x

Erick

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 13 Desember 2019 10:45 WIB

Sayang PSSI Bukan BUMN, Jadi Erick Thohir Tak Bisa Bantu Bongkar dan Bersih-Bersih

PSSI lebih parah dari Garuda Indonesia, jadi bila tak dibongkar dan tak dibersihkan, sampai kapan pun, Timnas mustahil berprestasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mustahii Timnas berprestasi, bila PSSI tak dibongkar dan dibersihkan.


Tak kunjung membaiknya prestasi sepak bola nasional dengan tolok ukur genggaman raihan tropi dan ranking FIFA yang semakin terpuruk, tak lepas dari rendahnya keseriusan PSSI dalam pembinaan sepak bola nasional yang berjenjang, mulai dari kelompok umur hingga timnas senior.

Tak mampunya PSSI dalam mengelola pembinaan, setali tiga uang dengan tak mampunya PSSI menemukan pemain nasional yang memiliki standar mumpuni di setiap jenjang Timnas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebabnya, terlalu banyaknya stakeholder di luar PSSI yang ikut campur dalam pembinaan hingga turnemen, menjadikan semua pelatih nasional yang ditunjuk menangani Timnas, khususnya di kelompok umur, kebingungan dalam mencari pemain yang berkualitas. Hal itu masih ditambah terlalu banyaknya ruang pembinaan dan kompetisi di luar kompetisi resmi PSSI.

Bila PSSI mengacu pada sepak bola Eropa atau Amerika, hampir di semua negara, tidak ada pemain yang direkrut oleh pelatih masuk dalam Timnas, bukan dari kompetisi resmi. Juga tak ada dari bukan kompetisi resmi di negara lain.

Untuk masuk dalam jajaran Timnas, seorang pemain juga wajib berstandar "tinggi". Istilah saya, standar tinggi itu minimal memiliki nilai rapor intelegensi, personaliti, teknik, dan speed di atas 8.5, dan postur ideal dengan tinggi badan paling minimal 180cm.

Itulah yang kini dilakukan oleh Vietnam dan Thailand, demi dapat bersaing dengan negara Asia dan dunia. Jadi syarat rapor dan postur ideal serta tinggi badan, di sepak bola modern adalah syarat mutlak.

Rancunya pembinaan dan kompetisi sepak bola nasional dari akar rumput di Indonesia, seolah memang dibiarkan saja oleh federasi kita yang belum pernah cerdas ini. Sudah menjadi standar dan garansi, bahwa Timnas handal lahir, karena kompetisi juga berkualitas. Dan dari kompetisilah, lahir pemain standar Timnas.

Tengok, apa yang kurang dari struktur organisasi PSSI? Indonesia yang terdiri dari 34 provinsi, semua terakomodir dalam federasi sepak bola nasional kita. Ada PSSI Pusat, ada Asosiasi Provinsi (Asprov), ada Asosiasi Kabupaten (Askab), ada pula Asosiasi Kota (Askot). Coba, apa fungsi asosiasi bawahan PSSI pusat ini? Adakah semua asosiasi melakukan pembinaan dan kompetisi?Lalu bila melakukan pembinaan dan kompetisi, ke mana hasil pemain binaan dan kompetisinya?

Ada juga di bawah Kemenpora, Diklat Pelajar, dan lainnya. Begitupun pihak swasta ada yang memutar Liga semacam Kompas, TopSkor, IJSL, dan IJL. Kemenporapun memutar turnamen Menpora, ada Liga Santri dan seabreg Liga-Liga, yang notabene-nya, aktor sepak bolanya juga pemain yang itu-itu juga.

Ironisnya, ujung dari pembinaan dan kompetisi yang campur aduk itu, semua memiliki ambisi menyodorkan pemain hasil binaan dan kompetisinya ke timnas.

Khusus untuk kompetisi Liga 1 yang dihelat PSSI, hingga tahun ini, 2019, juga semakin tak berbentuk arahnya dalam memberikan kontribusi pemain untuk timnas.

Selain jadwal kompetisi yang kacau, Liga 1 didominasi oleh pelatih asing, yang masing-masing pelatih juga hanya berpikir membawa klub menang dan menang, hingga taktik dan strategi setiap pelatihpun semakin tak nyambung dengan akar sepak bola nasional. Pada akhirmya timnas senior selalu terpuruk.

Uniknya lagi, tugas dan wewenang Asprov yang hanya menggelar turnamen sekelas Piala Suratin dan Turnamen Liga 3, juga tak pernah melakukan pembinaan.

Publik juga boleh tertawa, ada Asprov yang menggelar Piala Suratin, pemainnya harus berdasarkan domisili, namun di Asprov lainnya hal tersebut tidak dipersoalkan. Luar biasa kacau dan rancu.

Sementara banyak pemain usia muda, yang dapat berperan sebagai pemain SSB atau Akademi Sepak bola, namun juga terdaftar sebagai pemain Suratin di sebuah Klub, terdaftar pula di tim Piala Menpora, tercatat dab bermain juga di kompetisi internal Askab/Askot, bermain di kompetisi semacam Liga Kompas atau Liga TopSkor, dimainkan pula di Kompetisi Liga 1. Luar biasa, seorang pemain usia muda di Indonesia yang beruntung, dapat rangkap jabatan sebagai pemain di berbagai tempat.

Pemain yang berhasil hingga menembus timnas, maka semua tempat yang memakai jasa pemain tersebut ramai-ramai mengakui pemain tersebut adalah jebolan dari tempatnya.

Namun miris, pemain yang tak berhasil, tak ada gegap gempita pengakuan dari berbagai tempat.

Ayolah PSSI, apakah sepak bola nasional akan terus rancu seperti ini? Mana prioritas yang wajib Anda urus demi terbentuknya timnas handal di semua kelompok umur?

Pembinaan dan kompetisi berserakan, standar pemain nasional tak pernah baku. Setiap pelatih menentukan standar sendiri.

Bila selama ini saya menggaungkan tentang TIPS (Teknik, Intelegensi, Personaliti, dan Speed), itu adalah standar kurikulum dari Akademi Sepak Bola Ajax Amsterdam, Belanda.

Apa standar pemain nasional Indonesia? Lalu, dari pembinaan atau kompetisi macam mana, seorang pemain layak direkrut ke timnas?

Ayo jangan asyik mengurus Kompetisi Liga 1 dan 2 yang bersponsor "basah", lalu sibuk mencari uang dengan mendenda suporter, ofisial, pemain, dan pelatih.

Tunjukkan mana, pembinaan dan kompetisi sepak bola di seluruh Indonesia yang syah dan wadah tersebut ada lisensi untuk seorang pelatih timnas dapat merekrut pemain bersangkutan.

Tengok juga ke kompetisi swasta. Ada SSB yang menurunkan pemain murni hasil pembinaan dan orangtuanya iuran, namun bersatu dengan SSB yang pemainnya hasil seleksi dan gratis. Lebih menyesakkan, SSB yang gratis dan seleksi pemain itu hanya camat-comot pemain dari SSB binaan lainnya yang sama-sama terlibat dalam wadah kompetisi yang sama.

Sudah begitu, wadah kompetisi swasta pun, membentuk pula semacam timnas sendiri. Ada yang benar objektif karena berdasarkan standar pemain karen timnas yang dibentuk ada anggaran. Namun, ada yang merekrut pemain berdasarkan kemampuan finansial orangtua pemain.

Pokoknya seru deh. Sepak bola kita. Semua berebut kue. Tapi saat Timnas terpuruk dan gagal, PSSI juga tidak pernah malu.

Andai PSSI ini BUMN, yakin Presiden Jokowi melalui tangan Mas Menteri Erick Thohir, sudah melakukan bongkar dan bersih-bersih. Sebab kekacauan BUMN Garuda Indonesia, tentu tidak sekacau PSSI.

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler