x

Iklan

Berry LV

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Juli 2020

Jumat, 10 Juli 2020 11:52 WIB

Terobosan Dunia Usaha Menggenjot Ekonomi di Tengah Pandemi

Jika mengingat krisis global tahun 1998 dan 2008, dapat diambil kesimpulan hanya perusahaan dan negara yang agility dan berani mengambil terobosan yang lolos dari krisis tersebut. Bahkan menjadi pemimpin pasar dan menjadi negara yang dominan saat ini. Proyeksi kementerian keuangan, pasca pandemi akan menciptakan gelembung pengangguran yang bisa mencapai 12 juta jiwa, karena itu dibutuhkan strategi baru dalam dunia kewirausahaan. Model yang pertama kali di praktikkan kampus MIT mungkin layak dilirik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berharap hasil yang berbeda dengan strategi yang sama adalah sebuah kekonyolan paling menyedihkan bahkan fatal dalam bisnis dan ekonomi sebuah bangsa.


Pandemi corona yang awalnya banyak di anggap publik di negara kita adalah peristiwa sepele di awal tahun, kini semakin merengsek mengguncang lini bisnis. Banyak perusahaan saat ini mengambil keputusan “buah simalakama” dengan merumahkan karyawan, PHK, bahkan tidak sedikit yang mengalami kebangkrutan. Sebut saja perusahaan terkenal dengan brand Pizza Hut. Bisnis waralaba makanan ini telah menyatakan pailit alias bangkrut.

Belum lagi, perusahaan lainnya dengan brand internasional seperti Adidas, KFC, Roll Royce dan masih banyak lagi. Perusahaan rintisan juga tidak berbeda jauh. Gojek, Grab, AirBnB , OYO, Traveloka, terpaksa mengurangi karyawan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hasil Survei Trade Union Rights Centre (TURC) juga merilis laporan bahwa 75 persen pekerjaan juga berdampak pada kelas menengah yang rerata pengeluaran Rp 1,2 juta hingga Rp 6 juta. Sedangkan pada kelas aspiring middle class rerata pengeluaran Rp 500 ribu hingga Rp 1,2 juta, terdapat 11 persen pekerja yang berdampak. World Bank di awal tahun 2020 memang sudah memproyeksikan, kelas pekerja menengah dan kelas pekerja informal akan tersapu akibat pandemi karena banyak bekerja pada sektor industri yang juga terkena imbas seperti pada perusahaan-perusahaan textil dan garmen.

Jika kita kilas balik ke masa lalu, mengingat krisis global tahun 1998 dan 2008, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan, hanya perusahaan dan negara yang agility dan berani mengambil langkah terobosanlah yang lolos dari krisis tersebut bahkan menjadi pemimpin pasar dan menjadi negara yang dominan saat ini. Seperti sebuah pepatah negeri Panda, dalam sebuah krisis ada sebuah kesempatan !. Bangsa kita membutuhkan orang-orang yang lihai memamfaatkan krisis menjadi peluang. Dan, tentu saja, di butuhkan terobosan agar mampu berselancar menghadapinya.


Strategi baru dengan terobosan mutakhir

Boleh jadi, para pelaku dunia usaha, akademisi, policy maker  dan publik telah banyak mengenal konsep-konsep atau model pengembangan sebuah bisnis agar mampu menerobos pasar. Sebut saja model Canvas yang menjadi tren beberapa tahun belakangan yang di sebabkan menjamurnya entrepreneur. Begitu pula dengan model Lean Startup yang hits di kalangan perusahaan rintisan. Kita juga mungkin masih ingat, model akronim pengembangan bisnis paling klasik: SWOT.

Tibalah saatnya, anda harus mulai mencari alternatif strategi mutakhir dan ekstensif yang mampu menciptakan kesempatan perusahaan menjadi lebih fokus pada sebuah konsep sistematis dan menerobos pasar dengan cara-cara atraktif, mengingat pandemi yang telah menghancurkan berbagai sektor ekonomi. Tidak cukup menggunakan “senjata” strategi yang sama atau malah usang dalam situasi genting karena akan berakibat fatal.

Pertanyaannya, adakah sebuah strategi dan terobosan yang bisa di adaptasi perusahaan pada saat krisis ini? Jawabannya tentu saja ada, jika kita jeli dan open minded. Kabar baiknya, strategi terobosan tersebut sebenarnya telah cukup lama di praktikkan pada salah satu universitas ternama dunia Massachusetts Institute of Technology ( MIT ).

MIT adalah salah satu kampus prestisius negeri Paman Sam, yang masif mencetak perusahaan besar termasuk dengan model perusahaan startup sehingga menjadi perusahaan berpengaruh di dunia. Bahkan, jika di total dari keseluruhan perusahaan yang lahir dari MIT melalui model budaya dan ekosistemnya, telah menciptakan nilai perusahaan setara dengan GDP negara maju Kanada.Fantastis!

Merujuk data yang pernah di keluarkan Business Insider dari tahun 2006 hingga Juni 2018, melalui data yang di riset oleh PitchBook dari universitas-universitas yang menghasilkan para pendiri startup berpengaruh di dunia , MIT termasuk 10 besar daftar kampus mentereng dan di segani dunia dalam mengenjot lahirnya para entrepreneur.

MIT menciptakan entrepreneur sejumlah 941 orang dan sebanyak 819 perusahaan mendapatkan suntikan pendanaan sebesar 21,24 miliar dollar AS atau lebih dari RP 300 triliun!

Itu artinya, model, budaya dan ekosistem yang di kembangkan dari kampus MIT terbukti , terukur dan teruji menjadi salah satu pilihan strategi jitu dan progresif mendorong engine perusahaan ataupun tipe startup dalam menganalisa pasar, membangun jaringan, mengakselerasi dan meluncurkan perusahaan ekstra produktif sehingga laju kesuksesan perusahaan lebih bergigi serta memiliki value di mata para investor. Ujung-ujungnya perusahaan tinggal landas merajai pasar.

Konklusinya, pasti ada sebuah kunci pola atau sistem yang mampu menjadi daya ungkit kinerja sebuah sebuah perusahaan dengan strategi khusus. MIT menyebutnya Disciplined Entrepreneurship: 24 Steps to a Successful Startup atau 24 Kedisplinan Entrepreneur. Konsep ini mengusung 6 hal utama yaitu (1) strategi menarget pelanggan ; (2), apa yang kita lakukan dalam memenuhi ekspektasi mereka; (3), bagaimana jalur distribusi sampai ke tangan pelanggan ; (4), value produk apa yang mengalirkan uang bagi perusahaan ; (5), meramu dan menciptakan produk perusahaan yang layak tinggal landas,(6) bagaimana “meledakkan” bisnis anda menjadi pemain utama dalam pasar.

Konsep atau petunjuk model inovatif tersebut pertama kali di kenalkan oleh seorang pakar bernama Bill Aulet yang ditunjuk langsung menjadi kepala program MIT di bidang pengembangan entrepreneur. Tokoh sentral program tersebut sebelumnya juga memiliki jam terbang mumpuni puluhan tahun di perusahaan raksasa IBM. Intinya, model sistematis tersebut berfokus pada inovasi dan harus mampu memasarkannya baik itu produk atau jasa teknologi, kekayaan intelektual, atau kumpulan ide-ide brilian menjadi memiliki value di mata konsumen. Kampus bukan lagi hanya dianggap “ gudang riset” tapi minim implementasi.

Pola terstruktur itu lah yang menjadikan MIT sebagai universitas pencetak pengusaha hebat yang bukan lagi sekedar kampus konvensional dan dengan berani mengarahkan kebijakan perguruan tingginya dari high Learning Institute and Research University menjadi Entrepreneurial University. Saat ini lebih dari 31.000 perusahaan telah tercipta oleh para alumni dan memberikan efek domino kepada 5 juta tenaga kerja. Hebatnya lagi, perusahaan tersebut signifikan menyumbang pertumbuhan ekonomi gigantis negara American Dreams.


Sinergi ABCG

Bagaimana pula dengan negara kita ? Indonesia perlu menjadikan sistem terstruktur tersebut dengan menerapkannya pada kampus-kampus yang sudah memiliki inkubator bisnis, sehingga lebih masif lagi menciptakan generasi muda, yang bukan saja berkompetensi namun memiliki karakter entrepreneu mumpuni, sehingga menciptakan jalur alternatif profesi menjanjikan dalam menggenjot ekonomi pasca pandemi yang sudah di proyeksi Kementerian Keuangan akan menggelembungkan pengangguran masif mencapai 12 juta jiwa! Pagebluk Covid-19 tidak boleh lagi di hadapi dengan cara-cara biasa. Peristiwa ini sudah Extraordinary effort atau di butuhkan upaya kolektif luar biasa segenap anak bangsa dalam menanggulangginya.

Kabar baiknya, pemerintah dapat memamfaatkan hasil kerja keras pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan 5 tahun sebelumnya dari infrastruktur transportasi dan pendukung digitalisasi. Sebut saja salah satunya infrastruktur Palapa Ring yang menghubungkan jaringan internet yang menjangkau 440 kota dan kabupaten. Namun, harus di jaga kualitasnya agar efektif mendorong ekonomi digital. Apalagi, pada tahun 2018, telah berhasil mengkoneksikan pengguna internet lebih dari 171 juta jiwa ( APJII). Kiranya, peluang dan kesempatan telah membentang luas, bagi siapa saja yang jeli dan berani mengambil peluang dalam dunia usaha karena jalur distribusi fisik dan jangkauan pasar melalui internet telah merambah hingga kepedesaan.

Belum lagi jika kita kaitkan dengan fenomena bonus demografi. Berkaca dari potensi Indonesia yang memiliki usia produktif muda berjumlah sekitar 100 juta jiwa berusia 17-35 tahun ( Data KPU 2019 ). Kesempatan semakin terbuka lebar, karena generasi tersebut lebih menggandrungi dunia inovasi teknologi dan lebih responsif menangkap potensi ekonomi digital.

Terakhir, di butuhkan sinergi berbagai pihak. Negara kita hanya tinggal membutuhkan lingkaran ekosistem terintegrasi agar tidak kehilangan momentum, yaitu 4 sinergi ABCG dari berbagai pihak dan menghilangkan ego sektoral, terutama Academic ( Pendidikan, Riset, Pelatihan ), Business ( Dunia usaha dan dunia Industri ), Community ( Kolaborasi dan advokasi ) dan tentu saja Goverment ( Pemerintah terkait kebijakan ) agar kompak dan progresif mencetak manusia yang produktif melewati kondisi maha berat perekonomian. Bung Karno pernah mengingatkan : jika rukun kita menjadi kuat !.

Pertanyaannya sekarang, beranikah kita entrepreneur, pelaku industri, akademisi, dan policy maker dan pihak-pihak terkait tidak gengsi mengadaptasi sebuah konsep sistematis yang telah terbukti di negara adidaya? Habibie pernah berpesan ; Hanya anak bangsa sendirilah yang dapat di andalkan untuk membangun Indonesia, tidak mungkin kita mengharapkan dari bangsa lain. Semoga belum terlambat. Amat victoria curam. Kemenangan membutuhkan persiapan.

 

Ikuti tulisan menarik Berry LV lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu