Yang Digdayapun Keok di Depan Wabah Corona

Sabtu, 18 April 2020 13:47 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Amerika Serikat Negara Super Power Ternyata Gagal Menangani Corona, Ini merupakan buah dari nilai-nilai kapitalisme yang mereka punya. Slogan-slogan demokrasi, kebebasan berpendapat, HAM, dan kedilan hanya sebatas angan-angan kosong yang tidak akan pernah terealisasi dalam dunia kapitalisme.

Amerika Serikat kini telah menjadi negara dengan jumlah penderita dan tingkat kematian kasus corona tertinggi di dunia. Setelah sebelumnya dia berleha-leha dan bersantai-ria di awal Januari, kini Amerika mengalami kegaduhan luar biasa karena pandemi corona.

Awalnya China yang menjadi pusat perhatian dunia karena menjadi pusat menculnya virus Covid-19, kemudian disusul oleh Italia dengan tingkat kematian yang luar biasa. Sekarang giliran Amerika yang hanya dalam waktu hitungan hari ribuan korban corona berjatuhan, dan angka tersebut melebihi rekor-rekor negara-negara lainnya.

Dunia, khususnya penduduk Amerika Serikat patut menyalahkan Presiden mereka, Donald Trump dalam hal parahnya penyebaran virus corona di daratan Amerika. Bagaimana tidak, kebijakan Trump yang dinilai lamban oleh sebagian besar pihak merupakan salah satu faktor yang memperparah tingginya kasus penderita corona di seluruh negara bagian Amerika Serikat.

Bukti dari kelambanan dan sikap menyepelekan Trump adalah dengan banyaknya peringatan yang diabaikan dan ditanggapinya dengan santai ketika Amerika belum menjadi epicentrum seperti sekarang. Di akhir Januari, Sepekan setelah kasus pertama corona di Amerika muncul, seorang dokter dari Departemen Urusan Veteran, Dr. Carter Mecher, sudah memberikan saran dan peringatan kepada kalangan pemerintah pusat dan kelompok universitas tentang bahaya wabah corona yang berpotensi besar menyebar secara mengerikan di seluruh negara bagian.

Peter Navarro, penasehat perdagangan Trump juga memberikan peringatan tentang dampak dari corona yang akan menimbulkan resiko kematian setengah juta penduduk dan kerugian ekonomi triliunan dolar. Akan tetapi peringatan-peringatan tersebut baru di respon Donald Trump enam pekan kemudian.

Bukan hanya respon pemerintah pusat yang terlambat, kini Trump cenderung menyalahkan Pemerintah China karena dinilai tidak memberikan informasi tentang corona secara jelas, sekaligus memberikan intruksi bahwa daerah yang perlu melakukan lockdown hanya daerah dengan penduduk padat saja. The Times menyebutkan bahwa pembatasan perjalanan dari China sangat mempertimbangkan aspek ekonomi. Disusul dengan sikap individualis Trump yang melarang perusahaan besar produsen masker untuk menjual masker ke kanada, padahal negara tetangga Kanada sedang sangat membutuhkan.

Respon yang lambat, kebijakan yang tidak efektif dan informasi yang tidak transparan, kurang lebih seperti itu gambaran situasi di Amerika Serikat. Tidak jauh dengan yang dialami oleh Indonesia, hanya saja, mungkin pola hidup orang-orang Amerika yang cenderung sangat liberal dan apatis memperparah keadaan di sana.

Selanjutnya: Pertimbangan AS tidak melakukan lockdown

<--more-->

Amerika Serikat adalah negara adidaya, pusat sekaligus kiblat bagi negara-negara lainnya. Pun bagi Indonesia, Amerika Serikat adalah sebuah negara role model. Tapi pada kenyataannya pemerintah Amerika tetap tak mampu menghadapi wabah ini secara profesional dan ideal. Hal ini disebabkan karena dia adalah negara dengan sistem kapitalisme.

Disebut dengan negara pengemban kapitalisme adalah karena poros utama roda jalannya aktivitas bernegara adalah terletak pada capital (modal/ perniagaan). Kecenderungan mengutamakan nilai ekonomi selalu berlaku pada setiap aspek bernegara. Dalam hal pendidikan, sosial, budaya, kesehatan, semua memperhatikan faktor untung dan rugi. Bahkan dalam aspek perlindungan dan penyelamatan nyawa warganya yang seharusnya ini menjadi kegentingan yang diutamakan, negara kapitalis masih menjadikan ini sebagai nomor dua setelah aktivitas bisnis.

Terbukti, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur, ekspor impor, regulasi tenaga kerja asing, pariwisata, dan lainnya masih menjadi kesibukan utama negara bahkan ketika rakyat sedang berjuang menghadapi wabah. Kebijakan lockdown total tidak segera diberlakukan karena pemerintah pusat akan berfikir dua kali mengucurkan dana untuk membiayai kebutuhan pokok warganya, yang dalam hitung-hitungan materi hal itu merugikan anggaran negara.

Negara adidaya seperti Amerika Serikat dengan seperangkat nilai-nilai baratnya yang mereka emban dan mereka kampanyekan ke seluruh dunia, ternyata tidak mampu untuk melindungi dan mensejahterakan warganya. Meskipun mereka berusaha keras menutupi aib kebobrokan negaranya lewat media, ternyata sekarang adalah saatnya apa-apa yang mereka sembunyikan diketahui oleh dunia.

Selama ini yang diberitakan oleh media adalah Amerika negara maju dengan kemodernan, kebebasan, kemajuan teknologi, dan kekuatan militer. Ternyata hal-hal tersebut tidaklah berguna untuk sebagian besar warganya. New York yang merupakan kota paling modern seantero Amerika ternyata memiliki jutaan tunawisma yang setiap harinya tidur di parkiran umum, pengangguran sangat banyak, penjarahan terjadi di mana-mana, senjata api mudah di akses oleh orang sipil, angka kriminalitas luar biasa tinggi, kesenjangan sosial yang mengakibatkan 99% kekayaan hanya dinikmati oleh 1% orang saja, dan masih banyak lagi lainnya.

Kekayaan yang dimiliki oleh Amerika Serikat dari pengerukan sumber daya alam negara-negara di belahan dunia lain, seperti dari Indonesia lewat Freeport, ExxonMobil, Newmont, Chevron Pasific atau dari negara-negara lainnya, ternyata tidak mampu menjadikannya benar-benar kuat dan digdaya. Meskipun di luar Amerika terlihat garang dan menakutkan karena banyak terlibat perang, tapi dia rapuh dengan banyaknya kerusakan yang terjadi di dalam tubuhnya sendiri, kekuatan yang dimiliki Amerika ternyata hanya sebuah citra, seolah dia adalah bangunan yang besar nan megah tapi ternyata keropos di dalamnya.

Ini adalah sesuatu yang alami terjadi dalam tubuh negara kapitalisme. Dimana rakyat secara mayoritas tidak akan pernah menjadi sesuatu yang dipentingkan oleh negara. Kekayaan negara hanya dinikmati oleh sebagian kecil pihak saja, yakni para kapital (pengusaha) dan penguasa.

Slogan-slogan demokrasi, kebebasan berpendapat, HAM, dan kedilan hanya sebatas angan-angan kosong yang tidak akan pernah terealisasi dalam dunia kapitalisme. Ketika masyarakat mulai sadar akan penjajahan dan cengkraman jahat kapitalisme ini, mereka akan mencampakkannya pelan, tapi pasti. Karena apa-apa yang tidak manusiawi pasti akan ditinggalkan oleh manusia.

Sistem jahat yang lebih memuliakan uang daripada manusia, tidak akan bertahan lama. Kelak sistem yang lebih manusiawi dan sesuai fitrah manusia, yakni Islam yang akan menggantikannya. Sebagaimana kabar gembira Rrasulullah “Allah subhanahu wa ta’ala  menghimpun bumi ini untukku. Oleh karena itu aku dapat menyaksikan belahan bumi barat dan timur. Sungguh kekuasaan umatku akan sampai ke daerah yang dikumpulkan kepadaku itu”_(red.Uhiwa Nathakatta)

Bagikan Artikel Ini
img-content
Hima Wati

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Pengaturan Garam yang Makin Suram

Selasa, 6 April 2021 22:05 WIB
img-content

Pendidikan dan Muruah Guru ala Kapitalisme

Kamis, 4 Maret 2021 10:28 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler