Judul diatas bukan Fiksi, tapi betul-betul kualami, namun sebelum cerita ini kulanjutkan, kuperkenalkan dahulu diriku.
Aku seorang bapak dari seorang istri, tinggal disebuah ibukota provinsi. Dari perkawinan itu, kami dikaruniai 4 orang anak, 2 laki-laki dan 2 perempuan.
3 dari 4 anak ku, 2 perempuan, 1 laki-laki tinggal satu kota dengan ku, satu anak laki-laki lagi bersama istrinya, tinggal disebuah ibukota Kabupaten masih satu provonsi dengan ku.
Ceritanya pada hari Selasa, tanggal 24 Maret 2020, aku masih diluar kota, sekitar pukul 11.00 WIB, hp ku berdering. Ku lihat siapa yang nelepon, ternyata anak laki-lakiku. Lalu kutanya, ada apa nak? Bapak masih diluar kota.
Jawabnya, "Pak suruh mama jemput istriku, mungkin aku terserang corona. Selamatkan istriku pak," katanya sembari mengulangi, “cepat pak suruh mama jemput istriku."
Mendengar kata-katanya itu, air mataku bercucuran, mengangis segugukan. Anakku sepertinya sudah pasrah hidupnya akan berahir, karena corona.
Lalu kuhubungi kakaknya, laki-laki yang berada di kota berbeda melalui hp. "Tolong, nak, cepat jenguk adikmu. Ajak mama. Dia tadi nelepon bapak, minta istrinya dijemput menjauh darinya untuk diselamatkan, diduga adikmu terkena corona."
Jawab anakku membuat aku menangis terisa-isak, “Pak, kalau penyakit itu bagaimana saya menenui adik. Dari pemberitaan, penyakit corona itu menular, siapapun mendekat akan tertular. Kalau saya tetular, habis dah anak bapak," kata dia.
Aku memacu kendaraan ketempatku menginap, mengambil pakaian untuk pulang menemui anakku. Aku tak peduli corona penyakit menular dan aku akan mati ditulari, yang terpenting bertemu dengan anakku dan mengambil istrinya untuk diselematkan.
Sebab dalam benakku, tamat sudah, aku akan kehilangan dia untuk selama-lamanya (go dead).
Pemikiran akan kehilangan anak itu, didasari pemberitaan televisi, media mainstrem, internet Ditambah media sosial yang sumber pemberitaanya dan postingan berasal dari pejabat, ahli kesehatan dibanyak negara mapun dalam negeri sendiri tentang dahsyatnya wabah itu.
Namun sebelum kembali pulang, aku singgah ditempat kakak perempuanku, untuk memberi tahunya, kalau aku akan pulang.
Di rumah kakakku, aku teringat sorang pejabat Kabupaten yang kukenal, lalu ia kuhubungi melak
lui telepon, untuk minta bantuanya menghubungi Posko Penanggulangan wabah corona yang disediakan Pemerintah Kabupatennya.
Alhamdulillah si pejabat bisa dihubungi, ia mengatakan segera menghubungi Posko Corona dan tak berapa lama si pejabat menelepon balik, meminta alamat rumah tempat tinggal anak ku. Nanti tim kesehatan kerumah anaku, katanya.
Alamat dimaksud kuberi tahu, sekitar sejam kemudian pajabat itu menelepon balik dan seisi rumah kakak ku terdiam. Dari hasil pemeriksaan tim medis, katanya, negative atau tidak ditemukan gejala corona.
Aku dan keluarga kakakku yang tadinya menagis, kembali ceria. Lalu kami mendoakan tim medis dan non medis Posko Penanggulangan Wabah Corona agar selalu dalam linduggan Allah SAW.
Salah siapa?
Upaya pemerintah mencegah agar rakyatnya tidak tertular corona, patut diacungi jempol, diantaranya melarang rakyat berkumpul, tidak boleh berdekatan dengan mengambil jarak 1 meter, mendirikan posko-posko, menyiapkan rumah sakit khusus untuk mengisolasi penduduk terkena korona.
Namun yang membuat rakyat kian merasa takut akan corona, diantaranya, lockdown (menutup wilayah) yang dampaknya bukan hanya menjadi rakyat mati ketakutan, tapi aktivitas ekonomi daerah bersangkutan akan terhenti.
Kalau sudah seperti itu, pertanyaannya, apakah pemerintah akan menanggung biaya kehidupan sehari-hari penduduknya? Bagaimana penerimaan pajak sebagai penerimaan negara untuk membiayai republik ini, kalau perputaran ekonomi tidak bergerak terhambat yang namanya lockdown?
Kemudian diturunkanya aparat keamanan hingga kepusat perbelanjaan (sebut kalangan atau pasar seminggu sekali) di kecamatan yang jauh dari pusat Pemerintah Kabupaten), bukan menjadikan rakyat merasa terlindungi, tapi terjemahannya wabah corona kian gawat.
Sebaiknya aparat keamanaan diturunkan untuk mengawasi posko-posko corona, puskesmas dan balai-balai pengobatan yang disiagakan, termasuk bantuan obat-obatan diawasi agar petugas medisnya betul-betul siaga 24 jam ditepat dan obat-obatan seperti disinpektan tepat sasaran.
Media juga punya andil menjadikan rakyat takut, sebab akibat pemberitaan TV utamanya TV berita, media mainstream, wewbsite berita yang dari pagi hingga malam hari mengetengahkan kasus-kasus corona terjadi kesimpang siuran berita yang ditangkap rakyat.
Termasuk simpang siurnya pemberitaan yang bersumber dari aparatur pemerintah atas dan pemerintah berada dibawah serta katanya tenaga ahli bukan penambah pengetahuan menanggulangi wabah corona, tapi kian menakutkan.
Pemberitaan itu diperburuk media sosial yang mengutip kejadian dibanyak negara tentang ganasnya virus corona.
Entah siapa yang salah, apakah akibat bebasnya rakyat meng-akses informasi, atau wartawan yang me-mblow up pemberitaan, termasuk keterangan pajabat pemerintah atau para ahli kesehatan yang menganalisa seolah-olah corona mematikan.
Malahan pernyataan juru bicara pemerintah, Achmad Yurianto, Jumat lalu, 27 Maret 2020 melalui telekonferens akun YouTube BNPB meminta "Yang kaya melindungi yang miskin, agar bisa hidup dengan wajar dan yang miskin melindungi yang kaya, agar tidak menularkan penyakitnya," bukan hanya dianggap merendahkan rakyat kebanyakan (bawah), tapi menyakitkan dan penghinaan.
Tapi di tengah kesimpang siuran informasi itu, pertanyaan kita sedang ngapain Kementerian Informasi dan Kominikasi RI?
Untunglah kita memeliki lembaga Badan Penanggulangan Bencana yang aktif mensuplai informasi ke pengguna media social, sehingga menjadi rujukan rakyat mendapat informasi untuk melindungi diri.
Ikuti tulisan menarik Syafaruddin lainnya di sini.