x

Iklan

Fajar Anugrah Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 24 Januari 2020 06:14 WIB

Dana Desa dan Bancakan Korupsi

Korupsi sudah menyerang seluruh lapisan. Tak terkecuali di desa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

            Terbentuknya Undang Undang (UU) Desa No 6 Tahun 2014 merupakan pengakuan besar terhadap keberadaan dan semangat otonomi desa. Sebagai struktur politik terkecil dalam sistem pemerintahan nasional, desa tentunya harus mendapat perhatian ekstra. Hal ini mengingat jumlah desa yang ada di Indonesia sangat besar.

Kepala Sub Direktorat Fasilitasi dan Kode Desa Roosmaryanti mengatakan, jumlah desa defenitif di Indonesia berdasarkan Permendagri Nomor 56 tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, berjumlah 74.910 desa. Data ini menggambarkan bagaimana potensi desa sangat besar. Dan apabila dikeola dengan baik, maka akan memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian masyarakat desa khususnya dan nasional umumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Semangat UU Desa ini kemudian diejawantahkan salah satunya lewat dana desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini merupakan amanat UU Desa pasal 72 b yang menerangkan bahwa keuangan desa salah satunya bersumber dari APBN. Prinsip yang dijadikan pijakan dalam dana desa yang bersumber dari APBN ini ialah merata dan berkeadilan. Artinya, desa-desa diberikan jatah masing-masing dana sesuai dengan peraturan yang berlaku—tidak pandang bulu. Adapun besaran dana yang dikucurkan yakni sebesar 1-1,5 miliar. Namun, rata-rata setiap desa mendapat 1 miliar. Dengan begitu, bila kita kalikan angka 1 miliar dengan jumlah desa di atas, jumlahnya mencapai 74,9 triliun. Nominal itu sungguh fantastis.

            Meskipun rata-rata setiap desa penulis asumsikan mendapat 1 miliar, akan tetapi, dana desa dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Bila kita berkaca dari tahun 2015 yang menjadi tahun awal pencairan dana desa, pemerintah menghabiskan sekitar 20,76 triliun dengan penyerapan mencapai 82 persen sampai akhir tahun. Meski angka serapan masih rendah, namun dana desa terus meningkat. Di tahun 2016 menjadi Rp 46,9 triliun, kemudian Rp.60 triliun pada tahun 2017. Hingga melejit di angka Rp. 149,31 triliun pada 2018.

            Besaran dana yang terus bertambah dari tahun ke tahun merupakan komitmen nyata pemerintahan Joko Widodo untuk merealisasikan salah satu isi Nawacita yakni memajukan daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Joko Widodo. Pembangunan desa dan daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) diharapkan menguatkan struktur pemerintahan terkecil yang akan berimbas pada struktur pemerintahan terbesar. Bottom-up digalakkan.

            Akan tetapi, lazim nya suatu kebijakan, pasti selalu melahirkan dua dampak—positif dan negatif. Kebijakan dana desa ini tentunya memiliki beberapa dampak yang positif, mulai dari peningkatan layanan, perbaikan infastruktur, dan lainnya. Akan tetapi, selain itu, kebijakan dana desa juga memiliki dampak negatif yang ditimbulkan. Salah satunya ialah korupsi.

Korupsi Dana Desa

            Terbukanya keran kebebasan otonomi desa menjadikan dana desa rawan jadi bancakan korupsi. Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap korupsi di tingkat desa menunjukkan, jumlah kasus korupsi melonjak lebih dari dua kali lipat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, kasus korupsi berjumlah 17 kasus dan meningkat menjadi 41 kasus pada 2016. Tahun 2017 melonjak menjadi 96 kasus. Total kasus pada 2015-2017 mencapai 154 kasus.

Dari 154 kasus yang terpantau, anggaran desa adalah obyek korupsi yang paling banyak ditemukan. Total 82 persen kasus menjadikan anggaran desa sebagai obyek. Obyek korupsi anggaran desa mencakup alokasi dana desa (ADD), dana desa, kas desa, dan lain-lain. Kendati demikian, turut ditemukan kasus korupsi dengan obyek non-anggaran desa. Misalnya, pungutan liar yang dilakukan perangkat desa. Total kasus dengan obyek korupsi non-anggaran desa sebesar 18 persen dari keseluruhan kasus.

Selain masalah anggaran, aktor desa juga menjadi sorotan. Dari laporan KPK sepanjang tahun 2015-2017 jumlah kepala desa yang tersangkut kasus korupsi mencapai 112 orang. Pada 2015 terdapat 15 kepala desa. Di 2016 menjadi 32 orang. Serta melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 65 kepala desa pada 2017. Dari hasil pemeriksaan polisi, 32 perangkat desa dan tiga anggota keluarga kepala desa ditetapkan jadi tersangka.

Kasus korupsi desa tersebut turut menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar. Angkanya mencapai Rp 47,56 miliar. Rinciannya adalah Rp 9,12 miliar pada 2015, Rp 8,33 miliar pada 2016, dan  melonjak menjadi Rp 30,11 miliar pada 2017 (Kompas, 19 Februari 2018, hal 6).

Memproteksi Dana Desa dari Korupsi

            Korupsi dana desa di atas menandai perilaku korupsi memang sudah merembes bahkan ke struktur terkecil pemerintahan. Perilaku korupsi pada struktur paling bawah tentunya akan merusak struktur yang paling atas. Struktur desa ibarat pondasi suatu bangunan. Struktur paling atas ialah tiang dan atap nya. Bila desa telah digerogoti oleh korupsi, maka, sebagus apapun atap dan tiang bangunan tersebut dipastikan tidak akan bertahan lama. Rapuh dan mudah roboh. Kalau sudah roboh, bangunan tinggal menjadi puing-puing. Maka, untuk memperbaikinya butuh waktu yang lama.

            Lantas, apa usaha yang harus kita lakukan? Untuk mencegah roboh nya bangunan itu, maka pondasi bangunan harus dikuatkan. Bahan bakunya harus yang bagus. Plaster nya harus yang terbaik. Dan metode pembangunan dan perawatan nya juga harus dilakukan dengan baik. Dengan begitu, maka hasilnya akan baik pula.

Demikian dengan desa. Bila desa betul-betul dibenahi dan jauh dari korupsi, mau tidak mau, suka tidak suka, struktur paling atas akan terkena imbas nya. Semacam trickle down effect. Hal itu jelas memengaruhi kualitas kepercayaan masyarakat. Bila pemerintah nya baik, maka masyarakat juga menaruh simpati pada nya.

Persoalan yang terjadi selama ini, masyarakat memilih untuk bungkam, atau paling-paling hanya menggerutu ketika mendengar kasus korupsi. Masyarakat sudah tak peduli dengan persoalan desa. Atau yang paling mengerikan, mereka sama sekali buta terkait hal itu. Bila sudah begini, peradaban dalam bahaya. Kehancuran negara menjadi niscaya.

            Ada pepatah mengatakan, satu burung layang-layang tidak bisa membuat musim panas (one swallow does not make a summer). Masih perlu waktu panjang pagi pemerintah untuk terus membenahi mekanisme serapan dan implementasi dana desa. Ada banyak persoalan dan tantangan. Akan tetapi, di setiap tantangan selalu terselip harapan. Tinggal bagaimana kita mengelola harapan itu menjadi kekuatan yang terus bertransformasi menjadi sebuah perubahan.

            Akhir kata, semoga pemerintah terus melakukan sosialisasi kepada pemerintah tingkat I dan II sampai ke desa mengenai penting nya prinsip pengelolaan desa yang transparan, akuntabel, partisipatif, dan tertib anggaran. Dalam kepemimpinan, kepala desa dan perangkatnya juga harus mengedepankan integritas dan niat melayani. Dengan begitu, korupsi dana desa bisa ditekan.

 

 

Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler