x

Seorang narapidana sujud syukur usai mendapatkan surat pembebasan dari masa pidana di Lapas Kelas I Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara, Kamis 2 April 2020. Sebanyak 143 narapidana dan anak di lapas tersebut mendapatkan asimilasi dan hak integrasi dalam rangka pencegahan penyebaran virus COVID-19. ANTARA FOTO/Septianda Perdana

Iklan

Panggih Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Mei 2020

Rabu, 13 Mei 2020 15:15 WIB

Kejahatan Meningkat di Tengah Pandemi, Jangan Salahkan Napi yang Dibebaskan

Para narapidana yang bebas asimilasi karena Covid-19 seharusnya diterima dengan tangan terbuka. Masyarakat baiknya terlibat dalam proses bemasyarakat yang tengah mereka jalani. Jika mereka kesulitan ekonomi sebisa mungkin dibantu, libatkan dalam kegiatan masyarakat dan diperlakukan adil sebagaiman mestinya. Sampai saat ini, dari 40 ribu napi yang dibebaskan, baru 50 orang yang kembali berulah. Ini prosentase yang sangat kecil...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Monitor, selamat malam diinformasikan, ini jarene ada maling lari ke arah selatan, jarene jumlahnya dua orang, jarene maling e membawa sajam, jarene.. jarene..,” begitu suara yang terdengar dari HT Pak Parman. Informasi tersebut didengar serius oleh mereka yang sedang kebagian berjaga di pos ronda.

“Oalah, pak situasi saat ini kok jadi begini. Pencurian dan kejahatan di mana-mana, ini semua pasti karena napi-napi dibebaskan,” ujar Mas Tri sambil menghisap dalam-dalam rokok Samsu-nya.

“Iya, Mas, kemarin saya baca berita ada napi baru dua hari bebas, kembali curi motor. Pokoknya mereka keluar dari penjara itu bikin situasi tambah gawat.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keresahan seperti di atas juga dirasakan di beberapa daerah di Yogyakarta. Akhir-akhir ini memang banyak terjadi kriminalitas terutama pencurian. Pencurian terjadi dimana-mana, di kampung maupun di kota sama saja.

Para pencuri seolah-olah tidak tebang pilih dalam melancarkan aksinya. Semua barang dicuri, mulai dari gabah, hewan ternak, perhiasan, hingga sepeda motor. Seolah-olah para pencuri memakai slogan palugada eh Palu guci ( apa loe ada gua curi).

Maraknya kasus pencurian ini membuat warga harus kembali mengaktifkan pos-pos ronda yang telah sekian lama mati suri.

Sayangnya tindak kejahatan yang meningkat saat ini selalu dikaitkan dengan dibebaskannya para narapidana dari Lembaga Pemsyarakatan (Lapas). Tercatat memang Menkumah sudah memberikan asimilasi kepada 40 ribu narapidana di seluruh Indonesia. Pembebasan narapidana tersebut sebagai upaya untuk mengantisipasi penyebaran virus corona di dalam lapas.

Seperti kita ketahui kondisi Lapas yang overkapsitas membuat physical distancing mustahil untuk dilakukan.

Sementara itu media terus menerus mem-blow up berita terkait narapidana yang kembali berulah. Narapidana yang mencurilah, menjambretlah, membunuhlah, perkosalah. Masyarakat semakin resah, narapidana pun semakin dianggap salah.

Padahal, faktanya berdasarkan penjelasan Menteri Yasona dalam acara di Opini.id, sampai saat ini baru ada 50 Narapidana yang kembali berulah. Ini angka yang kecil jika pembandingnya adalah 40 ribu. Lalu kenapa seolah-olah semua yang dibebaskan juga berbuat kejahatan? Maka tidak salah kemudian ada pepatah “karena blow up media rusak susu sebelanga”.

Melihat situasi demikian, bagi saya kok ada semacam persoalan yang belum selesai di masyarakat. Yaitu bagaimana memandang seorang narapidana sebagai manusia seutuhnya. Masih ada stereotipe negatif terhadap para narapidana. Bahwa orang yang sekali berbuat jahat maka selamanya akan jahat.

Masyarakat sepertinya masih menginginkan seseorang yang berbuat jahat harus dihukum seberat-beratnya agar jera. Pernah terjadi kan aksi main hakim sendiri kepada maling kotak amal, atau maling sandal masjid sampai dibakar. Padahal di atas sana para koruptor berkelakar.

Bahkan hukuman di dalam penjara belum dianggap cukup bagi narapidana. Setelah bebas masih saja mendapat hukuman sosial dari masyarakat berupa stereotipe negatif yang entah sampai kapan harus ditanggung. Tentu hal ini akan menjadi tekanan mantan napi dalam menjalani hidup.

Masyarakat belum sepenuhnya paham bahwa Indonesia telah lama meninggalkan sistem kepenjaraan, kemudian berganti dengan pemasyarakatan. Sebuah konsep yang dicetuskan oleh dokter Saharjo pada 56 tahun silam. Sistem pemasyarakatan mempunyai sudut pandang yang lebih humanis terhadap seseorang yang berbuat salah.

Jika kepenjaraan menekankan aspek pembalasan atas perbuatannya, sedangkan pemasyarakatan berfokus pada upaya untuk merubah menjadi lebih baik sehingga dapat kembali bermasyarakat.

Mereka, narapidana yang bebas asimilasi karena Covid-19 seharusnya diterima dengan tangan terbuka. Masyarakat baiknya juga terlibat dalam proses bemasyarakat yang tengah mereka jalani.

Jika mereka kesulitan ekonomi sebisa mungkin dibantu, libatkan dalam kegiatan masyarakat dan diperlakukan adil sebagaiman mestinya. Iklim sosial yang hangat seperti inilah yang perlu dibangun di masyarakat kita.

Jika tidak bisa melakukan itu, ya, minimal jangan memberikan stigma negatif kepada mereka. Toh kita ini belum tentu lebih baik daripada mereka. Kalau kata Aa Gym, mah, kita teh kelihatan gagah, alim, baik karena Allah menutupi aib-aib kita.

Coba lihat sejenak, masih banyak kok narapidana yang berubah jadi baik. Empat orang Napi di Jakpus, misalnya, setelah bebas mereka langsung mendaftarkan diri untuk menjadi relawan Covid-19. Komunitas mantan narapidana di Sintang yang bergerak melakukan semprot disinfektan di fasilitas umum. Ah, tapi berita semacam itu kurang laku di pasaran.

Lalu kenapa akhir-akhir ini angka kriminalitas meningkat? Tentu tidak saya tidak tahu persis apa asbabul wurud-nya. Dalam situasi normal memang angka kejahatan selalu meningkat menjelang hari raya Idul Fitri. Tidak salah jika diasumsikan banyak yang butuh uang untuk menyambut lebaran. Butuh uang untuk mudik, beli baju baru, bayar hutang di koperasi yang jatuh tempo sebelum lebaran dan kebutuhan seremonial lebaran lainnya.

Khusus tahun ini sepertinya tidak ada lagi kemeriahan lebaran seperti tahun-tahun berlalu. Jadi hipotesis di atas semuanya gugur.

Walapun tidak selalu berkaitan namun kondisi ekonomi juga menjadi salah satu faktor terjadinya kriminalitas. Para pelaku tindak kejahatan pencurian biasanya dari kalangan kelas menengah kebawah.

Hantaman pandemi ini membuat banyak orang kehilangan mata pencahariannya. Padahal pengeluaran rutin terus mengucur deras. Bayar cicilan ke rentenir, bayar kontrakan, kredit motor dan tentunya untuk makan sehari-hari. Sedangkan untuk mencari pekerjaan lain , hanya lowongan kartu pra kerja yang masih buka.

Lalu masihkan mau menyalahkan Napi?

“Daripada sibuk mengutuk kegelapan napi, lebih baik nyalakan api, lalu bikin kopi”

Ikuti tulisan menarik Panggih Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

44 menit lalu

Terpopuler