literasi berbasis multikulturalisme kepada masyarakat. Melalui aktualisasi kebhinnekaan yang kian intens terutama dalam ranah pendidikan, kedepannya diharapkan dapat menyentuh tataran value, norms sampai behaviour suatu individu yang kemudian akan memberikan multiplier effect berupa terwujudnya masyarakat yang aman, tenteram dan damai.

Ikuti tulisan menarik Era Sofiyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB