Perhatian publik kini tertuju pada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Hal ini berkaitan dengan rencana pemerintah untuk menempatkan Ahok dalam BUMN, entah sebagi direksi atau komisaris.
Kenapa masyarakat amat penasaran? Pastilah. Soalnya Ahok merupakan figur yang kontroversial. Tampilnya Ahok dalam laga pilkada DKI 2017 mengundang ketegangan dalam masyarakat luas dan sisa-sisanya mungkin masih membekas hingga sekarang.
Ahok saat itu terhadang isu penistaan agama yang kemudian benar-benar menjadi kasus hukum. Ia pun kalah, bahkan masuk penjara. Tapi di tangan Presiden Jokowi, karir Ahok tidak mati.
Mungkin beberapa hal berikut ini bisa menjelaskan fenomena Ahok dan kecenderungan politik saat ini:
1.Politik elite beda dengan publik
Ada perbedaan antara politik di level elite dengan masyarakat. Para elite seolah mempunyai dunia sendiri yang agak terlepas dengan masyarakat. Elite politik memiliki logika sendiri yang berbeda dengan pandangan masyarakat.
Ketika di level masyarakat terjadi pro kontra soal figur Ahok, elite sebetulnya punya pandangan agak beda. Jangan heran jika Jokowi dan PDIP kini tetap mengakomodasi Ahok.
Di kalangan elite pun mudah berkompromi. Tak mengherankan pula, misalnya, kini Ahok dan Ma’ruf Amin yang dulu di pihak yang berseberangan, kini sama-sama berada di pemerintahan Jokowi.
Ahok pun bukan satu-satunya contoh. Bukan Prabowo Subianto juga masuk ke pemerintahan Jokowi? Itu karena elite memang mudah berkompromi. Padahal di level masyarakat saat itu terjadi pertentangan sengit antara kubu Prabowo dan Jokowi.
2.Sikap akomodatif Jokowi
Pola kepemimpinan Presiden Jokowi yang amat akomodatif memungkinkan semua itu terjadi. Ia ingin merangkul semua kubu. Bahkan, Jokowi juga mau mengakomodasi kubu Susilo Bambang Yudhoyono andaikata tidak terganjal partai-partai koalisi pendukung pemerintah, terutama PDIP.
Walaupun tak seterang benderang sekarang, hal itu sebetulnya juga mewarnai cara Jokowi memimpin saat menjadi Walikota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta. Pendekatanya dialogis sekaligus kompromis
4.Kompromi sementara
Kompromi di kalangan elite politik sekarang memang terjadi, tapi boleh jadi hanya bersifat sementara. Kini mereka mudah kompak karena pemilu 2024 masih jauh. “Kue politik" yang dibagi pun tersedia cukup banyak. Perekonomian negara yang masih cukup bagus merupakan faktor.
Perubahan akan terjadi menjelang 2024 nanti. Soalnya, pada elite akan mulai melirik lagi masyarakat. Mereka butuh lagi suara dalam pemilu.
Di situlah mungkin kita perlu lebih cermat. Friksi yang memanas dan menguras energi pada pilkada DKI 2017 dan pilpres 2019, seharusnya membikin kita lebih hati-hati dalam mendukung figur. ***
Ikuti tulisan menarik Andi Pujipurnomo lainnya di sini.