x

Sebuah ruang sekolah di sebuah sekolah dasar di Sragen Jawa Tengah. Antara Foto/Muhammad Ayudha

Iklan

Luthfi Ersa Fadillah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 2 Mei 2020 13:21 WIB

Hardiknas, Catatan Kecil Seorang Guru dari Ruang Kelas di Sekolah

Saya guru honorer di sebuah sekolah negeri. Alhamdulillah, gaji saya cukup untuk saat ini. Saya tergolong beruntung bisa bekerja di sekolah negeri yang mampu mengelola keuangan untuk membayar gaji pegawai honorernya dengan cukup baik. Berbicara di hari pendidikan sebetulnya isinya hanya mengarah ke dua fokus: problem & harapan. Kita biasanya menyimak kedua hal tersebut dari kaca mata setingkat Mas Menteri atau para ahli dan jarang dari guru atau bahkan murid. Kali ini, adalah suatu kehormatan bagi saya dapat ikut bersuara sedikit dari hasil pengalaman mengajar di ruang kelas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hanya dengan satu kondisi bahwa materi terlalu banyak cukup membuat pretensi buruk di benak murid bahwa materi mata pelajaran bukanlah representasi sains melainkan representasi tuntutan teknis semata. Tentunya, hal ini justru akan linier pada beban psikologis pada guru yang mengajarnya.

Saya sedari awal tidak mengatakan bahwa problem ini tidak mungkin diatasi, namun memang susah untuk diatasi dengan secara muluk-muluk.

 

Meski demikian, sebagai guru, saya menolak kalah. Lentera pendidikan tak boleh padam. Asa harus tetap ada di ruang kelas. Harus tetap ditebar dan disirami dengan aktivitas yang paling memungkinkan agar murid dan guru sama2 bisa berkembang.

Di tengah penatnya beban materi, Saya terkadang malah merasa menjadi “guru” yang sebenarnya kala bisa melihat dan membantu murid untuk keluar dari kondisi terburuknya dan lama-lama membaik.

Saya punya pengalaman sederhana tentang hal ini. Pada 2017 lalu saya mendapati ada anak laki-laki yang tulisannya boleh dibilang tulisan yang buat orang awam sering disebut tulisan ceker ayam. Saya bahkan tidak bisa membaca kata per katanya dengan utuh.

Lantas, apa yang saya lakukan adalah hanya menuntunnya secara rutin. “Cobalah tenang dalam menulis. Jangan buru-buru. Lupakan soal jawaban, tuliskan secara perlahan”

Saya ucapkan di setiap ulangan atau tugas di buku tulisnya. Akhirnya, sedikit demi sedikit tulisan murid tersebut meski tak sempurna namun setidaknya hurufnya berbentuk secara jelas. Tak lupa, meski tak selalu namun saya sesekali sering menyisipkan kata-kata “terima kasih telah mengerjakan tugas ini”. Beberapa murid merasa dihargai karena kata terima kasih bukan karena nilai namun karena ia berhasil menyelesaikan tugasnya.

Selain itu, untuk membuat materi seabrek, sayamencoba untuk membuat power point semenarik mungkin, lengkap dengan ragam realitas sosial yang sedang terjadi saat ini. Hal ini bukan hanya akan menarik perhatian murid namun juga cukup strategis dalam memperkenalkan konsep kepada para murid.  

Terakhir, saya punya prinsip ketika memberi tugas. Pertama, saya tidak akan memberi tugas yang saya sendiri tidak mampu membuatnya, terlebih menilainya. Kedua, saya tidak akan memberi tugas yang sama sekali tidak menarik untuk dikoreksi.

Karena saya sepenuhnya sadar...

Guru, betapapun bukan dewa dan murid bukan robot.

Ikuti tulisan menarik Luthfi Ersa Fadillah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler