Betapa melelahkan pertarungan para aktivis antikorupsi dan masyarakat sipil melawan permainan para elite politik yang sedang solid. Inilah yang terjadi dalam upaya menolak revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah diundangkan menjadi UU no.19/ 2019 tentang KPK.
Para elite politik-- terdiri dari politikus di DPR dan pejabat pemerintah, termasuk Presiden Jokowi-- sejak awal terlihat kompak dan mampu mendikte “permainan lawan”. Akhirnya para aktivis, para tokoh, dan mahasiswa, pun seperti kehabisan tenaga.
Kini mereka mau mengajukan uji materi UU KPK terbaru itu ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai sebuah ikhtiar, hal ini memang perlu. Tapi, inilah sebetulnya yang sejak awal diinginkan oleh kalangan politikus dan pemerintah ketimbang tuntutan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Kenapa Perpu Menakutkan?
Tuntutan Perpu pembatalan (revisi) UU KPK cukup mencemaskan bagi Presiden Jokowi dan para politikus DPR. Jika, pemerintah memenuhi ini, otomatis KPK sebagai lembaga akan kuat lagi karena berlaku undang-undang lama.
Para elite politik rupanya tidak mau mengambil resiko sedikit pun kendati sudah “menang 1-0,” karena berhasil memilih pimpinan KPK yang baru sesuai dengan keinginan mereka.
Resiko besar yang terjadi, andai kata Presiden membuat perpu, tentu saja Dewan Perwakilan Rakyat harus bersikap pada masa persidangan berikutnya: menolak atau mengesahkan perpu. Ini bisa menimbulkan bola liar. Partai-partai di parlemen bisa tidak kompak lagi, apalagi jika masyarakat sipil dan mahasiswa terus mengawasi sikap mereka.
Meredanya tuntutan Perpu tentu melegakan bagi para elite politik, terutama Presiden Jokowi. Isu perpu tersapu dengan pemberitaan mengenai penusukan Wiranto, tertutup oleh rujuk politik Prabowo-Jokowi dan perbincangan seputar kabinet baru.
Uji materi ke MK
Uji materi ke MK memang “solusi” yang dikehendaki oleh para pejabat pemerintah ketika tuntutan perpu menguat. Di antaranya mereka bahkan ada yang berdalih bahwa Presiden tidak bisa mencampuri urusan yudikatif (maksudnya MK) karena sudah ada uji materi ke MK.
Ketika itu memang ada pihak yang mendaftarkan uji materi revisi UU KPK ke Mahkamah. Tapi, permohonan itu tidak bisa diproses karena revisi UU belum diundangkan.
Kini setelah revisi UU itu resmi diundangkan dan Presiden terang-terangan menolak perpu, maka para elite politik sebetulnya sudah menang telak atas perlawanan masyarakat sipil.
Menunggu Keajaiban
Sebagian publik mungkin masih berharap MK “berbaik hati” dengan mengabulkan permohonan uji materi UU KPK. Jika hal ini terjadi, maka sebuah keajaiban atau berkah bagi negara kita. Soalnya, pokok perkara yang persoalkan kalangan aktivis antikorupsi tidak terlalu substantif.
Permohonan uji materi itu terutama menyangkut proses pembuatan (revisi) UU KPK yang dinilai cacat hukum. Pembuatan revisi itu terburu-buru, bahkan diduga menabrak UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. MK bisa saja menerima alasan ini, lalu membatalkan UU KPK yang baru itu.
Hanya, MK juga bisa menolaknya. Misalnya, dengan dalih bahwa semua proses pembuatan revisi UU KPK telah disepakati pemerintah dan DPR. Bukankah, deal eksekutif-legislatif bukankah setara dengan undang-undang?
Adapun, uji materi yang menyangkut isi UU KPK tentu akan sulit dilakukan. Soalnya UUD 1945 sendiri tidak mengatur soal KPK. Jadi tidak ada batu uji untuk menentukan apakah isi UU KPK bertentangan dengan konstitusi.
Walaupun begitu, kami dan siapapun yang peduli terhadap pemberantasan korupsi, tentu tetap berharap adanya keajaiban di MK. ***
Ikuti tulisan menarik Anas M lainnya di sini.