x

Aliansi SAFEnet saat menggelar aksi solidaritas di depan Kementerian Informatika dan Komunikasi di Jl Tanah Merdeka, Jakarta, Jumat, 23 Agustus 2019. Aksi tersebut dilakukan guna memberikan surat teguran (somasi) kepada Kemenkominfo Republik Indonesia untuk segera mencabut pemblokiran akses internet sesegera mungkin di Papua dan Papua Barat. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 5 Juni 2020 09:33 WIB

Terbukti, Tindakan Pemerintah Memblokir Internet Papua Melanggar Hukum

Dengan dalih apa pun, keputusan pemerintah membatasi akses Internet di Provinsi Papua dan Papua Barat sejak awal tidak bisa dibenarkan. Selain tidak memiliki dasar hukum yang kuat, pemblokiran Internet di dua provinsi itu jelas mengancam kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*) Naskah diambil dari Tajuk Koran Tempo, 5 Juni 2020, dengan perubahan judul.

Dengan dalih apa pun, keputusan pemerintah membatasi akses Internet di Provinsi Papua dan Papua Barat sejak awal tidak bisa dibenarkan. Selain tidak memiliki dasar hukum yang kuat, pemblokiran Internet di dua provinsi itu jelas mengancam kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi.

Kini terbukti, langkah pemerintah memperlambat akses yang diikuti dengan pemutusan layanan Internet merupakan perbuatan melanggar hukum. Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dua hari lalu, memvonis Presiden Republik Indonesia serta Menteri Komunikasi dan Informatika bersalah atas pemblokiran tersebut. Putusan ini harus diapresiasi karena majelis hakim juga menyoroti penutupan akses Internet dari sudut hak asasi manusia, baik dari hukum nasional maupun kovenan internasional.

Selama persidangan, majelis hakim banyak menggali dasar hukum yang menjadi pertimbangan Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup layanan Internet. Hakim menilai, jika ada informasi atau dokumen elektronik yang melanggar hukum, pembatasan dilakukan terhadap konten tersebut, bukan atas akses Internet secara keseluruhan. Pembatasan Internet justru melanggar Pasal 40 ayat 2a dan 2b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang selama ini menjadi pijakan pemerintah. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keputusan pemerintah memblokir Internet di Papua dan Papua Barat itu juga menabrak Artikel 19 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Kovenan ini dengan gamblang menyebutkan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berpendapat harus memenuhi aspek legalitas, legitimasi, dan kebutuhan. Ketiga aspek itu dibutuhkan untuk menguji apakah pembatasan yang dilakukan bertujuan melindungi kepentingan publik atau justru melanggar hak asasi orang lain.

Kenyataannya, keputusan pemblokiran pada Agustus-September tahun lalu setelah aksi unjuk rasa meledak di Bumi Cenderawasih tidak memenuhi ketiga persyaratan tersebut. Dari sisi legalitas, misalnya, perintah pembatasan Internet terbit hanya melalui siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika, bukan melalui sebuah produk hukum yang spesifik. Siaran pers jelas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Hak berekspresi dan menyampaikan pendapat juga tidak bisa dibatasi bila tak ada hak publik yang lebih luas yang ingin dilindungi. Tanpa legitimasi dan kebutuhan yang mendesak, pemblokiran Internet justru mematikan akses masyarakat untuk memperoleh informasi.

Pemerintah seharusnya sadar pemblokiran secara gegabah bukanlah senjata yang tepat untuk melawan hoaks dan misinformasi. Maka, ketimbang sibuk membatasi informasi dengan memblokir Internet, pemerintah lebih baik mendorong penguatan literasi digital agar masyarakat mampu memilah informasi. Kebebasan berekspresi diperlukan untuk menjalankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam berdemokrasi.

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler