x

Dua bocah menaiki sampan saat bermain di pantai Sawandarek di Distrik Meos Mansar, Raja Ampat, Papua Barat, 22 November 2019. Beningnya air di kawasan Sawandarek, kita dapat melihat dari jelas, berbagai jenis ikan yang ada di kawasan wisata ini. TEMPO/Fardi Bestari

Iklan

Astried Ainahaq

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Desember 2019

Sabtu, 14 Desember 2019 05:17 WIB

Perselisihan Mahasiswa Papua dengan Aparat Hukum

Artikel ini saya buat sebagai respon atas fenomena yang terjadi beberapa bulan lalu. Artikel ini murni dari pemikiran saya dan reaksi atas apa yang terjadi. Saya berharap, ke depannya tidak ada lagi konflik yang mendiskriminasi suatu kelompok tertentu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti yang kita ketahui, beberapa bulan lalu terjadi konflik Papua dengan Indonesia atau mungkin yang lebih spesifik dengan Jawa dan negara. Apa yang sebenarnya terjadi? Dilansir dari tribunnews, Kapolres menjelaskan, awalnya Asrama Mahasiswa Papua yang berada di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur, dipadati ratusan organisasi masyarakat atau ormas pada Jumat (16/8/19).

Menurut Sandi, Kapolrestabes Surabaya, aksi yang dilakukan ormas di Asrama Mahasiswa Papua dilatarbelakangi adanya penistaan simbol negara yang diduga dilakukan oleh mahasiswa Papua, yaitu pembuangan bendera merah putih ke selokan. Pengepungan yang dilakukan oleh ormas ini justru merusak beberapa bagian dari Asrama Mahasiswa Papua tersebut bahkan mereka meneriaki mahasiswa-mahasiswa dengan sebutan babi, anjing, monyet, dan kata-kata rasis lainnya. Menurut penuturan salah satu mahasiswa Papua, mereka kemudian meminta negosiasi atau pendekatan hukum. Mereka juga ingin melakukan klarifikasi namun tidak ada respon.

Setelah video mahasiswa Papua yang dipanggil dengan sebutan ‘monyet’ oleh aparat hukum tersebar, pada tanggal 19 Agustus 2019, terjadi unjuk rasa di Manokwari, Papua Barat yang disebabkan oleh tidak terimanya warga Papua dipanggil dengan sebutan tersebut. Dilansir dari bbc.com, massa membakar Gedung DPRD Papua Barat dan Gedung penjualan mobil di Kota Manokwari. Protes dilakukan menyusul tindak kekerasan aparat kepolisian atas demo mahasiswa Papua di Surabaya yang disusul dengan penangkapan. Selain di Manokwari dan Jayapura, laporan-laporan media menyebutkan bahwa aksi unjuk rasa juga digelar oleh sekelompok orang di Kota Merauke, Provinsi Papua dan Kota Sorong, Provinsi Papua Barat. Karena konflik ini terpusat di Surabaya, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa meminta maaf terkait insiden tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari kejadian diatas dapat kita lihat betapa intoleransinya warga Indonesia, bahkan aparat kepolisian yang seharusnya memberi contoh toleransi pun ikut melakukan kegiatan rasisme tersebut. Warga Papua adalah Warga Negara Indonesia, sama seperti warga Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan lain-lain. Lalu apa sebenarnya yang melatarbelakangi adanya tindakan rasisme dan diskriminasi terhadap warga Papua ini? Bahkan oleh aparat negara sekalipun. Apakah karena Papua berada di wilayah Indonesia yang paling timur? Kalaupun iya, apa salahnya? Papua berkontribusi memberikan kekayaan kepada Indonesia berupa bahan tambang. Tak punya duit, salahkan pemerintah karena Freeport bukan milik Indonesia. Namun, perilaku terhadap warga Papua masih sama, penuh rasisme dan diskriminasi. Indonesia kemudian resmi menjadi pemegang saham terbesar di Freeport, perlakuan kepada warga Papua masih sama. Padahal mereka yang menyumbangkan sedikit kelimpahan alamnya kepada negara.

Perbedaan warna kulit? Kalaupun iya, apakah dengan memiliki warna kulit yang lebih terang, sedikit, dibanding mereka menjadikan kita menjadi lebih baik? Tidak. Papua ingin merdeka, Papua ingin melepaskan diri dari Indonesia, dihujat. Orang-orang yang tidak peduli mendadak peduli dengan dalih, “Papua bisa jadi miskin seperti Timor Leste. Sudah enak di Indonesia, kenapa ingin berpisah?” Sifat seperti ini yang terkadang membuat saya berpikir, apakah benar peraturan mengenai identitas nasional benar-benar ada? Hanya karena perbedaan warna kulit dan wilayah bisa membuat suatu kelompok merasa berbeda dari Indonesia yang satu. Hanya karena dua faktor tersebut, suatu kelompok terasa memiliki identitas nasional. Atau mungkin pertanyaan saya yang sebenarnya adalah, apakah memang benar identitas nasional itu ada?

Papua telah berjuang selama ini untuk bertahan namun selalu ada oknum yang mencoba memancing amarah mereka. Ketika mereka menginginkan untuk berpisah dilarang bahkan dianggap melanggar peraturan perundang-undangan. Apakah benar hukum kita menggunakan sistem transparasi? Ketika warga melanggar, dituntut. Ketika aparat negara melanggar, dimaafkan. Bahkan setelah kita tahu beberapa kasus yang terjadi di Indonesia pun kita bisa mengambil keputusan ya atau tidaknya sistem transparasi dalam hukum di Indonesia dilaksanakan.

Orang Indonesia sulit ditebak. Atau mungkin lebih condong kepada apapun yang kita lakukan selalu salah dimata beberapa orang Indonesia. Menurut saya, sebenarnya orang Indonesia membutuhkan edukasi lebih perihal menghargai ras dan suku lain, khususnya warga Timur. Orang-orang Indonesia selalu menggembar-gemborkan bahwa orang Indonesia adalah orang yang paling ramah di dunia. Padahal menurut saya, orang Indonesia hanya ramah pada orang-orang yang mereka kenal.

Contoh kecil, ada orang jatuh di depan mata, beberapa orang mungkin ada yang membantu, tapi yang hanya melihat atau bahkan menertawakan atau bahkan tidak peduli sama sekalipun juga banyak. Dan salah satu penyakit yang buruk dan diidap hampir seluruh orang Indonesia adalah, tidak mau belajar dan selalu merasa paling benar. Sebenarnya salah satu cara untuk mengantisipasi terjadinya konflik antar suku atau ras adalah edukasi untuk saling menghargai, tetapi karena adanya ‘penyakit kronis’ yang diidap oleh banyak orang Indonesia, edukasi ini mungkin tidak bisa menjadi solusi untuk menghindari konflik tersebut.

Harusnya muncul kesadaran dari setiap individu untuk mau belajar dan berubah juga menghilangkan perasaan ‘privilege’ atas warga Timur yang sebenarnya sama saja dengan warga Barat. Dan juga orang-orang Indonesia ini, yang selalu merasa memiliki hirarki diatas warga Timur, justru seharusnya lebih berterima kasih kepada Papua karena mereka bisa disebut sebagai sumber kekayaan Indonesia. Tidak ada yang tahu jika Papua merdeka mungkin Papua justru bisa lebih kaya dari Indonesia setelah Indonesia melepas Papua.

Dengan adanya konflik ini, mari kita berharap semoga warga Indonesia bisa lebih sadar. Aparat hukum juga bisa lebih bijaksana dalam melakukan tugasnya, bekerja atas dasar hukum dan profesionalitas, bukan atas dasar dendam atau ketidaksukaan terhadap suatu suku atau ras. Dan dari pemerintah semoga bisa lebih tegas dalam mengatasi permasalahan antar suku seperti ini, buktikan dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengatasi dan menghindari terjadinya konflik seperti ini, jangan hanya mencegah Papua untuk merdeka, tapi kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengatasi dan menghindari konflik antar suku dan ras justru mendiskriminasi warga Papua. Mari kita berdoa agar Indonesia menjadi lebih baik dan menjadi lebih satu dari sebelumnya.

Ikuti tulisan menarik Astried Ainahaq lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler