x

Kasus pembunuhan hakim Jamaluddin

Iklan

Muhammad Radhi Mafazi

Penulis Bebas
Bergabung Sejak: 15 Januari 2020

Sabtu, 18 Januari 2020 18:30 WIB

Menjadi Manusia Secukupnya (Dalang dibalik Kasus Jamaludin dan Ketidakpuasan Terhadap yang Digenggam)

Dalang dibalik Kasus Jamaludin dan Ketidakpuasan Terhadap yang Digenggam

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada bulan November 2019 lalu masyarakat dihebohkan dengan terbunuhnya seorang hakim pada Pengadilan Negeri Medan. Jenazahnya ditemukan di dalam mobil yang terjerumus didalam jurang di Dusun II Namo Rindang, Desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Beberapa media nasional memberitakan bahwa kejadian ini ulah dari salah satu kelompok sparatis yang bergerak di daerah tersebut yaitu GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kejadian ini membuat resah masyarakat sekitar, tetapi pihak yang berwenang tidak begitu saja menujukan tuduhan sepihak pada kelompok tersebut. Luarbiasa kebaikan dari mendiang, hingga istrinya menangis sesenggukan dari rumah duka hingga peristirahatan terakhirnya.

Butuh sekitar 2 (dua) bulan mengungkap dalang dibalik kasus ini, tidak disangka otak dari pembunuhan tersebut adalah istri kedua mendiang, yang menangisi mendiang paling emosional, hingga masyarakat tidak menyangka akan hal ini termasuk penulis. Menarik untuk dibahas dari kasus yang mengegerkan ini dari awal kejadian hingga terungkap dalang dibalik kasus diatas. Penulis membagi tiga pembahasan, agar kita bisa mengambil pembelajaran dari kasus tersebut.

Rasa Tidak Puas dan Efeknya

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konstruksi berpikir masyarakat kita yang terus bergeser dari masa ke masa, terdapat ciri khasnya, seperti di era milenia ini seperti kepuasaan bukan lagi saat kita puas dengan apa yang dimiliki, tetapi pada cara seseorang dapat membagikan kebahagiaan yang ia dapat, dan mendapatkan respon postif dari yang melihatnya. Dahulu liburan atau kebahagiaan yang kita dapat hanya uuntuk konsumsi pribadi. Bisa disimpulkan bahwa hari ini kita sedang dikendalikan oleh respon orang lain. Darisinilah rasa ketidakpuasan kita sering muncul karena ulah kita sendiri. Padahal menurut Manampiring (2019), kita mempunyai pilihan untuk mengendalikan segala hal yang ada dari luar yang akan dipersepsi oleh pikiran kita. Hal ini didasarkan pada pernyataan Epictetus “ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita”. 

Menariknya rasa tidak puas ini tergambar pada kasus pembunuhan hakim PN (Pengadilan Negeri) Medan tersebut, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2016), dengan judul Meneropong Perlindungan Hukum dari Kacamata Kebijakan Sosial (Studi Terhadap Penghukuman Perempuan Pelaku Pembunuhan), dengan metode penelitian studi kasus terdapat salah satu hasil sebagai berikut, bahwa pelaku ‘pembunuhan’, umumnya melakukan pembunuhan dengan pola coping vigilance, yaitu menimbang dengan hati-hati khususnya resiko yang dihadapi dari pilihannya tersebut, dan ada subjek yang mengambil pilihan membunuh tanpa mempertimbangkan resiko dari pilihan tersebut, kepanikan akan dianiaya lebih lanjut oleh suami. Pada penelitian tersebut juga disebutkan ketika perempuan melakukan tindak pidana kejahatan, didasarkan pada apa yang ia terima seperti kekerasan fisik maupun psikis dari suami, hal ini sejalan dengan salah satu analisa dari psikolog yang dimuat pada detik.com bahwa perempuan melakukan pembunuhan  karena terlalu lama menyimpan rasa sakit dan takut.

Bahwa adanya rasa tidak puas karena faktor dari luar yang dipersepsi oleh manusia begitu saja, tanpa adanya kendali dengan melihat kemampuan diri, hal tersebut terjadi karena konstruksi berpikir masyarakat di dunia mulai bergeser dengan tidak adanya batasan privasi dan cara menikmati kebahagian yang selalu ingin mendapat “like” dari oranglain, melalui media sosial, segala aktifitas yang dilakukan  di zaman milenial ini  hanya sebatas “menyenangkan oranglain”, sehingga ia lupa akan dirinya sendiri, dan membuat oranglain “cemburu”.

 Mengisi Ketidak Puasan

Kata seorang bijak “hidup berumah tangga itu seperti naik roller coaster”, makna dari kalimat tersebut, bahwa akan banyak naik turunnya dalam menjalani bahtera rumah tangga, termasuk rasa cinta pada pasangan dan anak-anak, tidak dipungkiri rasa bosan kerap menjamuri kegiatan rutin didalam lingkup kecil. Analogikan perasaan yang kita punya seperti  baju atau barang jika tidak ingin terkena jamur harus rutin terkena paparan cahaya , seperti halnya perasaan kita agar tidak “dijamuri” rasa bosan kita butuh hal yang baru. Seperti “me time”, atau sekedar mengunjungi tempat yang baru.

Rasa bersyukur bisa kita miliki ketika kita mencoba hidup dengan aliran minimalis, bedakan minimalis dengan “miskin”, mental para penganut aliran kehidupan minimalis, lebih melihat daya guna suatu barang daripada gengsi belaka, termasuk demi menyenangkan para pengikut kita di media sosial dengan meng-upload pada media sosial yang kita miliki. Ungkapan “rumput tetangga terlihat lebih hijau” seolah menjadi  alasan cara manusia melakukan kegiatan amoral secara sah. Penulis mememiliki beberapa cara mengatasi ketidakpuasaan dengan apa yang kita miliki, pertama, menerima apa yang sudah kita miliki, dengan cara membandingkan dengan orang yang mendapatkan kurang dari apa yang kita dapatkan (ex: mempunyai suami pejabat, melihat suami yang menjadi pekerja bangunan), kedua, usahakan tetap mencintai pasangan secara logis, ketiga, bagi waktu kita dalam seminggu untuk menyisihkan beberapa jam dari seminggu untuk kegiatan sendiri.

Defenisi cinta sangatlah rumit dijelaskan, beberapa ahli mendifiniskan tidak pernah ada satu kesepakatan mutlak mengenai emosi postifi yang satu ini, tetapi penulis menyadur dari salah satu buku yang dimuat dalam web pijarpsikologi.org, ketika seseorang dapat mengatakan “saya cinta kamu”, tetapi juga harus dapat mengatakan “saya mencintai semua orang, saya mencintai seluruh dunia, saya mencintai kamu dan juga diriku”.  Terkesan narsis memang saat orang mengatakan cinta terhadao dirinya sendiri, tetapi secara logika sehat ketika seseorang tidak mencintai dirinya sendiri bagaimana dia akan mencintai sesamanya atau yang lebih tinggi dari pada dirinya.

Menjadi Manusia yang Secukupnya

Hakikat sebagai manusia tidak akan pernah terpuaskan dengan apa yang dimiliki, karena pengaruh eksternal yang berada di sekitar, kadang ketika tetangga membeli barang baru kita yang melihat mengalami panas dingin, menurut Erich Fromm pada bukunya yang berjudul “The Art of Living” , dorongan manusia untuk semakin banyak mengkonsumsi menyiratkan adanya suatu penyakit tertentu, bahayanya adalah, ketika manusia dipenuhi keinginan untuk mengonsumsi, manusia tidak akan dapat menyelesaikan permasalahannya kepasifan internal, kekosongan batiniah, serta perasaan depresi karena hidup dalam arti tertentu tidak masuk akal.

Manusia merupakan makhluk yang mempunyai minat terus menurut terhadap dunia luar, ia selalu mencari pembenaran untuk melanjutkan eksistensinya di muka bumi, terkadang mereka menyampingkan sisi “manusiawi” yang terhadap dunia luar. Beberapa tips dari Erich Fromm dalam bukunya The Art Of Living, agar kita tetap bisa mencapai “minat” yang kita inginkan sehingga bertansformasi manusia yang bereksistensi “menjadi”, pertama, untuk dapat mengatasi orientasi memiliki terletak pada kapasistas untuk menyadari hal tersebut. Kedua, memperoleh suatu kesadaran akan akar dari orientasi memiliki, seperti perasaan negatif (ex; tidak berdaya, takut, cemas, tidak percaya diri). Ketiga, kesadaran seseorang tentang akar dari orientasi memiliki, yang dibarengi dengan perubahan-perubahan dalam praktik hidup, dimana langkah pertama adalah melepaskan cengkeraman orientasi memiliki terhadap seseorang. Manusia harus berani melepaskan sesuatu untuk berbagi, dan menanggung kekhawatiran setelah melepaskan. Terakhir, melepaskan beberapa barang yang dimiliki, maksud dari point ini adalah, sebagai manusia harus melepaskan diri dari bayang-bayang orang lain, yang sudah membeku dalam pikiran kita, dengan mengubah pola perilakunya.

Disadari atau tidak kita menjadi manusia yang selalu merasa kurang, karena melihat oranglain, sehingga dalam kehidupan sehari-hari merasa khawatir, atau kita sendiri yang membandingkan hidup yang telah dianugrahkan kepada kita dengan hidup yang oranglain miliki. Banyak manusia disana yang terlalu banyak mengonsumsi apa saja baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, akhirnya harus di bina dalam Lembaga, agar “gap” harapan dan kenyataan dapat terkikis dan tersadar.

Untuk menjadi “manusia yang secukupnya” kita mulai dari dari dalam diri kita sendiri. Agar segala aspek kehidupan dapat terasa membahagiakan kita, dan oranglain. Terimakasih pelajaran kehidupan di awal tahun 2020 ini, karena adanya kasus Pembunuhan (Alm) Jamaluddin, masyarakat Indonesia menjadi tahu, bahwa manusia tidak akan pernah puas dengan memiliki satu, dua barang. Sejatinya hidup ini adalah melepaskan diri kita dari belenggu pemikiran diri sendiri untuk mengonsumsi segalanya. Selamat menjadi secukupnya.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Radhi Mafazi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu