x

Contoh merek-merek pisang yang dikoleksi Martz yang dikumpulkan selama 29 tahun. Sumber: edition.cnn.com

Iklan

Sujana Donandi Sinuraya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2019

Senin, 2 Maret 2020 11:00 WIB

Mekanisme Pendaftaran Merek Internasional di Indonesia

Artikel ini menyajikan mengenai prosedur pendaftaran merek internasional di Indonesia serta sudut pandang Penulis terhadap dinamika yang melekat dalam pendaftaran tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mekanisme Pendaftaran Merek Internasional di Indonesia

oleh: Sujana Donandi S

Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Presiden

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Merek merupakan salah satu instrumen penting bagi pelaku usaha dalam menjalankan suatu bisnis. Merek yang memiliki reputasi yang baik biasanya memiliki pelanggan yang setia dan banyak. Hal ini dapat dimaklumi meningat reputasi suatu merek dibangun dengan upaya produksi, pemasaran, dan juga pengembangan yang serius. Orang-orang sudah tidak meragukan lagi produk-produk seperti sepatu maupun perlengkapan olahraga lainnya yang diproduksi oleh Nike maupun Adidas karena produk-produk dari kedua pelaku usaha tersebut memang telah diakui memiliki kualitas dan juga model yang unggul.

Pelaku usaha menggunakan merek sebagai representasi produk maupun usaha yang mereka jalankan. Kekhasan suatu merek menjadi daya pikat yang kemudian terasosiasi di dalam benak para konsumen setianya. Buah Apel yang tergigit sedikit bagian depannya mengingatkan orang kepada Apple, produk gadget telekomunikasi yang merajai dunia. Merek juga sering direpresentasikan dengan nama yang sekaligus merek dari produk ataupun suatu produsen, seperti Samsung misalnya.

Ekistensi merek tentunya harus dilindungi dan terlindungi dengan baik. Perlindungan yang harus diupayakan oleh pelaku usaha dapat mengamankan merek yang dibuat dari upaya jahat pelaku usaha lain, ataupun upaya mencari keuntungan secara melawan hukum yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan terlindunginya merek secara hukum dengan baik, maka pelaku usaha juga akan memperoleh hak ekonomi atas merek yang dimilikinya secara maksimal.

Merek yang beredar di Indonesia sangat beragam mulai dari merek lokal hingga merek internasional. Dibukanya kesempatan bagi merek luar negeri masuk ke indonesia di satu sisi telah memperkaya pilihan dan variasi produk bagi konsumen di Indonesia. Selain itu, merek internasional juga menekan merek lokal untuk terus inovatif dan kreatif agar dapat bersaing dengan produk internasional, khususnya yang telah dikenal baik secara global. Realitanya, memang hingga saat ini, produk internasional masih merajai mayoritas pasar di Indonesia.

Merek Internasional pada prinsipnya merupakan kekayaan intelektual milik pelaku usaha yang juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Merek milik pelaku usaha dari luar indonesia merupakan suatu merek internasional di Indoneisa. Begitu pula sebaliknya, merek milik pelaku usaha di indonesia yang beredar di luar negara Indonesia merupakan suatu merek internasional bagi negara tersebut. Oleh karena itu, suatu merek internasional yang ada di Indonesia haruslah beredar dengan memenuhi prosedur hukum di Indonesia agar terlindungi dari pelanggaran Hak Merek yang dilakukan oleh pelaku usaha yang lain. Hal ini juga berlaku bagi pelaku usaha yang ingin memasarkan produknya di luar Indonesia, mereka juga harus menempuh prosedur perlindungan merek sebagaimana diatur di negara di mana merek tersebut beredar di luar indonesia.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis telah mengatur mengenai mekanisme pendaftaran merek internasional yang ingin beredar di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 Ayat (1), permohonan pendaftaran Merek internasional dapat berupa:

  1. Permohonan yang berasal dari Indonesia ditujukan ke biro internasional melalui Menteri; atau
  2. Permohonan yang ditujukan ke Indonesia sebagai salah satu negara tujuan yang diterima oleh menteri dari biro internasional.

 

Kedua ketentuan di atas menunjukkan bahwa Indonesia mengaku eksistensi merek lokal yang beredar di luar indonesia dan juga merek dari luar indonesia yang beredar di indonesia. Kondisi ini menunjukkan adanya asas keseimbangan dan non-deskriminasi terhadap merek internasional. Indonesia terbuka terhadap merek luar indonesia yang masuk ke Indonesia, begitu pula merek lokal yang beredar di luar Indonesia.

Adapun berdasarkan ketentuan Ayat (2), permohonan Merek internasional yang berasal dari Indonesia ditujukan ke biro internasional melalui menteri hanya dapat dimohonkan oleh:

  1. Pemohon yang memiliki kewarganegaraan Indonesia;
  2. Pemohon yang memiliki domisili atau tempat kedudukan hukum di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau
  3. Pemohon yang memiliki kegiatan usaha industri atau komersial yang nyata di wilayah kesatuan republik Indonesia.

Penjelasan Ayat (2) menunjukkan bahwa yang dapat melakukan permohonan registrasi ke luar negara Indonesia melalui menteri adalah warga negara Indonesia. Akan tetapi, jika kita amati huruf b dan c, maka dimungkinkan juga bahwa pihak tersebut bukan warga negara Indonesia, asal pelaku usaha tersebut telah melakukan investasi atau berkedudukan di Indonesia. Penulis memandang ketentuan ini sebagai hal yang baik agar investasi di Indonesia semakin meningkat. Oleh karena itu, bagi merek yang ingin melakukan registrasi melalui kementerian di Indonesia, maka ia haruslah memiliki sumbangsih yang nyata dalam investasi bisnis di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 jelas terlihat bahwa Indonesia mengakui eksistensi merek Internasional. Merek Internasional yang diakui di Indonesia terdiri dari merek yang didaftarkan dari Indonesia untuk kemudian dapat diproses secara internasional melalui biro internasional, maupun pendaftaran melalui biro internasional yang ditujukan ke Indonesia. Bagi Merek yang ingin terdaftar secara internasional melalui kementerian di indonesia, maka baginya wajib berkedudukan atau berinvestasi secara nyata di Indonesia.

Memahami Madrid Protokol

Sebagai respon terhadap realita keberadaan merek internasional, maka dibentuklah Madrid Protokol sebagai sistem administrasi merek internasional. Melalui Madrid Protokol, pelaku usaha dapat mendaftarkan mereknya melalui 1 aplikasi saja yang mana kemudian aplikasi tersebut akan diteruskan ke negara-negara di mana pelaku usaha yang mendaftarkan mereknya ingin mereknya terdaftar.

Madrid Protokol memang memudahkan bagi pelaku usaha untuk memproteksi mereknya secara global. Sebelum adanya Madrid Protokol, pelaku usaha harus melakukan registrasi secara langsung ke masing-masing negara di mana pelaku usaha ingin agar mereknya terproteksi. Secara ekonomi, sistem ini juga lebih murah karena menggunakan sistem 1 kali pembayaran untuk aplikasi yang dapat diregistrasikan ke beberapa negara yang dituju.

Meskipun Madrid protokol mempermudah pelaku usaha untuk mendaftarkan mereknya di beberapa negara, bukan berarti pengujian dan pemberian proteksi terhadap merek yang diajukan dilakukan secara tunggal pula. Merek yang didaftarkan akan tetap diuji oleh instansi berwenang di masing-masing negara untuk menentukan apakah merek tersebut dapat didaftarkan atau tidak di negara yang dituju. Hal ini merupakan konsekuensi pengakuan terhadap kedaulatan setiap negara yang menghendaki tiap negara memiliki otoritas dalam menentukan hukumnya. Dalam hal ini termasuk pula dalam melakukan pengujian terhadap merek. Sebagaimana kita tahu, bahwa tiap negara memiliki nilai dan budaya yang berbeda. Di Indonesia sendiri misalnya, setiap kekayaan intelektual yang hendak mendapatkan proteksi hukum, hendaklah tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dengan demikian, tiap merek yang ingin diakui secara hukum juga harus terverifikasi kesesuaiannya dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan di Indonesia. Sebagai contoh, nilai kehidupan bangsa Indonesia tidak menghendaki adanya tindakan ataupun tampilan yang menampilkan pornografi. Maka, ketika ada suatu merek yang mengandung unsur pornografi, maka merek tersebut akan ditolak pendaftarannya. Di negara lain, hal semacam ini mungkin saja dibolehkan, tergantung nilai kehidupan yang dianut di negara tersebut.

 

Hal Yang Belum Tuntas

Hal yang menarik mengenai merek adalah mengenai merek yang sudah eksis di suatu negara, namun tidak terdaftar di Indonesia dan kemudian merek tersebut didaftarkan oleh pelaku usaha di Indonesia sebagai mereknya. Hal inilah yang terjadi dalam kasus Superman dan Pierre Cardin. Kedua merek tersebut telah digunakan pelaku usaha di luar Indonesia. Lalu pelaku usaha di Indonesia menggunakan atau setidaknya dapat kita katakan memodifiksi secara mayoritas dan juga mendaftarkannya sebagai merek miliknya. Pemilik kedua merek yang ada di luar Indonesia kemudian menggugat pengusaha Indonesia atas tindakan menggunakan merek tersebut, namun kemudian ditolak oleh pengadilan karena pengadilan mengakui siapa yang secara resmi terdaftar sebagai pemilik kedua merek tersebut di Indonesia, yaitu pelaku usaha di Indonesia.

Permasalahan sebagaimana telah dijelaskan erat kaitannya dengan pemahaman mengenai eksistensi merek terkenal. Terlepas dari apakah kedua merek tersebut termasuk dalam kategori terkenal atau tidak, namun Penulis melihat adanya kekurangan dalam sistem pendaftaran merek di Indonesia yang secara kaku mengakui pemilik seuatu merek sebagai pihak yang terdaftar secara resmi, padahal secara realita kedua merek tersebut telah jauh dikenal di luar Indonesia jauh sebelum pelaku usaha Indonesia menggunakan dan mendaftarkan kedua merek tersebut.

Tampak bahwa meskipun telah ada kesepakatan antar negara-negara untuk melindungi merek terkenal dari negara lain meskipun tidak terdaftar di negara anggota yang bersangkutan, namun tetap saja pada akhirnya negara lebih mengutamakan hukum di negaranya. Dalam hal ini, Indonesia menganut sistem first to file yang menghendaki suatu merek haruslah dicatatkan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum. Dengan demikian, pemilik suatu merek adalah pihak yang namanya tercatat sebagai pemilik merek.

Penulis melihat perlu adanya solusi terhadap situasi ini. Bagaimanapun, tindakan mengunakan merek Internasional dan kemudian mengakuinya sebagai milik kita adalah tindakan yang merugikan si pemilik merek yang pertama. Pemilik merek pertama berhak atas insentif terhadap penggunaan merek yang telah digunakannya pertama kali. Suatu merek dihasilkan dengan daya pikiran, energi, waktu, dan bahkan uang. Maka, seharusnya pengujian material lebih diutamakan daripada sebatas pemenuhan formalitas. Untuk itu, Penulis juga menyarankan negara-negara untuk memiliki pemahaman yang seragam dan merevisi kembali kesepakatan Internasional di bidang merek untuk kemudian memprioritaskan realitas penggunaan ketimbang formalitas registasi belaka. Dengan demikian, maka perlindungan hukum akan ditegakkan dan inovasi akan meningkat karena dengan adanya revolusi paradigma perlindungan merek secara global, pelaku usaha dituntut untuk menjadi kreatif secara maksimal dalam mengkreasikan mereknya, bukan dengan mendompleng popularitas merek yang telah ada semata.

Ikuti tulisan menarik Sujana Donandi Sinuraya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler