x

kisah ramadan

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 1 Mei 2020 14:00 WIB

PSBB dan Larangan Mudik, Kian Menyulitkan Masyarakat!

Upaya pencegahan Covid 19 dengan PSBB dan larangan mudik, kurang diimbangi dengan bantuan dan kondisi nyata rakyat, sehingga rakyat semakin kesulitan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari ketujuh Ramadan Tak Biasa, sudah kita lewati. Dalam situasi wabah corona, dengan tindakan pencegahan, antisipasi, dan penanganan Covid 19 (PAPC19) kondisi masyarakat, khususnya para perantau di berbagai daerah kini sudah merasakan beratnya penderitaan yang mereka rasakan sebab PSBB dan larangan mudik yang semakin menyulitkan.

Bila kita menyimak kondisi masyarakat perantau yang ada di Jabodetabek misalnya. Di berbagai pemberitaan media massa dan televisi, kini mereka benar-benar banyak yang tertekan, sebab tak ada lagi pekerjaan akibat di PHK, atau tak dapat lagi berusaha di sektor informal. 

Imbasnya, tidak ada pemasukan, buat makan tak ada, apalagi membayar sewa tempat tinggal kontrakan. Sudah begitu, sebagian dari mereka pun ada yang masih terlibat utang dari pinjaman pihak lain atau pinjaman online

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Presiden  pun melarang leasing melakukan penagihan apalagi menggunakan jasa debt collector. Tak pelak, hal ini membuat para debt coollector kehilangan pekerjaan pun susah makan dan terjerat pinjaman online, bahkan kini kisahnya muncul dalam video yang beredar di media sosial. 

Lalu, begitu banyak korban PHK dan pekerja sektor informal lain yang juga tak lagi dapat bergerak demi mencari nafkah. Buntutnya sama, untuk biaya makan, sewa kontrakan, dan mengangsur pinjaman serta mengirim uang untuk keluarganya di kampung juga sangat kesulitan.

Sudah begitu, tidak ada sanak saudara, mau memaksakan mudik pun sudah ada larangan. Dalam tayangan berita di berbagai televisi pun, terus tersorot kamera saat para petugas akhirnya memaksa para pemudik baik yang menggunakan motor, kendaraan pribadi, maupun kendaraan umum harus putar balik, kembali ke tempat asal. 

Sungguh melihat situasi dan kondisi tersebut sangat memiriskan hati. Sebab, dalam kondisi seperti itu, siapa yang akan menanggung biaya putar balik ke tempat asal, biaya hidup, dan biaya tempat tinggal, sedang mereka yang dianggap "bandel" memaksa mudik saja sudah dengan pas-pas-an hingga ada yang harus meminjam uang dulu ke keluarga atau kerabat demi pulang kampung, meski mereka juga sudah mengetahui ada peraturan larangan mudik. 

Kisah penjual pecel lele

Di antara mereka ada yang usahanya adalah jualan kaki lima. Sudah modalnya pas-pasan, barang dagangan dan tempat jualannya pun (meja/kursi) diangkut oleh para petugas satpol PP, mereka tak tahu harus berbuat apa demi menyambung hidup, sementara pulang ke kampung halaman juga tidak bisa. Derita mereka, siapa peduli? 

Atas kondisi ini, sungguh golongan masyarakat bawah, hidup semakin tertindas. Ada yang dapat bantuan sembako, ada yang tidak dapat karena tak terdata. Namun, kebutuhan mereka bukan hanya sembako. Mereka rata-rata juga punya tagihan dan angsuran hutang. Siapa yang mau menolong kesusahan ini? Derita mereka, siapa peduli? 

Saat hari Selasa, (28/4/2020) saya memakasakan diri ke luar rumah, guna membeli kelapa muda untuk takjil buka puasa di penjual langganan, saya agak kaget, sebab warung kontrakan sebelahnya terlihat tak terurus, acak-acakan. Padahal warung tersebut adalah warung pecel lele dengan sambal khas, sehingga selama ini sudah berhasil menggaet pelanggan yang luar biasa. 

Bahkan, biasanya, warung yang dibuka menjelang maghrib, saat pukul 20.30/21.00, dagangan pecel lele dan pecel ayamnya sudah ludes. Ternyata, penjual pecel lele tersebut, terjebak peraturan PSBB dan larangan mudik. 

Penjual yang lebih dikenal dengan panggilan "Tibo" karena mirip pesepak bola nasional, sebelum diterapkan PSBB dan peraturan mudik, ternyata sudah pulang kampung dulu mengantar anak dan istrinya demi terhindar dari corona. Begitu Tibo, mencoba kembali ke Depok dan bermaksud membuka usahanya menjelang Ramadan, ternyata saat diperjalanan, kena cekal peraturan mudik dan harus putar balik ke daerahnya. 

Akhirnya, Tibo menginformasikan kondisi.yang sangat memprihatinkan kepada penjual kelapa muda yang warungnya dalam satu deretan ruko sewaan tersebut. Untuk titip ruko/warung dan mericek barang-barang perkakas jualan pecel lelenya. 

Nasib Tibo cukup tragis. Sudah dalam kondisi sulit, selama ini hanya usaha pecel lele untuk menghidupi anak istri dan keluarganya, namun tak dapat kembali berjualan. Jangankan berjualan, kembali ke ruko/warungnya saja tidak bisa. Lalu, di kampung juga mau berbuat apa, sementara perkakas dan modal untuk jualan semua ada di Depok. 

Pertanyaannya, berapa banyak sosok seperti Tibo yang sudah memiliki usaha dan pelanggan di Jabodetabek, namun terjebak tak dapat kembali ke Jabodetabek. 

Kisah lain, akibat corona, dilansir dari kompas.com, (23/4/2020),  sebuah video tentang kakak beradik di Muara Enim, Sumatera Selatan menjadi viral. Sepasang anak  kakak beradik menderita kelaparan, karena sudah tidak makan selama 2 hari. Mengapa hal seperti ini sampai terjadi? Ke mana tetangga kiri-kanan, depan-belakang sepasang anak yang kelaparan ini? 

Setali tiga uang, warga Serang bernama Yuli (43), meninggal setelah sebelumnya dikabarkan tidak makan selama 2 hari. Lebih ironis lagi, pejabat setempat baru mengetahui kisah warganya dari medsos. Dampak PSBB dan larangan mudik, kini benar-benar sudah membikin rakyat menderita. Pasalnya, bila sampai ada warga yang kelaparan sampai meninggal, bisa jadi para tetangganya juga dalam kondisi kesusahan yang sama. 

Mengapa hal ini bisa terjadi dan masih akan terjadi? Pemerintah memang sudah memberikan stimulus dan subsidi, namun masih banyak yang belum tepat sasaran dan hanya menjangkau beberapa golongan masyarakat saja. 

Kini, rakyat benar-benar sangat membutuhkan bantuan berupa kebutuhan pokok dan uang, meski sudah diberitakan pemerintah sedang menghemat biaya, hingga muncul kebijakan, seperti pelepasan napi, pemangkasan gaji ASN, kotak donasi, percepatan waktu pemungutan pajak dan sebagainya. Semua hal itu atas nama penghematan untuk dialokasikan kepada pembiayaan penanganan Covid-19. 

Namun, faktanya siapa yang mendapat prioritas kucuran dana? Kebijakan PSBB dan larangan mudik, karena tidak diimbangi oleh tanggungjawab memerhatikan kondisi rakyat di lapangan, makin membuat rakyat tak berkutik, tak keluar rumah tak makan. Namun, mau ke luar rumah, ada larangan. Mau balik usaha, mau pulang tercekal. 

Kini, di bulan Ramadan yang tak biasa ini, masyarakat benar-benar semakin merasakan kesulitan. Semoga, mereka tetap dapat menjalankan ibadah Ramadan meski dalam kondisi terpuruk, pemerintah segera memikirkan jalan ke luar, untuk menyelamatkan kondisi masyarakat. Aamiin. 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB