x

promosi guru

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 25 Juni 2020 15:22 WIB

Angkat Guru Menjadi Materi Promosi Sekolah, Jelang Tahun Ajaran Baru di Tengah Covid-19

Guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan. Namun, hingga saat ini, bahkan jelang tahun ajaran baru 2020/2021 di tengah Covid-19, keberadaan guru, jarang sekali menjadi bahan materi dalam promosi sekolah menerima siswa baru. Mengapa hal ini tak terjadi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Tahun ajaran baru 2020/2021, tinggal hitungan hari lagi akan di buka. Meski pembukaannya akan bertahap di mulai dari SMP dan SMA/SMK, dan teknik pembelajarannya pun akan ada yang nantinya sudah luring maupun masih tetap daring melihat situasi dan kondisi pandemi corona.

Terkait hal ini, yang menjadi pertanyaan berbagai pihak dan masyarakat adalah, tentang belajar daring/online/virtual (DOV). Sebab, se-hebat-hebatnya, se-kreatif-kreatifnya, se-inovatif-inovatifnya model pembelajaran dari guru, tetap ada tembok yang membatasi interaksi, sehingga pembelajaran pun "nilai rasanya" akan tetap sama saja.

Bila belajar dengan DOV bersama guru yang hebat dan profesional saja, nilai rasanya akan tetap sama karena ada keterbatan interaksi, bagaimana siswa dapat belajar dengan guru-guru yang belum hebat, belum profesioanal, dan gagap teknologi? Padahal mau tidak mau, tahun ajaran baru akan dibuka 13 Juli 2020.

Sebelum pandemi corona, hampir dipastikan, susah ditemukan promosi pembukaan tahun ajaran baru untuk pendaftaran siswa baru, khususnya sekolah-sekolah swasta, ada sekolah yang mempromosikan juga daftar guru-guru pengajarnya. Biasanya yang dipromosikan adalah lebih kepada keunggulan sarana-prasarana,  sistem belajarnya, dan sekilas pengajarnya profesional, tapi jarang disebut "berpengalaman." Padahal, sekolah sebagai pembentuk karakter siswa, seharusnya diisi oleh guru yang berpengalaman.

Berbeda dengan sekolah swasta yang setiap musim pendaftaran siswa baru, justru sudah menjaring siswa sebelum pemerintah membuka PPDB, dan bersaing sesama sekolah swasta, maka sekolah negeri cuek-cuek saja.

Tidak perlu promosi, orang tua dan siswa pun akan berebut masuk karena gratis dan murah. Pun tidak peduli, kompetensi dan profesionalisme gurunya akan seperti apa.

Namun, dari perbedaan sikap antara sekolah swasta dan negeri ini, ada kesamaannya, yaitu sama-sama jarang mempromosikan siapa para guru-guru yang menjadi staf pengajarnya.

Apakah selama ini, menyoal promosi guru yang tidak mengemuka di setiap awal tahun ajaran baru, terpikirkan oleh Kemendikbud, stakeholder terkait dan masyarakat?

Sementara hasil penilaian PISA (membaca, matematika, sains) siswa Indonesia terus terpuruk. Secara umum, hasil pendidikan Indonesia terus tertinggal. Apakah karena Kurikulumnya? Jawaban yang pasti adalah karena kondisi dan keberadaan gurunya.

Guru dalam arti sebenarnya, tak bisa ditawar adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan di seluruh dunia. Negara-negara maju, tentu adalah hasil dari signifikasi karena pendidikan di negara itu sudah duduk di tempatnya. Sekolah-sekolah hanya diisi oleh para guru yang lulus standar, berkompeten dan profesional, terus kreatif dan inovatif dan tak tertinggal oleh perkembangan zaman, dan selalu lebih terdepan dibanding para siswanya.

Bagaimana guru di NKRI? Satu di antara kenyataannya adalah, banyak ditemuai siswa lebih luas wawasan dan kemampuan teknologinya dari guru. Kendala lain, ketimpangan antar daerah di Indonesia dan daerah yang sangat tertinggal maka guru pun tidak lagi terpikir harus kompeten dan profesional. Ada yang mau bantu mengajar, sudah bersyukur.

Bila saya soroti Indonesia pada umumnya, belajar dalam kondisi normal dan konvensional saja, siswa masih mengeluh dan kurang berminat belajar di kelas karena kondisi dan keberadaan gurunya.

Sekolah bagi para siswa akhinya hanya menjadi rutinitas membosankan. Lalu, mendekati kenaikan kelas atau kelulusan baru konsentrasi hanya demi target naik dan lulus atau demi masuk jenjang pendidikan selanjutnya.

Nilai rapor dan ijazah pun tak mencerminkan kemampuan dan kompetensi asli siswa, terlebih masih sangat lekat masalah "ketidakjujuran" dalam proses mendapatkannya.

Atas kondisi ini, sudah sejauh mana Kemendikbud melihat kesiapan para guru untuk kembali mengampu pembelajaran dengan teknik DOV?

Sementara, berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2019  saja, guru yang memiliki kompetensi di atas rata-rata atau lulus UKG dengan nilai minimal 80 tak lebih dari 30 persen.

Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Nurullah Koswara menjelaskan, tak hanya guru, 70 persen dari total kepala sekolah juga belum memiliki kompetensi standar. Menurut dia, rendahnya kompetensi tersebut akibat  dari guru dan kepala sekolah sudah tak tertarik dengan tantangan membangun SDM berkualitas.

Terlepas dari kekurangsiapan dan kelemahan alat ukur UKG faktanya nilai kompetensi guru secara nasional kategorinya belum lulus. Kita harus jujur guru-guru yang kompeten memang banyak. Namun jauh lebih dominan adalah guru-guru yang tak kompeten,” kata Dudung seperti saya kutip dari PikiranRakyat online di Jakarta, Kamis 22 Agustus 2019.  

Untuk kondisi ini, maka menurut saya, UKG sebagai alat untuk mengukur kompetensi guru dan kepala sekolah masih banyak kelemahan. Meski, hasil UKG sejak tes ini diberlakukan, tetap saja guru yang tidak lulus boleh mengajar di kelas. Tahun berikutnya, tes UKG juga tetap seperti itu. Intinya, banyak yang harus kembali di bedah dalam diri UKG itu sendiri.

Karena, di lapangan, ternyata nilai UKG tak berbanding lurus dengan mutu dan kualitas guru. Bahkan banyak guru yang dalam penilaian UKG gagal, justru memiliki kompetensi mengajar yang baik, karena model interaksi kepada siswa yang tidak mungkin dapat diperdebatkan dengan model soal UKG yang jawabannya ditentukan pemerintah, namun di lapangan pilihan jawaban lain, malah kompetensi dan cara interaksi guru lebih berterima di hadapan siswa.

Selain itu, sama halnya dengan persoalan nilai siswa yang tinggi yang selama ini karena bisa saja direkayasa oleh siswa sendiri atau guru dan mengabaikan nilai kejujuran, maka nilai UKG yang rendah dan tinggi pun layak dipertanyakan kejujuran pangkal masalahnya.

Namun, pada intinya, memang harus diakui bahwa tingkat kompetensi dan profesionalisme serta kreativias dan daya inovatif sebagian besar guru-guru di Indonesia masih rendah. Apakah ini salahnya guru? Jawabnya pasti bukan. Lalu, ini salah siapa?

Yang menjadi penting sekarang, jelang tahun ajaran baru 2020/2021 yang sangat mungkin seluruh sekolah akan menggunakan teknik DOV, sejauh mana persiapan Kemendikbud dan stakeholder turunannya serta sekolah-sekolah mampu menggaransi bahwa guru-gurunya benar-benar telah siap dengan KBM DOV?

Karena telah terbukti, lanjutan semester 2 tahun ajaran 2019/2020, dengan KBM terpaksa dilanjutkan dengan teknik DOV, karena adanya corona, menuai banyak masalah, terutama sebabnya dari kompetensi gurunya, selain kendala teknologi, sosial, dan ekonomi.

Kesiapan guru menghadapi KBM dengan Teknik DOV harus dipromosikan dan digaransi oleh sekolah, agar orang tua dan siswa menjadi tertarik dan semangat dalam menyambut tahun ajaran baru di tengah pandemi corona.

Selain itu, promosi tentang Kurikulum dan materi pembelajaran dan kontennya yang tidak sekadar mengejar target kurikulum pun harus disosialisasikan kepada orang tua dan siswa.

Terpenting yang harus diwaspadai, jangan sampai guru melakukan budaya KBM "kencing", sekadar menjalankan kewajiban mengajar secara formalitas, seperti kebiasaan lama dan sebelumnya, dan itu saja yang dilakukan karena ada "berbagai masalah" yang memang menjadi persoalan yang tak tuntas-tuntas.

Sudah saatnya, sekolah mempromosikan keberadaan guru-guru yang menjadi staf pengajarnya di isi oleh para guru berkompeten, profesional, dan berpengalaman. Tentu ini akan menjadi wajah baru pendidikan di Indonesia.

Sebagai analogi, mengapa orang tertarik datang ke suatu tempat/acara/kegiatan dan sebagainya? Tentu yang bikin menarik adalah adanya promosi siapa figur yang tampil di tempat/acara/kegiatan tersebut.

Bila guru menjadi materi promosi sekolah yang menjadi daya tarik bagi orang tua dan siswa, maka profesi menjadi guru yang sangat mulia akan ada di tempat yang benar-benar mulia. Sebab gurunya memang layak dan memenuhi syarat menjadi daya tarik.

Hindari opini masyarakat, bahwa  para siswa malah berhasil belajar dan sukses bukan karena guru di sekolah, tetapi karena ikut program bimbingan belajar (Bimbel).

Kondisi ini pun akan melecut guru untuk senantiasa menuju dan menjaga tingkat kompetensi dan profesionalitasnya, kreatif dan terus berinovatif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler