Bangun Jutaan Tandon Air Hujan-Padat Karya Tunai, untuk Menambah Cadangan Air Kemarau dan Mengurangi Banjir, serta Dampak Covid 19

Sabtu, 30 Mei 2020 16:45 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pembangunan yang terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi berakibat terjadinya alih fungsi hutan dan ruang terbuka hijau secara masif menjadi: perkotaan, permukiman, areal industri, perkebunan sawit, kawasan pertambangan minerba dan galian C, berbagai sarana transportasi, perladangan berpindah dan lahan gundul kritis terlantar; telah berujung terjadinya banjir-banjir besar di musim hujan,diikuti kekeringan dan kelangkaan air di musim kemarau, serta air kotor / tercemar oleh limbah cair dan sampah yang menyumbat sungai dan drainase sepanjang tahun. Mengatasi masalah ini sekarang pemerintah sedang giat-giatnya membangun banyak bendungan/waduk banjir dan serbaguna bersamaan dengan merehabilitasi hutan dan konservasi lahan (gerhan). Namun upaya gerhan dan bangun waduk-waduk tersebut belum optimal menurunkan debit puncak banjir DPB) yang membesar/meningkat menjadi 5 (lima) kali debit (Q) sebelum alih fungsi tata guna tanah. Untuk mengantisipasi dampak alih fungsi tata guna lahan ini peraturan perundang-undangan terkait Penataan Ruang telah memuat persyaratan prinsip Zero Delta Q (Pertambahan Debit Nol). Tulisan ini menguraikan pentingya menerapkan prinsip Pertambahan Debit Nol ini dengan membuat/membangun jutaan tandon-tandon air hujan di seluruh nusantara; untuk melengkapi dan mengoptilakan upaya yang sedang berjalan tersebut di atas, namun sekaligus dapat menyerap tenaga kerja secara padat karya bagi penduduk yang terdampak pandemi Covid 19.

Sejak awal era Orde Baru lanjut ke era reformasi sekarang siapapun bisa melihat bahwa dampak pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi, berbarengan dengan pertambahan penduduk, urbanisasi dan migrasi; adalah terjadinya alih fungsi hutan dan ruang terbuka hijau secara massif. Hutan dan ruang terbuka telah menjadi perkotaan, daerah industri, sarana transportasi, areal pertambangan minerba & galian C, perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri dan tanah gundul/perladangan berpindah.

Keharusan dan atau kewajiban melestarikan fungsi lingkungan hidup dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam dengan meminimalkan perubahan tata guna lahan DAS dan pencemaran, menjadi sangat tertinggal.

Akibatnya keseimbangan hidrologi daerah aliran sungai (DAS) berubah drastis sehingga fluktuasi debit air musim hujan dan kemarau di semua sungai di nusantara sangat besar. Pada musim hujan terjadi bencana banjir dan tanah longsor diikuti kekeringan, kelangkaan air, hilangnya mata air dan kebakaran hutan & lahan belukar (karhutla) pada musim kemarau.

Pada DAS yang sudah berkembang (al. cekungan Bandung S. Citarum; Kawasan Jabodetabek-Puncak S. Siliwung, S. Bekasih dan S. Cisedane; Semarang WS Jeragung, Medan S. Belawan dan S. Deli) kejadian banjir dan kekeringan diperparah dengan degradasi kualitas air oleh banyaknya limbah rumah tangga, industri dan perkotaan berupa limbah cair dan padat/sampah, ditambah banyaknya penyadapan mata air pegunungan untuk air kemasan, serta over ekstraksi / pemompaan air tanah yang menyebabkan kekeringan sumur-sumur rakyat dan penurunan muka tanah sepanjang tahun.

Keadaan tersebut di atas mengindikasikan bahwa kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di hampir semua kawasan perkotaan, perkebunan, dan areal pertambangan di Indonesia sudah melampawi ambang batas baku mutu lingkungan hidup.

Fenomena alamiah suatu sungai yaitu hubungan antara hujan, kondisi DAS dan debit aliran secara sederhanan dapat digambarkan sebagai model hubungan antara masukan, proses dan keluaran. Dalam model ini di samping sifat dan banyaknya hujan sebagai faktor dominan “masukan”; maka letak geografis, luas, bentuk topografi, geologi, dan vegetasi dari suatu DAS serta sifat sungai sebagai “wahana proses”, akan sangat berpengaruh terhadap debit dan corak banjir, debit kemarau (base Flow), angkutan sedimen dan morphologi suatu sungai sebagai “keluaran”.

Dengan model sederhana di atas mudah dimengerti bahwa suatu sungai dengan sifat-sifat DAS yang berbentuk relative bulat, kemiringan lahan terjal, ditambah keadaan lahan kritis (vegetasi hutan rusak, areal gundul luas, tanah mudah tererosi, akan memberikan corak banjir yang mendadak (flash flood), debit banjir yang besar dan sedimentasi berat di musim hijan, tetapi sebaliknya kekeringan pada musim kemarau. Fluktuasi dan/atau perbadingan debit maksimum dan minimum menjadi besar sekali. Berdasarkan penelitian lapangan, para ahli hidrologi dan konservasi tanah umumnya menyepakati bahwa alih fungsi lahan DAS hutan primer/asli menjadi 45 % tanaman campuran mengakibatkan perubahan debit puncak banjir (DPB) menjadi 5 (lima ) Q DPB sebelum alih fungsi hutan (Q), serta mengecilnya debit dasar yang layak dimanfaatkan.

Sebaliknya suatu sungai dengan sifat-sifat DAS yang berbentuk memanjang dan tidak terlalu miring, sedangkan keadaan lahanya baik (vegetasi hutan masih cukup luas, lahan tak terawat sedikit dan tidak mudah tererosi) akan memberikan: corak banjir yang perlahan, debit maksimum yang tidak tinggi, dan sedimentasi ringan di musim hujan sedang debit musim kemarau akan lebih baik. Ini berarti perbandingan debit maksimum dan minimum kecil. (Menambah Cadangan Air & Mengurangi Banjir, oleh Ir. M. Napitupulu Dipl. HE, 1999).

Upaya memanen hujan. Memperhatikan kembali model sederhana sungai yang diuraikan di atas dapatlah dikatakan bahwa dari 3 (tiga) elemen fenomena banjir dan kekeringan yaitu (i) sifat hujjan, (ii) sifat DAS, dan (iii) sifat sungai, maka sifat DAS sebagai tempat jatuhnya hujan merupakan elemen yang dapat diubah atau dipengaruhi secara setempat (lokal) guna mencapai keseimbangan yang lebih serasi antara infiltrasi dan aliran air hujan. Program rehabilitasi hutan dan konservasi lahan (pemulihan kerusakan DAS) adalah salah satu upaya untuk mengubah dan memperbaiki kondisi hidroorologi lahan DAS agar infiltrasi bertambah sehingga kemampuan retensi atau menahan air hujan akan meningkat dan akhirnya akan dapat mengurangi banjir dan sekaligus menambah cadangan air tanah dan mata air di musim kemarau.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti persoalan terletak pada lahan DAS itu sendiri yang apabila kita ingin mengubahnya, maka keberhasilannya akan sangat tergantung pada tingkat partisipasi para pemilik lahan DAS bersangkutan. Kunci persoalannya ialah usaha untuk melibatkan sepenuhnya masyarakat pemilik lahan DAS. Keterlibatan itu harus sedemikian sehingga tiap titik air hujan yang jatuh di masing-masinng pemilikan lahan haruslah dipanen/ditahan/direm ditampung dalam tendon-tandon air, supaya di satu pihak kejadian banjir di bagian hilir dapat dicehah. Tetapi di pihak lain air yang ditahan/ditandon tersebut dapat sebagai cadangan untuk digunakan kemudian atau diresapkan ke dalam tanah atau dilepas secara lambat laun tanpa menimbulkan bahaya banjir di hilir.

Terlihat bahwa prinsip panen hujan di atas adalah hampir sama dengan solusi masalah banjir dan kekeringan dengan pembangunan sarana bendungan/waduk banjir atau bendungan /waduk serbaguna (yang selama ini tertinggal namun sekarang sedang dipercepat konstruksinya), hanya saja pada gagasan ini, dimensi waduk atau tandon air akan relatif kecil namun jumlahnya akan banyak sekali (jutaan) dengan pembiayaan pemilik lahan sendiri atau dengan subsidi pemerintah untuk tandon milik disun atau desa.

Mengingat penting dan mendasarnya perubahan debit aliran akibat perubahan tata guna lahan terkait pembangunan maka sejak awal terbitnya UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang diikuti PP tata Ruang Nasional dan semua Rencana Detail Tata Ruang Provinsi, Kabupaten dan Kawasan Khusus, dengan jelas telah dicantumkan persyaratan prinsip Zero Delta Q (Pertambahan Debit Nol). Artinya setiap pemilik tanah (perorangan), perkantoran, kompleks pendidikan&pelatihan dan atau pengembang (badan hukum): perumahan, areal industri, pusat perdagangan, bandara, perkebunan, HTI, dan kawasan pertambangan harus betul-betul bertanggung jawab membuat/membangun sarana panen/ tampungan / tandon air hujan untuk menjaga agar debit aliran yang keluar dari kawasannya tetap sama seperti sebelum adanya alih fungsi lahannya (tidak memperbesar DPB).

Penerapan prinsip Zero Delta Q tersebut di lapangan disarankan pengaturan sebagai berikut: (1) Untuk berbagai kawasan terbangun oleh otoritas perkantoran, kompleks pendidikan, dan pengembang, wajib memanen hujan 100 mm/hari dengan membangun tandon air (embung) sesuai luasan kepemilihannya. Kalau luasnya 25 Ha harus membuat embung volume tampungan 25 ha x 100 mm/hari = 25.000 m3. (2) Untuk setiap kavling perumahan perkotaan wajib memanen hujan 50 mm/hari dengan tandonan sesuai luas tanahnya, misalnya 120 m2 perlu tandon = 6 m3. Provinsi DKI dan banyak Kabupate/Kota sudah mensyaratkan pembuatan sumur resapan untuk memanen air hujan, namun gunanya mengurangi banjir kurang efektif.

Lalu (3), uUntuk kawasan konsesi perkebunan kelapa sawit wajib membangun embung panen hujan rata-rata per 500 Ha dengan kapasitas dapat memanen hujan 50 mm/hari. Volume embungnya = 250.000 m3. Kalau menguasai konsessi 500.000 Ha, berarti perlu 1000 embung atau kurang kalau ada lokasi cekungan yang memberi kapasitas embung lebih besar. (4) Untuk kawasan konsesi HTI wajib membangun embung panen hujan rata-rata per 500 Ha dengan kapasitas dapat memanen hujan 100 mm/hari. Volume per embung 500.000 m3. Tersirat manfaat ganda adanya embung di perkebunan kelapa sawit dan HTI yaitu tersedianya air untuk cegah karhutla.

Poin (5), untuk kawasan pertambangan minerba wajib membangun embung panen hujan 100 mm/hari. (6) Untuk kawasan perdesaan membuat tandon panen hujan perorangan atau per sub dusun/dusun/desa unuk memanen hujan 50 mm/hari. Manfaat ganda adanya tandon/kolam air di perdesaan adalah berkembangnya aquakultur/budidaya perikanan. (7) Diharapkan Satuan Kerja Pemerintah dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (provinsi, Kabupaten/Kota) bersama Tim Koordinasi PSDA, Forum DAS, masyarakat sipil, LSM, dunia usaha, dunia pendidikan, serta media terkait, dapat bersama sama memberi advis teknis tentang lokasi dan teknis konstruksi tandon-tandon air hujan tersebut.

Upaya memanen hujan dengan pembuatan tandon tandon mikro yang dikelola secara individu, oleh warga dusun/desa atau bersama-sama swasta parallel dengan upaya penghijauan dan reboisasi, termasuk pertanian dan perikanan terpadu & tepat guna secara berlelanjutan tampaknya cukup menarik dan layak. Kelayakan upaya ini dengan mudah dapat dipahami mengingat: (i) teknologinya yang sederhana dan padat karya (tunai), (ii) material bangunan tersedia setempat, (iii) dapat dibuat bertahap dengan hasil cepat dan terukur, (iv) pendanaan pengelolaan bisa individu, koperasi, swasta dan subsidi pemerintah, (v) dapat menjadi kunci pemberdayaan masyarakat yang relatif menganggur akibat pandemic Covid 19, (vi) akan meningkatkan umur ekonomi operasi waduk-waduk yang sudah dibangun sebelumnya, dan (vii) meningkatkan kualitas air sungai berarti menurunkan biaya pengolahan air minum (PAM). SEKIAN!

Bagikan Artikel Ini
img-content
Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler