x

-

Iklan

Hima Wati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 4 Maret 2021 10:28 WIB

Pendidikan dan Muruah Guru ala Kapitalisme

Model pendidikan jaman sekarang yang mulai dikesampingkan kevitalannya oleh sistem kapitalistik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah bukan rahasia umum lagi kalau negara kita ini memiliki gaya ala kapitalisme dalam berbagai aspek perputarannya. Dalam hal menjalankan roda pemerintahan dan pengaturan urusan di berbagai bidang, hampir semuanya beriklim ala kapital. Bukan hanya sekedar di level pemerintahan saja, tapi hampir keseluruhan peran penting setiap elemen masyarakat memiliki pola dan gaya yang sama. Bagaimana tidak, lama kelamaan negara mulai berubah peran menjadi regulator dan fasilitator bagi para kapital. Hampir-hampir tidak ada jenis kebutuhan vital yang bersifat komunal yang ditanggung oleh negara. Mulai dari kesehatan, pendidikan, dan keamanan, semua menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing.

Salah satu yang makin lama makin susah untuk diakses adalah kebutuhan pendidikan. Makin lama kampus makin tak terjangkau oleh kaum ekonomi menengah kebawah. Banyak keluarga yang mencukupkan pendidikan anak-anaknya sampai di tinggat SMA saja, sebagian besar karena biaya kuliah mahal. Sebagian kecil yang lain menganggap kuliah tidak terlalu berguna. Kalau tingkat pendidikan rakyat rendah, ujung-ujungnya generasi muda akan menjadi aset negara sebatas sebagai persediaan jasa buruh murah saja.

Potret pendidikan kita cukup buram, penghargaannya cukup rendah, apresiasinya kecil, dan kesakralannya telah pudar. Tenaga pendidik adalah pemilik peran terpenting dalam proses pendidikan. Di samping pendampingan dari orang tua dan pengaruh lingkungan, pengaruh guru tidak bisa dipandang sepele. Tapi dalam proses belajar mengajar kini guru disibukkan dengan banyak hal lain yang tidak berkaitan dengan kualitas siswa secara langsung, akreditasi, pemberkasan, dan lain sebagainya yang sangat menyita waktu sehingga tak jarang dijumpai guru lebih fokus pada beban-beban regulasi administrasi tersebut ketimbang pada murid-muridnya. hal-hal semacam ini tentu menjadi beban tambahan bagi para tenaga pendidik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain itu, problem lain yang tak kalah berat bagi mentalitas seorang guru adalah kenakalan siswa. Ketika siswa zaman dulu tidak berani menduduki bangku gurunya, siswa zaman sekarang berani melakukan pelecehan dan kekerasan terhadap gurunya. Kasus siswa yang menganiaya gurunya benar-benar ada dan pernah terjadi di negeri ini, dan itu lebih dari sekali dua kali. Sikap hormat dan tawaduk telah hilang.

Muruah guru tak lagi ada, terbukti ketika ada tindakan pendisiplinan, orang tua murid tak segan marah dan melabrak pihak sekolah. Guru-guru tak lagi dihormati dan dihargai oleh siswa-siswinya atau bahkan wali muridnya. Sekolah seolah menjadi tempat cuci umum. Karakter, polah tingkah dan kenakalan anak yang merupakan hasil dari cetakan keluarga dan lingkungan bermainnya, semua itu dibebankan kepada sekolah untuk membenahinya.

Bukan hanya masalah karakter, nilai akademis juga harus bagus. Sedangkan orang tua cenderung tidak mau tahu tentang proses belajar mengajar dan lain sebagainya. Yang mereka tahu hanya anaknya pintar atau tidak, nakal atu tidak. Tanpa tahu bagaimana anak itu bisa menjadi nakal? Sekedar pokoknya bayar dan anak lulus dapat ijazah.

Bukan hanya dari sisi non materi saja, ternyata dari sudut pandang materiil peran guru juga tidak dianggap terlalu berharga oleh negara. Pasalnya, rata-rata gaji guru honorer ternyata sangat rendah, bahkan lebih rendah dari upah minimum pekerja pabrik atau buruh. Tidak perlu menyinggung relativitas nilai angka besar atau kecil, karena faktanya gaji para guru honorer memang cenderung sangat sedikit.

Beberapa waktu lalu seorang guru honorer yang memposting gajinya yang senilai 600 ribu di sosial media, entah mengapa langsung dipecat oleh pihak sekolahnya. Dan Pak Menteri Pendidikan kita memberikan tawaran kepada para mahasiswa untuk mengajar di pedalaman dengan gaji 700 ribu per bulan. Cukup sedikit bukan, angkanya?

Demo berkali-kali berharap kenaikan upah atau gaji, sayangnya sampai sekarang kesejahteraan guru, guru honorer utamanya, masih dikesampingkan oleh negeri, belum menjadi prioriatas negara sepertinya. Miris sekaligus kasihan. Sebab, peran guru yang begitu besar dan penting, bukan hanya sekedar menyampaikan ilmu tapi juga mendidik dan menyiapkan generasi ternyata tidak terlalu mendapatan apresiasi.

Sungguh terbalik dengan penghargaan terhadap dunia hiburan. Guru yang memintarkan justru digaji lebih sedikit daripada artis yang membodohkan. Bagaimana bisa tidak dikatakan pembodohan, sinetron, acara TV, siaran youtube, semua tayangan yang disajikan memiliki dampak berkebalikan dengan harapan dunia pendidikan. Ketika TV memberikan contoh indahnya pergaulan bebas ala remaja dan kesengsaraan dunia pernikahan serta perselingkuhan, youtube berperan mengkerdilkan semua ragam cita-cita anak-anak, memangkasnya sehingga semua anak-anak bercita-cita menjadi youtuber, karena melihat hal tersebut sebagai sebuah kesuksesan yang indah. Jika semua anak ingin menjadi youtuber, siapa yang akan menjadi petani di masa depan, siapa yang akan menjadi insinyur, siapa yang akan menjadi guru? Memangnya kalau semua orang jadi youtuber, bangsa ini akan maju? Tidak! Tentu tidak.

Inilah letak fatalnya kekeliruan dalam iklim masyarakat dan negara kita. pendidikan yang merupakan kebutuhan primer komunal dianggap tidak terlalu penting. Sedangkan hiburan, yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer, tidak berdampak positif pada masyarakat pula, justru amat sangat dipentingkan. Ini logika terbalik, pembodohan yang sudah mengakar dan kesesatan yang terlanjur mendalam. Pendidikan adalah jantungnya peradaban, jika Indonesia di masa depan hanya dipenuhi dengan generasi yang betah memandang layar handphone tapi malas membaca buku, generasi-generasi yang lebih gandrung kepada artis tapi tidak suka pada guru-gurunya, generasi yang tidak mencintai keilmuan tapi penyuka hiburan. Maka sudah bisa diprediksikan seperti apa masa depannya. Kacau, atau mungkin lebih dari sekedar kacau. (Uhiwa_red)

Ikuti tulisan menarik Hima Wati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler