x

Kampus ITB. (itb.ac.id)

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 30 Oktober 2019 21:13 WIB

Rektor Mestinya Jadi Benteng Kebebasan Akademik

Para pejabat kampus, yang notabene juga akademisi, seharusnya berani menjadi benteng perlindungan kebebasan akademik dari intervensi kekuatan-kekuatan luar kampus. Para rektor dan pejabat kampus lainnya seharusnya menolak jadi kepanjangan tangan para pengekang kebebasan akademik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berpikir kritis adalah tradisi akademik dalam rangka menemukan kebenaran ilmiah. Para akademisi saya rasa memahami benar tentang hal ini, dan untuk dapat berpikir kritis harus ada ruang kebebasan tanpa dihantui oleh kekhawatiran dan ketakutan terhadap intervensi pihak-pihak luar kampus maupun oleh para pejabat kampus yang bertindak menyensor diri. Kampus-kampus perguruan tinggi seyogyanya dibangun di atas fondasi kebebasan akademis untuk menemukan kebenaran ilmiah, sebab inilah yang membedakan masyarakat akademik dengan masyarakat lain.

Tanpa kebebasan untuk dapat berpikir kritis, menguji berbagai pemikiran, konsep, maupun teori yang selama ini dianggap benar, baik di dalam kelas maupun di ruang-ruang diskusi lain, para penghuni kampus—birokrat kampus, guru besar, para pengajar, hingga mahasiswa—akan menjadi makhluk jumut, stagnan, tertinggal oleh kemajuan zaman, bahkan picik. Lebih penting dari itu, mereka tidak akan pernah menemukan kebenaran yang dicari jika mereka memang mencarinya.

Karena itu, sungguh mengherankan bila para pejabat kampus menjadi gemar mengeluarkan larangan bagi mahasiswa untuk berdiskusi atau mengundang pembicara dari luar hanya karena dianggap berbeda pandangan dengan mereka. Para pejabat kampus niscaya tidak akan mengeluarkan larangan jika rektor memberi izin. Jadi rektorlah sebenarnya yang menjadi biang keladi larangan semacam itu. Bila rektor bersikap terbuka, para pejabat di bawahnya akan mengikuti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para pejabat kampus, terlebih lagi rektor, umumnya bergelar doktor dan mungkin juga sudah berpangkat profesor. Lantaran itu, mereka tahu persis bahwa kebebasan dalam berpikir merupakan tradisi ilmiah yang diperlukan untuk menemukan kebenaran dalam bidang keilmuan apapun—sains, teknologi, maupun humaniora. Bahkan, tanpa memiliki kebebasan berpikir, mereka tidak akan pernah menemukan sesuatu yang baru untuk disertasi doktor mereka.

Jadi, mengapa kemudian mereka mengingkari tradisi yang mereka pernah cecap? Mengapa mereka kini melarang anak didiknya, para mahasiswa, untuk berdiskusi baik di antara sesama maupun dengan mengundang pembicara luar? Apakah kini, sebagai pejabat kampus, mereka cemas terhadap kekritisan berpikir mahasiswanya? Atau, mereka khawatir bahwa kegiatan mahasiswa ini akan berakibat kurang baik bagi karir mereka sebagai pejabat universitas?

Justru dengan banyak latihan berpikir kritis, mahasiswa akan menemukan kebenaran dan terselamatkan dari kesesatan berpikir. Jika berdiskusi, yang notabene merupakan aktivitas bertukar pikiran dan argumentasi, dilarang, mahasiswa malah akan terbiarkan tenggelam dalam kesesatan berpikir. Dan ini jelas akan berakibat buruk bagi bangsa ini.

Kesalahan cara berpikir, melihat persoalan dan tantangan, memetakan masalah, hingga salah mengambil kesimpulan masih mungkin diperbaiki selagi mahasiswa berada di kampus. Kesalahan ini akan terlihat bila mahasiswa diberi kebebasan untuk berdiskusi. Namun, jika kesalahan ini dibiarkan tersembunyi, karena mereka dilarang berdiskusi, kesalahan logis itu akan terbawa hingga mereka dewasa saat mereka harus mengambil keputusan bagi diri sendiri maupun orang lain.

Para akademisi yang ‘kebetulan’ sedang menjabat dalam struktur birokrasi kampus mestinya menyadari benar bahwa mereka punya tanggung jawab menjaga kebebasan akademis. Membiarkan kekuatan luar kampus untuk mengatur urusan kebebasan akademis sama saja dengan mengingkari tradisi keilmuan di dalam rumah mereka sendiri dan membelakangi apa yang sudah mereka lakukan agar bisa memperoleh gelar doktor dan diakui secara akademis sebagai orang yang berhak menjadi profesor.

Para pejabat kampus, yang notabene juga akademisi, seharusnya berani menjadi benteng perlindungan kebebasan akademik dari intervensi kekuatan-kekuatan luar kampus. Para rektor dan pejabat kampus seharusnya menjadi tempat mengadu para pengajar dan mahasiswa yang berusaha mengemukakan kebenaran, termasuk bila mereka harus menyuarakan kepentingan rakyat manakala pihak-pihak lain diam atau justru ikut serta menindas. Para rektor dan pejabat kampus lainnya seharusnya menolak jadi kepanjangan tangan para pengekang kebebasan akademik. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler