x

Supartono JW

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 4 Juni 2020 14:20 WIB

Antara Pembina/Pelatih SSB yang Sangat Perlu Diperhatikan dan Betapa Vitalnya SSB bagi Pembentukan Karakter Anak

Harus di sadari, olah raga sepak bola yang sangat banyak diminati anak Indonesia, sangat strategis membentuk karakter anak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menyedihkan, sampai detik ini, di tengah pandemi corona dan sepak bola sedang diliburkan, di grup-grup perkumpulan/festival/turnamen/kompetisi/liga sepak bola, khususnya kelompok sepak bola akar rumput, yang ada di media sosial, terutama whatsapp (app), masih "sangat sering" saya temukan komentar dan permintaan, baik oleh admin/operater/anggota grup yang  tak "senafas" karena berbaur pengurus, orangtua, pembina, pelatih dll, agar tidak memposting, menyebar, meneruskan informasi (gambar/video/berita/artikel dll) di luar sepak bola, di luar kepentingan grup tersebut, dll.

Apalagi bila informasi yang di share menyoal politik dll. Bila kebetulan yang memposting artikel adalah saya, dan itu artikel memang saya tulis terkhusus untuk pembelajaran "orang-orang" yang berkecimpung di pembinaan dan pelatihan sepak bola akar rumput, sekadar untuk bahan bacaan atau wawasan menambah pengetahuan, lalu ada yang memberi komentar "jauh dari ekspetasi", maka saya akan dengan rela hati langsung men"japri" yang bersangkutan. 

Kemudian coba sharing dan diskusi kecil, mengapa "dia" berkomentar begitu? Maka saya bahsa agar tidak gagal paham, dan berpikir ke depan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepak bola=taktik, intrik, politik!

Sepak bola itu permainan yang bila dimainkan di lapangan akan penuh dengan taktik dan intrik yang tentu penuh dengan politik. Sementara di meja organisasinya, di PSSI, hingga kini sangat penuh dengan "politik" kepentingan. 

Mengapa sampai sekarang masih banyak manusia yang mengelola sepak bola akar rumput dengan bekal "polos-polos" saja? Tanpa bekal keilmuan yang cukup dan memadai, dan dibiarkan saja? 

Jujur saya sedih dengan kondisi ini. Terlebih, banyak grup-grup ygan menampung "manusia-manusia" yang sangat berkepentingan membina dan mendidik anak-anak di akar rumput (usia dini dan muda), yang menggilai sepak bola. 

Bahkan atas kondisi ini, belum ada stakeholder terkait, yang mencoba mengulik hal ini, membahas hal ini, apalagi memberikan program edukasi pada "mereka". 

Tahukah PSSI, sebagai induk organisasi sepak bola Indonesia menyoal ini? Bahkan sepanjang 90 tahun PSSI berdiri, baru Shin Tae-yong yang berani jujur, bahwa passing pesepak bola Timnas Indonesia "payah". Dan, akhirnya mengerucut masalah, kesalahan sudah dari dasar. Dasar itu siapa? Berarti sepak bola akar rumput. 

Lalu, di grup-grup wa sepak bola akar rumput, para anggotanya juga hanya berpikir sepak bola dan sepak bola saja, tanpa mau dicampur aduk dengan hal lain. Pemikirannya "sangat sempit" dan hanya berpikir sepak bola hanyalah teknik dan speed. 

Lalu, bergelut di dalamnya hanya dengan bekal sebagai mantan pemain atau cuma sekadar hobi. Tak mau menjadi "pembelajar", malas membaca, melihat informasi berita/artikel hanya membaca judulnya, mau yang praktis-praktis saja. Mau yang tidak rumit, mau yang ringan-ringan saja dll. 

Sangat kontradiksi dengan beban dan tanggungjawab yang diemban, bahwa faktanya yang dihadapi dan ditangani adalah anak-anak usia dini dan muda, yang sangat butuh asupan "pendidikan" yang benar, sehingga membentuk karakter sebagai pondasi yang kokoh untuk jenjang berikutnya. 

Salah besar, bila melalui sepak bola, anak-anak usia dini dan muda, salah peletakan pondasi dan hanya mencekoki anak-anak "melulu" hanya tentang permainan sepak bola terkhusus menyoal teknik dan fisik dan mengejar prestasi dengan cara negatif? 

Seharusnya, ada stakeholder yang "mengontrol" hal ini, sebab hingga saat ini, terbiarkan "manusia-manusia" yang belum lulus standar membina dan mendidik anak usia dini dan muda, di Indonesia tanpa bekal akademis, pendidikan yang memadai, dan hanya berbekal sebagai mantan pemain atau sekadar lisensi kepelatihan D, C, dan seterusnya yang belum cukup sebagai bekal mengampu anak-anak di level pondasi kehidupan. 

Ini juga akibat dari pembiaran PSSI, yang belum pernah mengafiliasi keberadaan Sekolah Sepak bola di Indonesia dengan tuntas.

Pahami filosofi=filsafat sepak bola

Pernahkah "mereka" menyadari filosofi dari sepak bola itu sendiri? Filosofi adalah filsafat (KBBI). Sedang filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya. Filsafat juga berarti teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan. Makna lainnya, filsafat adalah ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi, dan filsafat juga bermakna falsafah. 

Falsafah adalah anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat dan pandangan hidup. 

Karenanya banyak manusia yang menekuni bidang apa pun berfalsafah, yaitu memikirkan dalam-dalam tentang sesuatu. Mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang dalam yang dijadikan sebagai pandangan hidup. 

Sementara makna sepak bola (KBBI) adalah permainan beregu di lapangan, menggunakan bola sepak dari dua kelompok yang berlawanan yang masing-masing terdiri atas sebelas pemain, berlangsung selama 2 x 45 menit, kemenangan ditentukan oleh selisih gol yang masuk ke gawang lawan. 

Jadi bila digabung, makna filsafat sepak bola, jelas sangat jauh dari sekadar teknik dan fisik. Terkait dengan filsafat, maka dalam permainan sepak bola jelas ada intelegensi dan personaliti yang lebih menjadi pondasi bagaimana seorang anak dapat mengendalikan kemampuan teknik dan fisiknya, menjadikan seorang anak memahami siapa diri dan seberapa besar kemampuan teknik dan fisiknya. 

Saat berada di tim dapat menjadi anggota tim yang kolektif, tidak individuallistis dan egois.

Bagaimana selama ini pembinaan dan pelatihan sepak bola akar rumput kita dalam membentuk anak-anak usia dini dan muda? Apakah bekal ilmu-ilmu membentuk, mengembangkan, dan mengendalikan karakter intelgensi dan personaliti anak-anak dipenuhi oleh para pembina dan pelatih? 

Dalam pendidikan formal, anak usia dini (PAUD), guru yang mengajar dan mendidik di kelas, kini syaratnya harus berijazah S1 yang ditempuh minimal 8 semester (4 tahun). Dengan bekal itu saja, para guru masih terus digembleng dengan pelatihan, seminar, dan selalu disupervisi oleh pemimpin/kepala sekolah. 

Sebab ini sektor pondasi, kawah candradimuka. Salah menancapkan pendidikan dasar, maka, salah pula pembentukan pondasi, calon-calon penerus kemajuan bangsa. 

Jumlah sekolah formal dan SSB

Sejak nama SSB digaungkan dan menjamur, bukti sejarahnya sudah saya tulis di berbagai media, tahukah PSSI sebagai organisasi yang seharusnya menaungi, jumlah pasti SSB di Indonesia? 

Yakin, PSSI hingga saat ini belum memiliki data yang pasti. Pun belum memiliki data SSB yang sejatinya memenuhi standar dan layak beroperasi di Indonesia. Karena, PSSI hanya mengurus Liga 1, Liga 2. Liga 3 pun diurus oleh Asprov. 

Berdasarkan data dari kompas.com (8/1/2020), di Indonesia kini terdapat total 514 kabupaten dan kota di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari jumlah itu terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota.

Bila saya coba menghitung, di setiap kabupaten dan kota, rata-rata saya hitung memiliki 20 SSB, maka, di seluruh Indonesia kini terpapar ada 10.280 SSB. Ini dengan estimasi sederhana. Artinya, Jumlah SSB di Indonesia, mungkin malah lebih dari jumlah itu. 

Namun bila berkurang pun, yakin jumlahnya masih ada di atas lima ribu SSB. Bandingkan dengan jumlah sekolah formal yang datanya akurat sesuai sumber dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan saya kutip yang tahun 2018. Jumlah sekolah dari jenjang SD sampai Sekolah Lanjutan Atas (SLTA), termasuk Sekolah Luar Biasa (SLB) di Indonesia mencapai 307.655 sekolah pada tahun Pelaran 2017/2018. 

Jumlah tersebut, berdasarkan data pokok pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terdiri atas 169.378 sekolah negeri dan 138.277 sekolah swasta, . Jumlah sekolah tingkat SD merupakan yang paling banyak, yakni mencapai 148.244 sekolah Kemudian untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat 38.960. Adapun untuk tingkat SLTA  sebanyak 27.205 sekolah, terdiri atas SMA 13.495 dan SMK 13.710. 

Nah, bila merujuk jumlah sekolah formal, maka SSB itu tak jauh berbeda dengan jumlah SMA dan SMK. Tahukah PSSI dan seluruh publik sepak bola nasional, bahwa bila anak-anak tidak tertarik dan bosan belajar di kelas karena berbagai faktor, tetapi bila main sepak bola anak-anak sangat suka? 

Maka, dengan jumlah SSB yang sebanding dengan jumlah SMA dan SMK di Indonesia, maka SSB yang lebih diminati anak-anak, tentu akan sangat strategis bagi bangsa dan negara ini, untuk dapat menitipkan pendidikan karakter anak usia dini dan muda melalui jalur SSB. 

Nilai-nilai karakter dalam sepak bola 

Bila seorang pelatih SSB saat mengajarkan materi passing kepada siswa langsung menyelipkan makna pendidikan dari passing, semisal passing yang benar sesuai teknik passing, lalu melihat jarak yang di passing, maka akan ada hubungan dengan fisik, yaitu seberapa kekuatan passing yang dibutuhkan. 

Saat melakukan passing juga bekerja intelgensi dan personaliti. Maka, meski hanya sekadar passing, banyak aspek dan indikator yang mempengaruhi, hingga akhirnya passing disebut benar dan berkualitas. 

Pelatih, dapat menyelipkan pendidikan karakter pada anak, semisal, passing yang benar itu, tidak membahayakan diri sendiri, tidak merepotkan teman yang menerima passing, tidak terpotong oleh lawan, tidak mempengaruhi tempo permainan, tidak individulis dan egois, mementingkan kepentingan kolektivitas dan tujuan, taktik, intrik, dan politik tim.

Bila filosofi passing diterapkan dalam kehidupan nyata, maka seorang anak akan dapat hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat  tidak membuat susah sendiri, tidak merepotkan orang lain, tidak membikin masalah yang membahayakan diri, keluarga/masyarakat, tidak egois, mementingkan kerjasama, tidak individualis, karena cerdas intelgensi dan personaliti. 

Luar biasa banyak, filosofi dalam permainan sepak bola yang dapat membimbing karakter siswa menjadi kuat untuk praktik dalam kehidupan nyata, menjadi manusia berbudi, santun, berbesar hati, tahu diri, dan rendah hati. Ingat, permainan sepak bola yang diminati anak-anak, sangat mujarab menjadi pintu pembinaan mental dan karakter anak, lebih dari sekadar mimpi menjadi pemain timnas. Itulah tugas para pembina dan pelatih di SSB termasuk para orang tua. 

Bukan seperti selama ini, berpikir sepak bola berdiri sendiri. Ada tugas mulia yang dapat diemban oleh sepak bola akar rumput dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya. 

Pun, saat ada anak-anak yang nanti melesat sampai terpilih masuk timnas di berbagai level, anak tersebut memang sudah lulus semua aspek teknik, intelgensi, personaliti, dan fisik/speed (TIPS). 

Sepak bola mancanegara sudah memilih pemain yang standar dan lulus TIPS, maka mudah berprestasi. Sepak bola kita terus terpuruk karena pembina dan pelatihnya jauh dari pemikiran intelegensi dan personaliti, yang ilmunya memang wajib dipelajari, wajib dibaca, wajib dicari dan dikembangkan. Lalu, mencekoki anak hanya dalam persoalan teknik dan fisik saja. 

Kemudian, memilih pemain masuk dalam tim pun hanya dilihat dari kemampuan teknik dan fisik. 

"Knowledge is Power", pembina-pelatih=guru

Pengetahuan adalah Kekuatan, “Knowledge is Power”. Siapa yang mau membantah pepatah itu? Karenanya, pembina-pelatih dalam sepak bola itu sama dengan guru. Dan menjadi pembina/pelatih SSB harus memiliki pengetahuan dan wawasan, karena bekal lisensi yang ada saja tidak cukup. 

Apalagi bila tanpa bekal lisensi, miskin pengetahuan dan wawasan, berani dan coba-coba menjadi pembina dan pelatih SSB. Terbayang bagaimana karakter siswa yang diampunya. Pengetahuan membuat kita bisa menjadi lebih berpikir panjang dan membuat kita menghindari kesalahan yang sama. 

Semakin banyak ilmu yang kita miliki, maka semakin mudah pula kita dapat mempelajari hal-hal baru. Jika kita tidak banyak belajar akan hal baru maka kita tak dapat mengerti dan mengatasi hal-hal sulit yang akan kita temui. 

Bila kita  memiliki wawasan yang luas, maka akan dapat menyelesaikan suatu hal yang sulit menjadi lebih mudah. Dengan wawasan yang luas, kita dapat meningkatkan kemampuanmu berpikir secara kritis sehingga persoalan yang sulit pun bisa menjadi lebih mudah diselesaikan. 

Dengan wawasan yang luas, juga membuat kita jadi lebih mengerti diri sendiri. Dengan pengetahuan membantumu bisa menikmati hidup dengan berbagai cara sehingga kamu bisa menjadi lebih bahagia sepanjang hidupmu. 

“To know what you know and what you do not know, that is true knowledge” – Confucius 

Bila para pembina dan pelatih cukup mumpuni dalam wasasan ilmu pengetahuan, maka akan sangat membantu menanamkan wawasan kehidupan anak-anak melalui sepak bola. 

Hal paling mudah yang bisa diterapkan untuk menambah wawasan adalah dengan membaca, membaca bisa memberikanmu berbagai macam jenis informasi yang sangat berguna untuk kehidupanmu sehari-hari. 

Tidak harus membaca buku, membiasakan membaca berita pun mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan manusia. Selain itu, menjadi pembina dan pelatih SSB di sektor pondasi=akar rumput, juga wajib memperhatikan kemampuan spiritual, kemampuan intelegensi, dan kemampuan personaliti (emosi). 

Seorang pembina/pelatih yang memiliki kecerdasan emosional akan terlihat jelas dari cara mendidik, yakni sabar dan bijaksana sehingga tidak mudah terpancing oleh kenakalan siswanya. 

Adapun dengan kecerdasan intelektual, pembina/pelatih akan menempatkan dirinya sebagai sosok yang punya daya tarik tersendiri bagi siswa. Lebih dari itu, pembina/pelatih wajib selalu berusaha mengembangkan kemampuannya agar menemukan kreasi dan inovasi baru demi memotivasi siswanya, serta memiliki gagasan baru demi meningkatkan kecerdasan siswanya. 

Mengingat pembina/pelatih SSB=guru, maka harus pula memiliki kemampuan berbicara yang komunikatif, sabar menghadapi siswa, telaten dan berdisiplin tinggi, serta penuh rasa cinta saat mendidik siswa. 

Jadi, SSB yang sangat strategis menjadi lahan pembinaan dan pendidikan karakter anak Indonesia di usia dini dan muda, memang harus diperhatikan bukan saja oleh PSSI dan Pemerintah melalui Kemenpora, namun para pembina, pelatih, dan orang tua juga wajib menyadari hal ini. 

Akan menyesatkan pembinaan dan pelatihan apalagi membentuk karakter anak-anak sebagai anak Indonesia dan anak yang kelak masuk timnas, bila para pembina dan pelatih sepak bola akar rumput keberadaannya dibiarkan seperti sekarang. 

Khusus PSSI, harus melahirkan Kurikulum Sepak Bola Nasional (KSBN) yang baku yang proses pembuatannya juga memenuhi syarat dan kaidah proses lahirnya kurikulum. 

Bila di dunia pendidikan formal, Kurikulum Pendidikan di Indonesia menyasar pendidikan dasar dan menengah dari usia dini hingga 17/18 tahun,  maka, kurikulum sepak bola Indonesia juga dapat menyesuaikan jenjang yang sama untuk sepak bola usia dini (8-12 tahun) dan muda (13-17/18 tahun). 

Lalu, juga ada pembenahan dalam konten pendidikan lisensi untuk calon pelatih yang minimal juga sepandan dengan pendidikan calon guru di sekolah formal. 

Semoga, ini segera menjadi pemikiran di PSSI dan Pemerintah. Sambil menunggu "sentuhan" PSSI dan Pemerintah, para pembina dan pelatih SSB juga harus berbenah. Upgrade (tingkatkan) kemampuan TIPS Anda dengan menjadi "pembelajar" yang benar, sebab di dalam filosofi sepak bola, termaktub semua ilmu dan teori kehidupan. 

Faktanya, sepak bola baik di dalam maupun luar lapangan, adalah permainan yang penuh intrik, taktik, dan politik. PSSI terbentuk pun dalam kontek politik yang penuh intrik dan taktik dengan tujuan untuk perjuangan persatuan dan kesatuan bangsa. 

Bila para pembina/pelatih sepak bola akar rumput masih polos dan jadul, bagaimana dengan nasib anak-anak yang dibina dan dilatih, tanpa nuansa "pendidikan?" 

SSB sangat vital membentuk karakter anak, oleh karena itu pembina dan pelatihnya wajib profesional, yaitu orang yang memiliki profesi atau pekerjaan yang dilakukan dengan memiliki kemampuan yang tinggi dan berpegang teguh kepada nilai moral yang mengarahkan serta mendasari perbuatan, memiliki bekal ilmu mendidik, bekal wawasan yang luas, memiliki ijazah/sertifikat yang standar sesuai jenjang.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler