x

Ketua Paguyuban Padma Buwana dan keturunan Ki Ageng Mangir bersama peserta upacara leluhur lintas agama di Pajangan, Bantul (TEMPO/Shinta Maharani)

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 15 November 2019 11:16 WIB

Kenapa Kasus Intoleransi Kerap Terjadi di Bantul? Ini Sebabnya

Setidaknya pada 2019 ini terjadi tiga kali kasus intoleransi di Bantul. Apa sebabnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setara Institute berpendapat praktik intoleransi yang marak terjadi di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, karena pemimpin lokal tidak punya kekuatan dan ketegasan dalam membela kelompok minoritas. “Ketidaktegasan itu menjadi preseden buruk sehingga praktek intoleransi kembali terulang ,” kata Direktur Riset Setara, Halili, Kamis, 14 November 2019.

Praktik intoleransi yang paling akhir terjadi di Bantul adalah pembubaran upacara leluhur lintas agama untuk Ki Ageng Mangir di Dusun Mangir Lor, Desa Mangir, Kecamatan Pajangan, Bantul, Yogyakarta, Selasa, 12 November. Kegiatan ini dibubarkan oleh polisi dan warga sekitar.

Warga Dusun Mangir dan polisi yang jumlahnya puluhan mendatangi rumah Ketua Paguyuban Padma Buwana, Utiek Suprapti, tempat acara berlangsung. Mereka membubarkan acara yang dihadiri puluhan peserta dari berbagai daerah dan latar belakang agama itu pada pukul 15.30 WIB. “Polisi menganggap kegiatan kami tidak berizin, dan meminta kami membatalkan karena ada warga yang keberatan,” kata Utiek seperti dikutip Tempo.co.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kepada laman SuaraJogja.id, salah seorang warga RT 02 Mangir Lor, Subani, 53 mengungkapkan pembubaran itu dilakukan karena penyelenggara Upacara  tidak memiliki izin kegiatan. "Ibu Utiek Suprapti itu tak memiliki izin jika akan menggelar acara besar di tempat tinggalnya. Dia hanya memberitahu warga sekitar jika akan menggelar ritual tersebut. Sehingga kami keberatan dan meminta dibubarkan," kata dia, Rabu, 13/11.

Ada pun Kapolres Bantul AKBP Wachyu Tribudi Sulistiyono membantah ada pembubaran kegiatan di rumah Utiek Suprapti. "Yang jelas kegiatan upacara di sana dilaksanakan sampai dengan selesai. Kita tunggu kegiatan sampai selesai, lalu kita sampaikan kalau ada warga yang mempertanyakan," kata dia seperti dikutip Kompas.com

Berdasar data yang dihimpun Tempo berbagai peristiwa intoleransi yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam lima tahun terakhir, paling banyak terjadi di Bantul. Sepanjang 2019 ini setidaknya terjadi tiga kasus intoleransi di sana.

Halili menjelaskan Bantul adalah daerah yang menjaga tradisionalisme. Tapi, tradisionalisme itu memiliki bawaan, yakni primordialisme atau kedaerahan.

Selain itu, Halili melihat ada kecenderungan klientisme atau penguasaan sumber daya pada segelintir elite atau patron untuk ditukarkan dengan loyalitas politik klien. Warga mengikuti apa yang disampaikan tokoh berpengaruh. Contohnya perangkat desa, mulai dari ketua RT hingga camat yang menggunakan kekuasaannya untuk menyerang keberagaman.

Sebelum kasus di Mangir itu, pernah terjadi dua kasus intoleransi. Pada Juli, warga menolak Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu. Bupati Bantul Suharsono mencabut Izin Mendirikan Bangunan gereja tersebut.

Kemudian, ada juga kasus Slamet Jumiarto, seorang pelukis di Yogyakarta yang ditolak mengontrak di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, pada April. Alasannya, Slamet merupakan seorang penganut Katolik.

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler