x

Iklan

Rudolf Tambunan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 April 2020

Selasa, 14 April 2020 19:00 WIB

Industri EO yang Bingung dan Murung di Belakang Panggung

Situasi para profesional acara , para pekerja belakang panggung yang kini murung terdampak COVID-19 yang masih terlihat tanpa ujung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bekerja dari rumah atau Work from Home (WFH) menjadi "gaya hidup darurat" mayoritas profesional dari berbagai bidang di negeri ini dalam minggu-minggu terakhir.  Epidemi Covid-19 adalah penyebab pemerintah memberlakukan maklumat tersebut yang kini semakin diintensifkan skalanya melalui PSBB.

WFH bukan sesuatu yang baru bagi puluhan, ratusan ribu atau bahkan jutaan pekerja lepas (freelance) berbagai jenis pekerjaan, termasuk profesional acara seperti saya dan ratusan ribu lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Kini WFH justru ironis bagi kami.  

Bila secara umum WFH adalah Work from Home, untuk profesional acara seperti kami WFH adalah Work-less from Home.  Ya, kami ada di rumah mendukung program pemerintah, tapi tanpa pekerjaan. Semua karena epidemi Covid-19 tidak memungkinkan pemerintah mengeluarkan izin acara sehingga perusahaan dan institusi lainnya menunda atau membatalkan agenda acara mereka.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alhasil, kami di rumah menunggu keputusan WFH & PSBB berhasil. Walaupun dengan pemasukan yang nihil.

Sekilas Dinamika EO

Kami adalah para pekerja belakang panggung atau backstagers istilah kerennya.  Sesuai namanya, peran kami (hampir) selalu tertutupi oleh megahnya panggung dengan segala teknologi pertunjukkan dan penampil di atasnya. Tak banyak yang tahu tentang kami. Padahal, untuk 3-5 jam pertunjukkan atau acara contohnya, kami bekerja keras mempersiapkannya cukup lama. Idealnya masa persiapan adalah 1-3 bulan, atau lebih. Namun banyak juga yang kurang dari itu. Bahkan, persiapan dalam hitungan hari adalah tantangan tersendiri yang cukup sering kami hadapi.  

Industri pertunjukkan atau acara atau Event Organizing (EO) terdiri atas beberapa spesialisasi kerja. Kelompok kerja yang sudah lebih dulu "mentas" dan dikenal orang adalah pengelolaan Meetings, Incentives, Conventions/Conferences & Exhibitions (MICE) karena beririsan dengan industri pariwisata, dan Wedding Organizer (WO).  

Di luar itu sebenarnya masih ada kelompok kekhususan kerja lainnya. Ada yang fokus pada acara festival, internal perusahaan, bahkan ulang tahun. Ada EO yang menguasai hanya satu spesialisasi, namun banyak juga yang multi.

Tidak ada data yang pasti tentang berapa sesungguhnya jumlah EO di Indonesia. Namun, merujuk dari curhat kolega saya yang masih bekerja di sebuah EO di Jakarta, kliennya sebuah perusahaan otomotif suatu kali bercerita bahwa mereka hampir setiap hari mendapatkan presentasi profil EO. Bila dihitung, tak kurang dari 1000 perusahaan pernah mempresentasikan kredensial masing-masing di hadapannya. Dan itu hanya yang berdomisili di ibukota!  Tak heran, ada puluhan ribu jiwa yang menjerit saat krisis COVID-19 ini menjepit (https://kumparan.com/kumparanbisnis/virus-corona-buat-90-ribu-pekerja-event-organizer-di-ri-menganggur-1t4NUOcPKFw).

Kami Adalah Pejuang, Dan Akan Terus Berjuang

Para profesional acara bukan individu cengeng. Hampir tidak ada bidang pekerjaan informal yang kehilangan 100% pemasukan seperti kami. Di masa awal krisis mendera, kami bertahan dengan memproduksi Bilik Disinfektan. Hasilnya lumayan, perusahaan masih bisa mempertahankan karyawan dan para pekerja lepas masih bisa bernafas.  

Namun tampaknya Yang Maha Kuasa melihat kami masih mampu menanggung cobaan yang lebih berat. WHO mengumumkan bahwa cairan disinfektan tersebut tidak aman bagi manusia. Sebagian besar kami berhenti memproduksinya, sebagian masih jalan dengan mengganti cairan dengan yang lebih aman, menggunakan antiseptik atau cairan pembasmi mikroorganisme jahat yang umum digunakan untuk kolam renang. Jantung beberapa EO mulai berdetak lebih kencang, rasa cemas mulai memuncak.

Akhir Maret, sejumlah EO mulai berhitung. Sejumlah rencana disiapkan. Sayangnya rencana itu meliputi pemutusan kontrak terutama untuk karyawan yang masih dalam masa probation. Lainnya masih coba mempertahankan karyawan meski sang karyawan harus rela mendapatkan pemotongan gaji. Jumlah potongannya bervariasi, namun umumnya berkisar 50%.

Pertengahan April, sesaat sebelum memasuki bulan Ramadhan yang berarti pula mendekati saatnya pembagian THR, perhitungan semakin cermat dilakukan. Cukup banyak EO yang akhirnya harus menjadikan status karyawannya sebagai Unpaid Leave di akhir bulan atau setelah hari raya Idul Fitri. Tak sedikit pula yang mengumumkan menutup operasional bila hingga Juni 2020 keadaan tak kunjung membaik.  

Industri pengelolaan acara juga tak bisa lepas dari berbagai jasa penyewaan alat serta seniman, termasuk kontraktor panggung dan wahana pameran. Belum lagi perusahaan penyedia gedung atau lokasi acara. Seluruhnya mempekerjakan cukup banyak sumber daya manusia dan seluruhnya kini bekerja dari rumah, tanpa tahu apa yang harus dikerjakan.

Tak jauh berbeda dengan kami yang memilih sebagai profesional lepasan. Selain beralih menjadi pedagang fasilitas pembersih seperti bilik dan gerbang disinfektan, sanitasi tangan hingga masker dan beragam jenis Alat Pelindung Diri (APD) petugas kesehatan, beberapa diantara kami mencoba peruntungan menjadi pengemudi ojek/taksi online dan pengusaha kuliner dadakan.  

Semua kami lakukan karena cicilan dan kebutuhan harian harus tetap dipenuhi.  Padahal penghasilan kami ditentukan dari seberapa banyak acara atau event yang kami kerjakan.  Nihil event berarti juga nihil penghasilan.

Jerami di Tumpukan Jarum

Karena berada di belakang panggung, keberadaan kami pun terkesan terabaikan oleh pemerintah. Kami bagaikan jerami yang tenggelam diantara tumpukan jarum. Padahal jumlah kami cukup banyak, terutama di Jakarta. Dan jangan lupa, penurunan penghasilan kami mencapai 100%!  

Kami tidak melihat bidang informal lain tidak atau kurang penting, tidak. Beberapa diantara kami kehidupan sehari-harinya juga ada di bidang-bidang itu. Tapi, meski penghasilan mereka mengalami penurunan signifikan, tapi tidak kehilangan sama sekali seperti kami. Dan dalam sebulan ini, sudah banyak kebijakan pemerintah yang menyentuh mereka. Saatnya pemerintah juga semakin intensif mendengarkan kami.

Untungnya, beberapa hari lalu ada seorang ekonom senior yang melihat kusamnya kondisi kami saat ini di antara bidang-bidang informal lain yang lebih stand-out (https://www.liputan6.com/bisnis/read/4224853/jangan-cuma-bank-dan-leasing-fintech-juga-harus-beri-keringanan-kredit).  Tak mengherankan beliau meminta pemerintah lebih memperhatikan industri EO karena industri tersebut tidak tercantum sebagai bidang yang dianjurkan mendapatkan relaksasi ekonomi.  Hal tersebut bisa menjadi pertimbangan bank atau lembaga pembiayaan lainnya untuk menolak pengajuan restrukturisasi kredit dari insan penggerak industri pengelolaan acara.  Bila itu terjadi, semakin runyam hidup kami.

Semoga perhatian beliau juga diadopsi dengan lebih mendalam oleh pemerintah. Sehingga, hari-hari mendatang bisa kami sambut dengan harapan yang lebih baik. Tidak lagi bingung dan murung seperti saat ini. Semoga!

Menulis #DiRumahAja 

 

Ikuti tulisan menarik Rudolf Tambunan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB