x

Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 23 Juli 2020. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Pool

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 6 Agustus 2020 09:54 WIB

Rakyat Tak Butuh Drama Kemarahan Presiden, Tapi Aksi Nyata

Kemarahan berulang Presiden Joko Widodo soal kinerja para menterinya dalam menangani dampak pandemi Covid-19 mencerminkan adanya masalah besar dalam birokrasi pemerintahan. Kemarahannya yang diumbar ke publik seperti itu juga bisa menjadi bumerang. Masyarakat bisa bingung dan menganggap pemerintah tak mampu mengatasi krisis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*) Naskah ini diambil dari Tajuk Koran Tempo, edisi 6 Agustus dengan perubahan judul

Kemarahan berulang Presiden Joko Widodo soal kinerja para menterinya dalam menangani dampak pandemi Covid-19 mencerminkan adanya masalah besar dalam birokrasi pemerintahan. Kemarahannya yang diumbar ke publik seperti itu juga bisa menjadi bumerang. Masyarakat bisa bingung dan menganggap pemerintah tak mampu mengatasi krisis.

Presiden Jokowi menunjukkan kejengkelannya dalam rapat terbatas, Senin lalu. Dengan suara yang tinggi, dia mengkritik kementerian dan lembaga yang tak punya “aura” krisis. Kata Jokowi, kementerian ataupun lembaga itu disebut tidak memahami prioritas kerja dan terjebak dalam tugas harian. Buktinya, dari Rp 695 triliun stimulus untuk penanganan Covid-19, baru 20 persen yang terealisasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemarahan seperti itu bukan yang pertama kali muncul ke publik. Kegeraman serupa ditunjukkan Presiden dalam rapat kabinet pada 18 Juni lalu, yang videonya baru dirilis 10 hari kemudian.

Bagi yang memahami manajemen, kemarahan berulang Presiden itu sulit dimengerti. Tampak seperti kemarahan yang kosong. Publik akan bertanya-tanya, mengapa, sebagai pemimpin, Presiden tak bisa menggerakkan anak buahnya?
 
Saat ini kondisi Indonesia sangat memprihatinkan. Pandemi Covid-19 telah menyeret ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 menciut minus 5,32 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu. Ini data dari Badan Pusat Statistik. Di tengah kirisis seperti ini diperlukan langkah terobosan. Karena itu, masyarakat bingung mengapa Presiden tak bisa menggerakkan anak buahnya dan hanya mengumbar kemarahan.

Yang dibutuhkan saat ini bukanlah tontonan "drama" agar masyarakat maklum atas keadaan sekarang. Yang lebih dibutuhkan adalah aksi nyata. Presiden punya pembantu, yakni menteri koordinator. Mengapa peran mereka seperti pajangan belaka?

Teguran terhadap menteri ataupun menteri koordinator seharusnya tak perlu diumbar. Toh, saat ditayangkan, faktanya juga tak membuat para menteri itu gegas bergerak. Membuka kemarahannya ke publik seperti itu justru bisa berefek negatif. Omelan dan kemarahan seorang presiden kepada para menterinya hanya menunjukkan ketidakmampuannya, atau pemerintahannya, dalam mengatasi masalah.

Presiden Jokowi seharusnya bisa menunjukkan kualitas kepemimpinannya. Ia pasti tahu, birokrasi hanya bisa bergerak optimal bila diarahkan oleh pemimpin yang tegas, solid, berorientasi hasil, dan tidak tersandera kepentingan politik. Dengan memamerkan kemarahannya, Presiden bisa dipandang sedang playing victim alias mencari simpati publik dengan mengesankan dirinya sebagai "korban" karena tidak didukung pembantu yang mumpuni.

Hal itu tentu saja bukan langkah bijak untuk ditempuh. Masyarakat tidak bodoh. Bila Presiden menganggap para pembantunya tidak bisa bekerja, tinggal ganti saja mereka. Tindakannya mempertahankan menteri berkinerja buruk di tengah kirisis akan merugikan masyarakat dan Jokowi sendiri. (*)

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler