Salah satu anggota Direksi Bank Tabungan Negara, Hirwandi Gafar, mendadak jadi sorotan di media sosial. Hirwandi yang baru saja diangkat menjadi Direktur Consumer dan Commercial Lending BTN dituduh terpapar paham radikalisme.
Dasarnya? Potongan gambar yang diduga dari laman Facebook Hirwandi Gafar pada 23 Mei 2017. Dalam statusnya saat itu disebutkan: "Gerakan 7 juta status. Kami percaya Ulama dan mendukung perjuangannya. Jangan dishare tapi di copy, agar tembus 7 jt. VIRALKAN !!! #Gerakan7jutastatus". Nah disampingnya ada terdapat foto Habib Rizieq.
Kabar itu jelas masih samar karena belum ada konfirmasi dari Hirwandi Gafar. Staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga pun memastikan pihaknya tidak kecolongan dalam menetapkan pimpinan perusahaan negara. "Kerja kita pasti profesional. Jadi yang kita nilai adalah kemampuan profesionalnya," kata Arya pada Tempo, Sabtu, 30 November 2019.
Ia juga menegaskan bahwa Kementerian BUMN selalu mengedepankan ideologi Pancasila sebagai salah satu kriteria seleksi direksi perseroan. "Ideologi pasti ideologi Pancasila," katanya. Ketika ditanya apa benar Hirwandi terpapar radikalisme atau memiliki ideologi khilafah, Arya membantahnya. " Sampai nanti kalau memang Hirwandi ternyata memiliki ideologi lain selain Pancasila, kami pasti menindaklanjutinya,"ujarnya.
Salah kaprah
Betapa repotnya kita menelisik perilaku pejabat dalam urusan yang radikal.
Pertanyaannya, apa ukuran radikalisme itu? Apakah orang bikin status yang pro gerakan 212 atau reuni 212 bisa dianggap terkena ajaran radikal? Bagaimana jika orang itu cuma setuju demonya dan bukan ideologi kelompok atau organisasi yang berdemo itu?
Begitu pula, apa ukuran orang yang anti Pancasila? Inilah pekerjaan rumah bagi Pemerintah Joko Widodo. Yang jelas, ketika Arya Sinulingga menyebutkan bahwa ukurannya “kemampuan profesional”, memang itulah yang dibutuhkan oleh BUMN.
Peraturan Menteri BUMN NO.3/2015
Peraturan Menteri BUMN No.3/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Direksi BUMN pun mengatur hal itu. Tapi tak ada soal ideologi. Syarat formal calon direksi persero, misalnya:
Cakap melakukan perbuatan hukum, dan dalam lima tahun terakhir tidak:
1. dinyatakan pailit;
2. menjadi Anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu BUMN dan/atau Perusahaan dinyatakan pailit;
3.dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, BUMN, Perusahaan, dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.
Syarat material meliputi: keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman, jujur, dan sebagainya. Ada juga syarat lain seperti: bukan pengurus partai politik dan/atau calon anggota legislatif. Selain itu calon anggota direksi juga harus lulus tes uji kelayakan dan kepatutan.
Direksi BUMN bukan Aparatur Sipil Negara
Kementerian BUMN kebetulan tidak termasuk dalam lembaga yang meneken Surat Keputusan Bersama Anti Radikalisme. Jangan lupa juga direksi BUMN bukanlah pegawai negeri atau aparatur sipil negara. Soalnya mereka bukan bekerja di pemerintahan, melainkan perusahaan negara.
Karyawan BUMN pun tidak bisa disebut PNS atau ASN yang digaji lewat APBN langsung. Karyawan perusahaan negara digaji oleh BUMN yang asetnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
Sesuai UU No. 5/2014 tentang ASN, Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ANS secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Pegawai ASN adalah PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. ***
Ikuti tulisan menarik Andi Pujipurnomo lainnya di sini.