x

Bicara penegak hukum korup

Iklan

Muhammad Kaisi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2019

Minggu, 8 Desember 2019 20:55 WIB

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Perlukah ?

Wacana akan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi kembali disampaikan. Setelah beberapa kali pada tahun-tahun sebelumnya wacana ini gagal untuk dilaksanakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menko Polhukam, Mahfud MD manyampaikan wacana akan menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). KKR adalah sebuah komisi yang ditugasi untuk mengungkap pelanggaran atau konflik yang terjadi di masa lampau. Komisi ini memiliki nama yang berbeda di setiap Negara. Meskipun berbeda-beda dalam hal nama, mandat dan kewenangan, masing – masing komisi itu dipersatukan olah satu karakteristik umum serta tujuan yang sama.


Empat elemen yang dimiliki setiap elemen Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah fokus penyelidikannya pada kejahatan masa lalu. Tujuannya adalah mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kejahatan hak asasi manusia dan pelanggaran hokum internasional pada suatu kurun waktu tertentu, dan tidak memfokuskan pada satu kasus. Ketiga adalah keberadaan dari komisi ini dalam jangka waktu tertentu, biasanya berakhir setelah laporan akhir diselesaikan. Keempat yaitu memiliki kewenangan untuk mengakses informasi ke lembaga apapun dan mengajukan perlindungan untuk meeka yang memberikan kesaksian. Serta yang kelima adalah dibentuk secara resmi oleh negara baik melalui Keputusan Presiden atau melalui Undang – Undang, atau bahkan oleh PBB seperti Komisi Kebenaran El Salvador pada tahun 1992 hingga tahun 1993.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebenarnya telah digagas untuk menjembatani proses rekonsiliasi sejak tahun 2004. Hal tersebut ditunjukkan dengan dikeluarkannya Undang – Undang nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi . Namun pada 11 Desember 2006 Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku kembali oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan UUd 1945. Ketua MK pada saat itu Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa rekonsiliasi tidak harus dilakukan lewat jalur hukum, namun dapat juga dilakukan dengan tindakan politik. Contohnya adalah mamntan GAM yang diberi kompensasi dalam bentuk tanah.
Ketua MK pada saat itu juga menjelaskan bahwa ketentuan yang tercantum mustahil untuk dilaksanakan yaitu mempertemukan pihak korban dan pelaku, serta berdasar akal sehat sulit memnta pelaku untuk mengakui perbuatannya. Akibatnya, ada tidaknya pelanggaran HAM di masa lalu justru menjadi sulit untuk diungkap, padahal pengungkapan merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memulihhkan hak – hak dari korban. Selain itu UU tersebut tidak memiliki konsistensi hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memiliki daya ikat. Namun ketua MK pada saat itu menjelasakan bahwa dengan keputusan tersebut bukan berarti Mahkamah Konstitusi menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada tahun 2016 Menkopolhukam, Wiranto juga mencanangkan program serupa dengan nama Dewan Kerukunan Nasional. Dewan Kerukunan Nasional nantinya akan bertugas menangani konflik horizontal berskala nasional. Selain itu Dewan Kerukunan Nasional diharapkan mampu menghidupkan mekanisme mediasi yang sifatnya pendekatan budaya, tradisi dan kerukunan hidup berbangsa. Namun rencana tersebut kembali mangkrak dan tidak jelas keberlanjutannya hingga saat ini. Banyak pihak yang menolak adanya Dewan Kerukunan Nasional ini. Gagasan pembentukan Dewan Kerukunan Nasioanl diduga merupakan agenda ‘cuci tangan’ yang merupakan upaya ‘melarikan diri’ dari pertanggungjawaban hukum atas peristiwa pelanggaran HAM berat dengan dalih ‘kerukunan’.

Pemerintah sendiri pada saat itu masih terkesan inonsisten dengan tujuan dibentuknya Dewan Kerukunan Rakyat ini. Pada saat pertama kali dibentuk tujuan dari DKN adalah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat mekanisme non yudisial. Namun karena adanya tekanan dari masyarakat kemudian diubah bukan lagi berfokus pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melainkan untuk menyelesaikan konflik sosial di masyarakat.

Banyak sekali kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia di masa lalu dan hingga kini tidak dapat terselesaikan. Contoh kasus pelanggaran yang terjadi yaitu peristiwa Talangsari di Lampung pada tahun 1989 dimana kasus ini telah ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat sejak tahun 2005. Kemudian kasus lainnya adalah tragedi penembakan mahasiswa Trisakti tahun 1998, tragedy semanggi 1 dan 2 pada tahun 1998 dan 1999, Penembakan Petrus hingga kasus Wasior dan Wamena pada tahun 2001 dan 2003 serta masih banyak lagi kasus – kasus pelaggaran HAM yang hingga saat ini tidak ditemukan ujung penyelesaiannya.

Jika bertanya sebenarnya apakah penting pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini ? tentu saja sangat penting. Mengingat banyaknya kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung ditemukan ujung penyelesaiannya. Akan tetapi butuh keseriusan yang lebih dari pemerintah untuk benar - benar membentuk dan menjalankan komisi ini. Selain itu, kepentingan politik yang mungkin bisa saja menunggangi komisi ini akan menghilangkan tujuan utama dari KKR sendiri. Adanya kepentingan politik juga bisa saja dimanfaatkan oleh pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab untuk berlindung atas pelanggaran HAM yng pernah dilakukan atau bahkan digunakan untuk saling menjatuhkan lawan politiknya. Dengan adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang benar-benar bersih dari maksud terselubung atau kepentingan politik semata maka tentu saja Komisi ini akan dapat berjalan dengan semestinya sesuai dengan tujuan awal yang telah ditetapkan.

 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Kaisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler