x

Iklan

M. Nur Kholis Al Amin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Oktober 2019

Sabtu, 2 November 2019 18:20 WIB

Belajar Hidup yang BerkeTUHANan, Bukan Hidup yang BerkeHANTUan

Ajaran berketuhanan ini telah disampaikan oleh nenek moyang kita, turun-temurun melalui kearifan lokal yang terbentuk, bahkan sejak belum datangnya "Agama".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah Refleksi Diri

 

Oleh: M. Nur Kholis Al Amin

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Hidup merupakan anugrah dari Sang Ilahi, yang di dalamnya terdapat suatu sistem untuk melaksanakan "adab-adab" baik yang telah disepakati bersama oleh suatu kumpulan masyarakat. Seperti berperilaku mahmudah/ terpuji terhadap sesama makhluk hidup, terhadap manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam lingkungan sekitar.

Kewajiban dan hak sebagai manusia mulai dipikul setiap insan pribadi semenjak ia beranjak dewasa, semenjak ia mampu mengerti dan memahami mana yang baik dan mana yang kurang baik.

Sejak saat itulah, titik awal untuk menuju kehidupan yang berketuhanan mulai ia rajut-bagaikan meniti jembatan SYIRATOL MUSTAQIM--yang mayoritas dari kita tidak sadar telah menitinya, merajut langkah demi langkah dalam setiap hembusan nafas.

Ajaran berketuhanan ini telah disampaikan oleh nenek moyang kita, turun-temurun melalui kearifan lokal yang terbentuk, bahkan sejak belum datangnya "Agama". Dan kearifan lokal ini, eksistensinya lebih dikuatkan dengan adanya doktrin-doktrin agama, seperti Islam yang mengajarkan pada umatnya untuk rahmatan lil 'alamin, karena, disinilah kewajiban sebagai kholifah fil Ard untuk merahmati, mendoakan kebaikan dan kebahagiaan bagi seluruh alam, Kristen dan Katolik (baca: Nasrani) yang mengajarkan untuk melaksanakan kasih sayang terhadap sesama dan semua makhluk, dengan ajaran cinta kasihnya, begitu pula dengan agama Budha dan Hindu yang mengajarkan untuk menyatu, berbaur dan bersahabat dengan alam.

Ajaran-ajaran tersebut merupakan tahapan individu sebagai manusia  untuk berjalan kepada kehidupan yang Berketuhanan, bukan sebagai suatu penghakiman bahwa agama, bahkan kepercayaan yang difahaminya merupakan suatu celah perbedaan dan permusuhan.

Di sinilah, kemudian substansi agama yang seyogyanya adalah menjadi tonggak awal perjalanan seseorang untuk berketuhanan menjadi sarana hijab/ penghalang kepada perjalanan Rohaninya, karena sibuk berdebat tentang hal-hal yang diyakini saling berbeda hukumnya. Lantas, kemana perginya substansi ajaran agama yang membawa aturan tentang moral dan Tauhid (ke-Esa-an)??

Kedamaian dalam bertauhid akan terealisasi dengan proses yang tidak mudah, namun selalu dengan usaha dan usaha untuk menanamkan rahsa Tuhan dalam Jiwa, tidak tengsi an terhadap yang berbeda. Bijaksana dalam menjalani kehidupannya, dan proses yang sulit lainnya adalah tidak mudah berkeluh kesah (atau betemu dengan Hantu) kehidupan.

Hantu dalam kehidupan ini, bisa berupa perasaan khawatir, was-was, bahkan tidak mensyukuri apa yang telah dikaruniakan oleh Tuhan pada diri pribadi.

Perasaan berkeHantu-an inilah yang sering menyelimuti diri kita, hingga kita melupakan perjalanan kerohaniaan kita pada Sang Ilahi. Buru-buru untuk mendoakan orang lain dan lingkungan. Dengan hantu (perasaan was-was, khawatir saja, tidak bersyukur) saja, mungkin diri kita sendiri belum purna berhadapan dengan Hantu tersebut.

Nyatanya, kita masih sering berkeluh kesah dan khawatir dengan masa depan (saat kita tua nanti), khawatir tentang masa depan anak dan keluarga, bukankah itu semua sudah diatur oleh Tuhan? Kita hanya mampu dan wajib berbuat terbaik untuk keluarga dan lingkungan kita sebagai suatu bentuk melaksanakan ajaran rahmatan lil 'alamin, sedangkan untuk hasil, marilah kita serahkan kesemuanya pada kehendak Tuhan.

Belum lagi, kita dijajah oleh "Dajjal" yang ada di dalam diri kita pribadi, mengungkapkan nilai positif dan keberhasilan berdasarkan batasan-batasan logika nafsu pribadi, dengan corak mengagung-agungkan pangkat jabatan, kekayaan, kepandaian, kemolekan dan kealiman yang harus dimiliki dan digapai. Bukankah itu semua apabila kita dapatkan, kelak juga akan terampas? Terampas oleh usia, yang kelak pasti akan datang, semakin tua usia kita, mungkin semakin lemah dan keriput kulit serta kekuatan kita. Lalu, kenapa kita tidak belajar sedari dini untuk memperjalankan rohani kita?

Belum lagi, kesemuanya akan terampas oleh datangnya kematian? Lalu, siapakah sandaran kita yang sejati?

Tuhan...

Betapa aku ini telah ingkar, lupa akan segala nikmat yang telah Engkau hadiahkan bagi diriku, sehingga hadirMu minim dalam kalbuku

Ikuti tulisan menarik M. Nur Kholis Al Amin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 menit lalu

Terpopuler