x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Minggu, 12 Januari 2020 10:03 WIB

Negeri Pesilat Lidah; Asal Musuhnya Bantah Asal Temannya Ibadah

Negeri pesilat lidah, tempat tummbuhnya kaum narasi bukan aksi. Asal musuhnya bantah asal temannya jadi ibadah. Negeri penuh kemasan bukan amalan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Musim hujan tanda musim silat lidah?

Bisa jadi, karena belakangan ini kita dihadapkan pada pertunjukkan “silat lidah”. Hingga urusan banjir kemarin pun penuh dengan silat lidah. Tertangkapnya Komisioner KPU pun jadi bahan silat lidah, tentang terlibat atau tidaknya petinggi di PDIP? Belum lagi, soal kematian Lina, mantan istri Sule pun berpotensi jadi bahan silat lidah.

 Jadi salah, bila musim hujan dibilang musim duren. Justri musim hujan itu tanda musim silat lidah. Hampir semua topik, apalagi politik terlalu mudah jadi arena permainan silat lidah. Saling berbantah, saling berdalih. Agar semua jadi "abu-abu", biar gak jelas mana yang benar mana yang salah. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Silat lidah” itu berarti berdalih, memutarbalikkan perkataan.

Tentu, silat lidah adalah suguhan atau atraksi yang sama sekali tidak menghibur. Bahkan tidak bernilai dan tidak mencerahkan siapapun. Sayangnya, banyak orang mau dan sudi terlibat dalam “silat lidah”. Apalagi para netizen dan “pemain media sosial”, silat lidah sepertinya sudah jadi budaya. Saling berbantah, saling membela diri. Sungguh, silat lidah ibarat menonton “aksi tong setan”. Menyaksikan pengendara sepeda motor berputar-putar dalam sebuah bulatan kerangka besi. Hingga membuat penonton, kehilangan orientasi, kehilangan logika, bahkan kehilangan kata-kata.

 

Ada benarnya kata pepatah "lidah tak bertulang".

Itulah kiasan yang pas buat orang-orang yang pandai bersilat lidah. Kata-katanya manis yang keluar dari mulutnya. Tapi perilaku dan realitasnya, tidak semanis lidahnya. Anehnya, silat lidah justru jadi gaya hidup dan budaya yang kian digemari. Banyak omong tapi perbuatan nol, itulah silat lidah.

 

Senang berbantah-bantahan, senang berdalih di balik kepandaian berkata-kata.

Bila silat lidah sudah jadi budaya, apa yang bisa diperbuat. Justru silat lidah adalah arena tumbuh suburnya budaya senang menuding, menebar berita bohong, hingga menghujat dan membenci. Karena itu semua. pekerjaan orang-orang pesilat lidah. Selalu saja ada yang harus dibantah. Fakta atau bukan, nyata atau tidak sudah tidak penting. Asalkan masih bisa bersilat lidah, berkata-kata kosong.

 

Pesilat lidah itu bisa jadi orang bingung. Karena tidak paham, apa yang dibantah dan kenapa harus dibantah? Bukan apa yang dikerjakan dan kenapa harus dikerjakan?

 

Drama “silat lidah" bisa jadi tidak akan berkesudahan. Silat lidah itu "pertarungan" yang tak akan pernah usai. Seperti orang-orang di warung kopi, makin banyak berdalih makin asyik. Makin mahir memutar balik fakta, makin keren. Makin banyak berdali dianggap makin pintar. Apalagi di medsos, para tifosi politik pun pandai bersilat lidah. Suguhan silat lidah makin membahana di era yang katanya makin canggih.

 

Musim hujan tanda musim silat lidah.

Karena pesilat lidah memang sangat pandai menyembunyikan fakta-fakta yang merugikan dirinya. Tapi hebatnya, mereka mampu menonjolkan hal-hal yang menguntungkan dirinya. Selalu ada segudang ’amunisi’ argumen untuk berdalih, untuk memutar balik perkataan. Apalagi terhadap lawan poltik atau orang yang tidak disukainya.

 

Bukan bersilat lidah namanya. Bila gak punya jurus untuk berkelit untuk berdalih. Semua saran dan masukan, harus dilawan dengan narasi bukan aksi. Asal musuhnya, apapun harus dibantah. Asal temannya, salah pun jadi benar. Itulah kaum pesilat lidah.

 

Hati-hati, saat bersilat lidah. Orang yang tahu sedikit pun bertindak seperti tahu banyak. Kerjaannya guru, tapi komentarnya tentang politik.Kerjaannya main medsos, tapi komentarin pemerintahan. Pesilat lidah sering lupa. Apa yang terjadi hari ini adalah hasil dari proses di masa lampau. Aneh bin ajaib, kaum pesilat lidah. Hanya di mata kaum pesilat lidah, bangunan kokoh yang bertengger puluhan tahun pun dengan mudahnya diruntuhkan dalam sekejap.

 

Sungguh, silat lidah itu bak perdebatan yang menyesatkan hati dan mempusakai kedengkian, begitu kata Malik bin Anas. Maka pantas, hampir semua orang yang pandai bersilat lidah itu pasti berakhir pada kebencian. Sejatinya, "sedikit sekali lidah itu berlaku adil kepada siapapun, baik dalam menyebarkan keburukan maupun kebaikan".

 

Sungguh, silat lidah itu tak lebih dari kemasan bukan amalan. Tak lebih dari mimpi bukan implementasi. Asal ngomong tapi isinya kosong. Seperti kata indah Ali bin Abi Thalib "lidah orang yang berakal itu ada di belakang hatinya; sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya". Salam silat lidah #BudayaLiterasi #SilatLidah

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu