Satu hal yang terlintas dari wujud keprihatinan saya selama mengajar adalah beban materi ajar dan belajar. Baik untuk saya pribadi ataupun murid sendiri. Percayalah, saya menaruh prioritas masalah ini nomor satu dari seluruh problem pendidikan yang ada.
Gaji besar untuk guru, status honorer atau PNS, fasilitas selengkap apapun untuk murid tidak akan mengubah fakta bahwa materi ajar-belajar di sekolah terlalu banyak dalam satu mata pelajaran.
Saya ingin memberikan satu contoh kecil saja dari mata pelajaran yang saya ampu, yaitu sosiologi. Semisal dalam satu bab gejala sosial, murid diharuskan mempelajari 4 konsep terpisah yang dalam ilmu sosiologi sendiri tidak pernah disulap menjadi 4 kali pertemuan saja. Lalu, masing-masing konsep tersebut ada konsep-konsep turunan dan juga teori-teori yang mendukung. Sekali lagi, saya tegaskan hanya dalam 1 bab saja.
Dan, itu hanya satu pelajaran. Belum pelajaran lain yang mungkin memiliki jumlah bab yang lebih banyak seperti sejarah, biologi, matematika dan bahasa Indonesia. Itu berarti ulangan harian akan lebih banyak sesuai jumlah bab. Dan, tentu materi yang wajib dipelajari untuk persiapan ujian kenaikan kelas akan semakin banyak juga bukan?
Saya punya satu pertanyaan, apa masalah yang mengekor dari problem yang saya utarakan di atas selain materi? Ya, jawabannya adalah Guru dan murid saling kejar-kejaran untuk menuntaskan. Yang satu menuntaskan materi, yang satu lagi menuntaskan nilai.
Saya yakin dan seyakin-yakinnya bahwa setiap guru bukan hanya ingin mengejar materi saja. Setiap guru ingin anak didiknya merasa nyaman. Guru sebagai orang tua pengganti di sekolah secara alami juga ingin terkoneksi dengan murid, bukan semata koneksi teknis semata.
Murid, juga saya yakin banyak yang ingin menemukan keminatannya tanpa harus terbebani materi. Dalam artian, mungkin sebetulnya ia juga ingin benar-benar menikmati proses pembelajaran.
Selanjutnya: Berterima kasih pada murid
Ikuti tulisan menarik Luthfi Ersa Fadillah lainnya di sini.