x

Iklan

Roziqin Matlap

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 19 Mei 2020 15:58 WIB

Kenaikan Premi BPJS Kesehatan Bukan Solusi

Keinginan Pemerintah menaikkan Premi BPJS Kesehatan ditentang banyak pihak. Sebelumnya, kenaikan premi telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Kenaikan bukan solusi, karena masalah utama bukan pada premi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kisah tentang BPJS Kesehatan selalu muncul menjadi sorotan masyarakat. Kali ini karena adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan lagi melalui Perpres No 64 Tahun 2020 setelah sebelumnya Mahkkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan premi yang diatur dalam Perpres No 75 Tahun 2019.

Saat membatalkan kenaikan premi, MA berpendapat bahwa kenaikan premi tidak tepat di tengah situasi global yang tidak menentu. Bahkan MA menyatakan fraud pada BPJS jangan dibebankan pada masyarakat. Mengapa Presiden dan jajarannya kini nekat melawan Putusan MA di tengah sebagian masyarakat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi saat ini? Justru alasan ekonomi pula lah yang jadi alasan MA membatalkan kenaikan premi sebelumnya. Bisa jadi Pemerintah mengkhawatirkan BPJS terancam bubar dengan besaran premi lama.

Indikasi bubarnya BPJS Kesehatan muncul dari pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) saat menanggapi pembatalan Perpres No. 75 Tahun 2019 oleh MA. Menkeu ragu mengenai keberlanjutan BPJS Kesehatan karena defisitnya sudah sangat besar. Pada tahun 2019, defisit mencapai 28 Triliun dan hanya bisa dibantu oleh Kementerian Keuangan sebesar 15 Triliun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Defisit pada BPJS Kesehatan bukan cerita baru. Sejak berdirinya, BPJS Kesehatan tercatat terus mengalami defisit. Pada 2014, defisit mencapai Rp3,3 triliun, dan terus naik setiap tahun. Dengan berlanjutnya defisit, BPJS Kesehatan tampak belum melakukan perubahan dari tahun ke tahun.

Namun opsi pembubaran BPJS bukan pilihan, karena berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011, BPJS hanya dapat dibubarkan dengan UU. BPJS pun tidak dapat dipailitkan berdasarkan ketentuan perundangan-undangan mengenai kepailitan. Pemerintah pun dilema, tidak bisa membubarkan BPJS, namun tidak bisa terus menerus menyubsidi BPJS Kesehatan. Kenaikan premi pun akhirnya dipilih Pemerintah. Namun demikian, menurut Penulis, kenaikan premi bukan solusi.

Cacat Bawaan

Penulis melihat terdapat beberapa cacat bawan BPJS Kesehatan karena faktor UU pembentuknya. Pertama, tidak ada kejelasan badan hukum BPJS Kesehatan. UU BPJS mengatur bahwa BPJS merupakan badan hukum publik. Namun UU tidak mengatur badan hukum publik seperti apakah BPJS Kesehatan, apakah BPJS termasuk lembaga negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Layanan Umum (BLU). Selama ini BPJS Kesehatan tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan mengenai lembaga negara, BUMN maupun BLU.

Di satu sisi, karakteristik BPJS berdasarkan UU BPJS mirip dengan lembaga negara karena memiliki kewenangan membuat peraturan perundang-undangan yang mengikat umum, bertanggung jawab langsung kepada presiden, serta tidak dapat dipailitkan dan dibubarkan. Di sisi lain, ia juga mirip dengan BUMN karena memiliki direksi dan pengawas, gaji dan fasilitas standar BUMN, memberikan pelayanan ke masyarakat dengan menyaratkan pembayaran iuran, serta mudah mendapat suntikan dana dari pemerintah dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) atau subsidi.

Namun demikian, BPJS Kesehatan juga memiliki sifat mirip BLU karena bersifat nirlaba dan tidak perlu menyetor dividen. Ketidakjelasan bentuk badan hukum tersebut menjadikan BPJS Kesehatan memiliki berbagai keistimewaan dibandingkan dengan lembaga negara, BUMN maupun BLU. Berbagai keistimewaan, terutama longgarnya pertanggungjawaban dengan tidak adanya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), bertanggung jawab langsung kepada presiden, adanya sifat nirlaba, tidak perlu menyetor dividen, mudahnya mendapatkan suntikan dana, gaji dan fasilitas standar BUMN,  serta tidak dapat dipailitkan dan dibubarkan, berpotensi menjadikan BPJS minim kreatifitas, setelah sebelumnya berbentuk BUMN Askes.

Ketidakjelasan bentuk hukum juga menjadikan kebingungan dalam proses penyertaan modal maupun subsidi. Karena BPJS Kesehatan tidak berbentuk BUMN ataupun BLU, maka penggunaan kedua istilah tersebut menjadi rancu. Hal ini karena PMN atau subsidi hanya tepat untuk berbentuk BUMN ataupun BLU.

Kedua, pengelolaan BPJS Kesehatan rawan konflik kepentingan. Sebagai badan hukum publik, BPJS Kesehatan juga diberi kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat masyarakat. Hal ini menjadikan BPJS Kesehatan menjadi regulator sekaligus operator. Terlebih dengan adanya sifat nirlaba, maka terdapat celah untuk mengelola keuangan secara tidak profesional, tanpa berorientasi pada profit.

Konflik kepentingan juga muncul dalam UU BPJS yang memberi kewenangan kepada Direksi untuk mengatur mekanisme kerjanya sendiri melalui Peraturan Direksi. Hal ini beda dengan BUMN yang mekanisme kerjanya diatur oleh Kementerian BUMN.

 

Salah Kelola

Sebagai badan hukum publik, BPJS Kesehatan mengelola dana publik yang sangat besar. Dengan berulangnya defisit, Pemerintah perlu mewaspadai adanya salah kelola BPJS Kesehatan dan potensi kebocoran anggaran. BPJS Kesehatan telah memiliki sistem untuk mencegah peserta yang tidak aktif untuk mendapat pelayanan, sehingga seharusnya tidak terjadi masalah tunggakan.

Bahkan, BPJS Kesehatan seharusnya memanfaatkan dengan baik surplus iuran dari warga kurang mampu (Penerima Bantuan Iuran-PBI) yang ditanggung Pemerintah. Dengan peserta program JKN 183 juta saat ini, angka PBI ternyata mencapai 111 juta orang. Angka ini jauh di atas angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang per Maret 2017 “hanya” sebesar 27,77 juta orang.

BPJS Kesehatan sebenarnya juga bisa mendapat tambahan dana dari investasi, serta dari peserta maupun pemberi kerja yang membayar namun tidak memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan. Beberapa peserta tidak memanfaatkan BPJS Kesehatan karena telah menggunakan asuransi swasta yang lebih cepat pelayanannya. Mereka ikut BPJS Kesehatan hanya sekedar melaksanakan kewajiban UU. 

Tanggung Jawab Direksi

Dalam UU BPJS, Direksi harus bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian finansial yang ditimbulkan atas kesalahan pengelolaan Dana Jaminan Sosial (DJS). Sayangnya, hingga defisit terjadi berulang-ulang, tidak ada yang mempertanyakan tanggung jawab direksi atas atas kesalahan pengelolaan DJS sebagaimana diatur UU.

Terlebih, Presiden tidak dapat melakukan evaluasi secara langsung operasional BPJS, karena laporan BPJS disampaikan enam bulan sekali, serta tidak terdapat mekanisme RUPS layaknya di BUMN. Pemerintah seharusnya menuntut kreativitas direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, serta tidak terus memanjakan mereka dengan suntikan dana.

 Ganti Kelembagaan

Dengan berbagai uraian tadi, kenaikan premi bukan solusi menangani defisit BPJS Kesehatan. Penulis menyarankan Pemerintah dan DPR membenahi cacat bawaan BPJS Kesehatan dalam UU BPJS, dengan mengganti kelembagaan BPJS Kesehatan diubah menjadi BLU dibawah kewenangan Menteri Kesehatan sebagai menteri teknis, atau langsung di bawah Kementerian Keuangan agar mudah pengawasannya. Sebagai BLU, tentu Pemerintah tidak bisa mengharapkan BPJS Kesehatan mendapatkan laba, tetapi setidaknya Pemerintah bisa membenahi tata kelola BPJS Kesehatan karena kendali di tangan mereka. Konsep UU BPJS saat ini yang menetapkan bahwa BPJS berhubungan langsung dan bertanggung jawab kepada Presiden, justru menjadikan BPJS tidak terkontrol.

 

Roziqin Matlap

Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) 

Ikuti tulisan menarik Roziqin Matlap lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler