x

Akordia

Iklan

Ryan Hendrawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Desember 2019

Selasa, 10 Desember 2019 08:55 WIB

Korupsi: Masihkah Menjadi Budaya Indonesia?

Artikel ini dibuat bertujuan untuk memperingati hari anti korupsi sedunia yang ditetapkan setiap tanggal 9 Desember. Artikel ini menggambarkan tindakan korupsi masih menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan oleh masyarakat Indonesia. Tindakan korupsi tidak selalu melibatkan uang, akan tetapi hal-hal kecil seringkali dianggap lumrah akan menjadi cikal bakal tindakan korupsi dikemudian hari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Korupsi : Masihkah Menjadi Budaya Indonesia? 

Oleh:

Ryan Hendrawan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sosial Ekonomi Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya   

 

Mendengar kata ‘korupsi’ merupakan hal yang familiar ditelinga masyarakat Indonesia. Tagline korupsi seringkali muncul dimedia massa dan sering menyangkut para elite-elite politisi pemeritahan dan berbagai pemimpin perusahaan maupun pengusaha dengan nilai uang yang digelapkan terbilang cukup fantastis. Mungkin banyak masyarakat bosan membaca judul berita atau mendengar kabar tentang korupsi, namun apakah masyarakat Indonesia menyadari bahwa korupsi masih menjadi budaya Indonesia?

Makna korupsi menurut KBBI merupakan kegiatan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Berdasarkan Transparency International Corruption menyebutkan Corruption Perception Index (CPI) pada tahun 2018 negara Indonesia menempati rangking ke-89 dari 180 negara dengan skor 38/100 sebagai negara terkorup didunia. Skor 0 menunjukan negara tersebut sangat korup sedangkan 100 menunjukan negara bersih dari korupsi. Indonesia hanya mengalami kenaikan 1 poin dibanding tahun 2016 dan tahun 2017 dan naik 7 peringkat dari tahun sebelumnya.

Meskipun kenaikan posisi dan poin tidak terlalu signifikan, Sudah sepatutnya kita harus menghargai usaha pemerintah untuk mengusut kasus-kasus korupsi yang pernah terjadi. Tapi, apakah dengan kenaikan tersebut membuat kita tetap optimis untuk memerangi korupsi? 

Melihat permasalahan kasus korupsi, salah satu contoh kasus korupsi yang kontroversial adalah kasus korupsi E-KTP yang melibatkan ketua DPR-RI periode 2014-2019 yakni Setya Novanto (Setnov) yang tersandung kasus pengadaan proyek E-KTP pada kurun waktu 2011-2012 ketika Setnov masih menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR yang diduga ikut mengatur anggaran proyek E-KTP sebesar Rp 5,9 triliun agar dapat disetujui oleh anggota DPR.

Setnov juga mengkondisikan pemenang lelang dalam proyek E-KTP bersama pengusaha atas nama Andi Agustinus alias Andi Narogong yang menyebabkan negara mengalami kerugian Rp 2,3 triliun. Setya Novanto hanya dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun dan denda sebesara Rp 500 juta, subsider 3 bulan kurungan serta diwajibkan membayar uang pengganti senilai USD 7,3 juta yang dikurangi Rp 5 miliar yang telah dikembalikan kepada negara. Hakim juga mencabut hak politik Setnov selama lima tahun setelah menjalani hukuman. Apakah korupsi yang dilakukan oleh perseorangan tidak cukup membutikan bahwa korupsi masih menajdi budaya Indonesia?

Kasus korupsi massal di Kota Malang membuktikan bahwasannya budaya korupsi masih massif sebagai budaya masyarakat di Indonesia. Sebanyak 41 dari 45 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode tahun 2014 – 2019 terlibat dalam kasus korupsi massal dan ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi dengan dugaan telah menerima suap pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) tahun anggaran 2015 agar dapat disetujui. Masing - masing anggota diduga telah menerima gratifikasi sebesar Rp 12,5 juta hingga Rp 50 juta dari Muhammad Anton yang merupakan mantan Wali Kota Malang periode 2013 – 2018.

Meskipun nilai uang yang dikorupsi terbilang tidak terlalu besar, berdampak besar pada pembangunan Kota Malang yang terancam lumpuh karena sejumlah agenda yang perlu dibahas menjadi tertunda. Miris melihat seorang wakil rakyat yang seharusnya menjalankan amanah rakyat terbutakan oleh jabatan dan uang. Gelar pendidikan yang tinggi tidak dapat menjamin representasi tindakan yang dilakukan

Apakah korupsi hanya melibatkan elite politisi dan para pengusaha saja? Tentu saja tidak. sadar atau tidak, seringkali dalam kehidupan sehari-hari kita menjumpai kasus korupsi yang dilakukan oleh orang lain atau bahkan anda pernah melakukan korupsi. Contoh kecil dari perilaku korupsi adalah membeli buku yang seharusnya Rp 50.000 dan anda meminta kepada orang tua sebanyak Rp.75.000. Maka secara tidak sadar hal tersebut tergolong kasus korupsi.

Mahasiswa yang memiliki citra kaum-kaum intelektual dengan segudang ide-ide cemerlang yang mengkritisi kebijakan pemerintah guna membela kesejahteraan rakyat, nyatanya tidak terlepas dari perilaku korupsi. Hal tersebut tidak sejalan dengan titlenya sebagai mahasiswa. Bagi mahasiswa yang mengikuti organisasi mungkin tidak asing dengan korupsi jumlah pengeluaran suatu acara. Besar kemungkinan diakhir laporan pertanggungjawaban, setiap bendahara membesarkan jumlah pengeluaran yang dilaporkan kepada pihak universitas  dengan tujuan pada tahun depannya dana yang diberikan tidak dikurangi.

Lantas, apakah korupsi selalu melibatkan uang juga, tidak juga. Bagi mahasiswa kegiatan titip absen (TA), plagiasi tugas maupun laporan atau seringkali mengucapkan kalimat “tunggu bentar otw jalanan macet banget nih” (baca: on the way/masih dijalan) untuk memenuhi janji pada jam tertentu dan nyatanya anda tidak benar-benar sedang dalam perjalanan. 

Hal kecil tersebut dimulai dari adanya desakan diri, kesempatan maupun kesengajaan dari perbuatan yang telah dilakukan, dimana orang lain tidak menyadari hal tersebut hingga contoh-contoh tadi menjadi kebasaan sejak dini untuk melakukan tindakan korupsi. Bila hal kecil yang tidak menyangkut dengan uang saja dikorupsi apalagi yang menyangkut dengan perihal uang dengan nilai jutaan bahkan milyaran rupiah, besar kemungkinan akan menjadi sasaran tindak korupsi guna memenuhi hasrat memperkaya diri.

Ketika suatu hal kecil yang sifatnya tidak baik akan menjadi bom waktu di kemudian hari. Kebiasaan perilaku kecil tersebut akan membentuk budaya buruk yang merusak mental, integritas dan nilai kejujuran. Ketika para mahasiwa tersebut lulus dari perguruan tinggi dan masih memiliki kebiasaan tersebut, maka sama halnya melahirkan benih-benih penerus budaya korupsi di negara ini. Negara bersiap-siap akan mengalami kerugian yang sangat besar karena selain mengalami kerugian secara financial dari perilaku koruptor, negara juga merugi dari nilai inventasi yang dikeluarkan untuk bidang pendidikan guna membentuk sumber daya manusia yang unggul serta baik demi kemajuan bangsa.

Diperlukan perbaikan mental seluruh lapisan masyarakat, terutama peran mahasiswa yang berperan sebagai agen perubahan untuk memerangi segala bentuk perbuatan korupsi tanpa memandang besar kecilnya nilai maupun pelaku yang melakukannya. Pada lingkungan akademisi diperlukan penetapan mata kuliah baru “Pendidikan Ati Korupsi (PAK)” sebagai mata kuliah wajib yang perlu diterapkan untuk saat ini.

Pentingnya pendidikan menjadikan pondasi dalam pembentukan karakter masyarakatnya untuk kemajuan bangsa. Bangsa yang maju memiliki korelasi positif antara kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta praktik dan teori ilmu pengetahuan yang diberikan. Pihak kampus juga perlu membentuk lembaga independen selayaknya KPK untuk mengawasi jalannya perputaran uang dilingkup kampus hingga tingkat fakultas untuk memperkecil peluang dan mencegah kasus korupsi dilingkungan akademisi. Sebuah pepatah dari seorang ilmuwan terkemuka di dunia menyebutkan, Albert Einstein mengatakan “Ilmu tanpa agama buta, Agama tanpa ilmu lumpuh”

Sebagaimana masyarakat Indonesia yang berketuhanan yang maha esa, selain dari segi pendidikan,juga perlu dibentuk pendidikan karakter atau moral untuk mewujudkan integritas diri melalui pendidikan agama. Pendidikan agama menentukan keyakinan (iman) dalam diri seseorang sebagai pedoman hidup untuk senantiasa menjauhi segala larangan-Nya dan menjalankan perintah-Nya. Perbuatan yang tidak baik dan tidak dibenarkan dalam agama, hukum serta lingkungan masyarakat perlu ditegakkan.

Ketiga elemen tersebut harus bersinergi satu sama lain yakni agama sebagai bentuk tanggungjawab individu kepada Tuhannya, hukum yang tegas dan tidak pandang bulu terhadap pelaku korupsi serta lingkungan masyarakat yang tidak menoleransi segala bentuk korupsi maka karakter “Pendidikan Anti Korupsi” dapat terwujud pada seluruh lapisan masyarakat. Jangan menunggu orang lain untuk berubah, mulai ciptakan perubahan dari diri sendiri untuk melawan korupsi.

Ikuti tulisan menarik Ryan Hendrawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler