x

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan pers hasil rapat dewan gubernur BI bulan Januari 2020 di Jakarta, Kamis 23 Januari 2020. Tempo/Tony Hartawan

Iklan

Makmun Syadullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 April 2020

Jumat, 24 April 2020 19:33 WIB

Covid-19, Atasi Risiko di Industri Perbankan dengan Pendekatan Inkonvensional

Negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam menangani dampak wabah Covid-19 tidak bisa hanya difokuskan pada industri perbankan. Bagaima pun industri perbankan tidak terkena dampak langsung, namun terkena dampak turunan. Itu disebabkan menurunnya aktivitas ekonomi yang mendorong pergerakan signifikan di pasar keuangan. Pendekatan inkonvensional apakah yang bisa mengantisipasinya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Covid-19 Meningkatkan Risiko Perbankan

Oleh: Makmun Syadullah

Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penyebaran Virus Corona (Covid-19) akan mengganggu aktivitas ekonomi di banyak negara dan telah mendorong pergerakan signifikan di pasar keuangan. Ujung-ujungnya juga akan merembet ke industri perbankan.

Sebagai respon terhadap dampak tersebut, The Fed telah menurunkan suku bunga acuan. Penurunan ini merupakan penurunan pertama kali di luar jadwal reguler The Fed sejak 2008, ketika ekonomi dunia dihantam krisis finansial. Pelonggaran kebijakan moneter ini diperkirakan masih akan berlanjut apabila The Fed menganggap bahwa kemungkinan akan ada resesi.

Menurut hasil penelitian JP Morgan, perbankan di Amerika Serikat  (AS) akan mengalami tekanan dari sisi kredit. Selain itu, net interest margin (NIM) perbankan di AS dalam jangka panjang juga terancam tertekan. Bahkan lembaga konsultan itu memprediksi, apabila The Fed kembali menurunkan suku bunga acuan, maka NIM bank-bank di AS bisa negatif. Hal ini diperkuat oleh kajian Fitch Ratings yang memprediksi bahwa tingkat suku bunga jangka panjang yang lebih rendah dan potensi penurunan suku bunga federal darurat sebagai tanggapan terhadap meningkatnya kekhawatiran perlambatan ekonomi akibat Covid-19 dapat menantang profitabilitas bank-bank AS di tahun 2020 dan seterusnya.

Covid-19 juga diperkirakan akan menekan industri perbankan di negara kawasan Asia Tenggara. Menurut JP Morgan pertumbuhan kredit, penurunan pendapatan bunga dan non bunga bank-bank di kawasan Asia Tenggara diperkirakan juga mengalami perlambatan.

Rasio dana murah di Asia Tenggara berada di kisaran 48 persen, dan berakibat pada tekanan terhadap NIM seiring pemangkasan suku bunga acuan. Bank-bank di Singapura, Malaysia dan Thailand diperkirakan paling terdampak kebijakan bank sentral untuk menurunkan suku bunga.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Bank Indonesia (BI) kebutuhan dan kesehatan perbankan masih terpenuhi ditengah pelemahan ekonomi dari dampak penyebaran virus corona (Covid-19). Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo kondisi perbankan di Indonesia pada saat ini jauh lebih kuat dibanding tahun 1998 dan 2008 dengan rasio CAR sekitar 23%, serta NPL yang rendah kisaran 2,5% secara gross.

Meskipun sampai saat ini kondisi industri perbankan di Indonesia cukup baik, tidak berarti Covid-19 tidak berdampak negatif. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mulai berhitung perihal dampak wabah virus corona atau Covid-19 di sektor perbankan. LPS kini terus memantau performa industri perbankan dalam menghadapi risiko terburuk dari pandemic covid-19.

Salah satu usaha yang dilakukan LPS adalah melalui stress test yang dimaksudkan melakukan uji tingkat ketahanan perbankan dalam kondisi ekonomi terburuk. Hasil uji menunjukkan bahwa apabila skenario terberat terjadi maka akan ada sekitar delapan bank yang memiliki potensi masuk dalam kriteria menjadi bank gagal. 

LPS sangat mengkhawatirkan apabila skenario pemerintah yang terburuk, yakni rupiah di level Rp 20.000 per dollar AS, ekonomi minus 0,4%, inflasi tembus 5,1% dan ICP atau harga patokan minyak berada di level US$ 31 per dollar AS. Kalau skenario ini terjadi dan depalan bank gagal benar-benar terjadi maka diperkirakan LPS akan kewalahan dalam memberikan jaminan. Meskipun LPS memiliki aset senilai Rp 120 triliun, sekitar Rp 60 triliun atau 50% direpokan ke  Bank Indonesia (BI) selama tiga bulan. Repo sebagai bagian dari pengelolaan likuiditas LPS. 

Jalan Keluar

Sebagian besar negara maju telah membuat respons ekonomi besar-besaran terhadap pandemi Covid-19, meningkatkan pengeluaran dan menggunakan kebijakan moneter untuk meredam dampak terhadap industri perbankan. Pukulan terhadap industri perbankan dan langkah-langkah lain yang telah menutup bisnis dan membuat sejumlah besar orang menganggur.

Sedangkan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, penangan dampak Covid-19 tidak bisa hanya difokuskan pada industri perbankan. Bagaimapun juga industri perbankan terkena dampak tidak langsung, namun terkena dampak turunan sebagai akibat menurunnya aktivitas ekonomi yang mendorong pergerakan signifikan di pasar keuangan.

Menurut Eugenio Díaz-Bonilla (2010) dalam artikel berjudul “Fiscal and monetary responses to the COVID-19 pandemic: Some thoughts for developing countries and the international community” setidaknya jalan keluar yang dapat ditempuh pemerintah adalah menerapkan rencana respons nasional yang berfokus pada empat bidang yang saling terkait berikut ini, yakni kesehatan, penawaran dan permintaan barang dan jasa penting, sirkuit keuangan dalam mata uang lokal, dan pasar mata uang asing, terkait dengan perdagangan internasional dan utang luar negeri.

Rencana semacam itu membutuhkan kantor manajemen krisis terpusat yang dipimpin langsung oleh Presiden dengan partisipasi dari perwakilan sektor publik dan swasta yang relevan.

Pemerintah sebenarnya telah berusaha untuk menjalankan berbagai kebijakan sebagaimana disarankan oleh Eugenio Díaz-Bonilla. Pemerintah telah memberikan berbagai inisiatif untuk mendukung pekerjaan dan pendapatan, termasuk memperluas jaring pengaman dengan komponen makanan. Sementara Bank Sentral harus memainkan peran kunci, mengejar kebijakan moneter yang tidak konvensional yang menetapkan berbagai saluran untuk menyuntikkan likuiditas dalam perekonomian.

Menghadapi Covid-19 dibutuhkan respons yang tidak konvensional. Pengalaman menunjukkan ada beberapa contoh negara yang di masa lalu telah menyalahgunakan "pendekatan moneter yang tidak konvensional," yang mengarah pada serangan inflasi yang tinggi, devaluasi yang kuat, krisis neraca pembayaran, dan korupsi. Namun, dengan kehati-hatian, pendekatan ini sekarang harus digunakan untuk membiayai pengeluaran publik tertentu, seperti transfer tunai dan jaring pengaman untuk masyarakat miskin dan rentan, dan investasi publik tertentu, dan menjaga perusahaan tetap beroperasi.

Dalam kasus apa pun, uang selalu masuk ke dalam ekonomi melalui aktor tertentu (saat ini, terutama pemilik aset yang dibeli), dan tidak dengan memberikan setiap mata uang kepada setiap warga negara dengan jumlah mata uang yang sama (seperti dalam perumpamaan tentang "uang helikopter dengan Milton Helman tentang" uang helikopter "; Friedman, 1969). Penghasilan universal akan melakukan itu, dan beberapa paket penyelamatan baru-baru ini di negara maju bergerak ke arah itu. Metode yang disarankan di sini pada akhirnya akan membuat saluran melalui mana pasokan uang yang diperluas masuk ke ekonomi lebih demokratis.

 

Ikuti tulisan menarik Makmun Syadullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB