Penerimaan Murid Baru, Pemerintah DKI Jakarta Tak Taati Aturan Menteri

Rabu, 1 Juli 2020 08:58 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah DKI tidak menaati peraturan penerimaan siswa baru dengan langsung menjadikan usia sebagai prioritas. Demi ketertiban administrasi dan kepastian hukum, pemerintah DKI semestinya mematuhi peraturan menteri. Penetapan kelurahan domisili siswa sebagai basis zonasi tidak jadi masalah. Namun seleksi lanjutan semestinya menggunakan jarak sebagai prioritas dan, bila ada siswa memiliki jarak sama, barulah dilanjutkan menggunakan usia.

*) Naskah diambil dari Tajuk Koran Tempoedisi Senin, 29 Juni, dengan perubahan judul

Terbatasnya kapasitas sekolah menimbulkan masalah saat penerimaan peserta didik baru dari tahun ke tahun. Kapasitas sekolah negeri dari jenjang terbawah ke level berikutnya berbentuk piramida sehingga memerlukan seleksi dalam penyaringannya. Sayangnya, pemerintah belum menerapkan sistem baku yang bisa menjadi pegangan bagi siswa dan orang tua mereka.

Problem daya tampung itu juga dialami sekolah negeri di Jakarta. Jumlah sekolah menengah pertama negeri di Ibu Kota hanya bisa menampung 46,21 persen lulusan sekolah dasar. Perbandingan semakin jomplang pada tingkat berikutnya. Jumlah total kursi sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan hanya bisa menampung 32,93 persen lulusan sekolah menengah pertama. Data ini jelas tidak menggambarkan tanggung jawab negara untuk menyediakan pendidikan dasar dan menengah.

Secara nasional, proses penerimaan siswa baru diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019. Aturan ini mencantumkan empat jalur seleksi: zonasi, afirmasi, perpindahan tugas orang tua/wali, dan prestasi. Kementerian memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan wilayah zonasi. 

Peraturan yang sama kemudian mengatur seleksi lanjutan untuk jalur zonasi dan perpindahan tugas orang tua. Pada sekolah dasar, seleksi dilakukan berdasarkan prioritas: usia dan berikutnya jarak tempat tinggal dengan sekolah. Sebaliknya, untuk jenjang sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, seleksi dilakukan berdasarkan jarak dan barulah kemudian usia. Pemerintah DKI tidak menaati peraturan itu dengan langsung menjadikan usia sebagai prioritas.

Demi ketertiban administrasi dan kepastian hukum, pemerintah DKI semestinya mematuhi peraturan menteri. Penetapan kelurahan domisili siswa sebagai basis zonasi tidak jadi masalah. Namun seleksi lanjutan semestinya menggunakan jarak sebagai prioritas dan, bila ada siswa memiliki jarak sama, barulah dilanjutkan menggunakan usia.

Dalam jangka panjang, pemerintah sepatutnya memastikan jumlah sekolah negeri yang berimbang pada semua tingkat. Sebelum jumlahnya tercukupi, metode kelas pagi dan kelas siang agar daya tampung bertambah dua kali lipat bisa diterapkan. Tentu ada prasyaratnya: rasio guru dan murid memungkinkan untuk itu.

Cara lain, pemerintah perlu memastikan sekolah swasta menerapkan biaya yang terjangkau dengan, antara lain, memberikan biaya operasional sekolah alias BOS. Sekolah swasta berbiaya mahal—misalnya karena berbagai fasilitas tambahan untuk anak-anak dari keluarga mampu—juga perlu didorong memberi tindakan afirmasi kepada kelompok masyarakat bawah. Dengan begitu, semua kelompok masyarakat memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar dan menengah.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indonesiana

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler