x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 17 Agustus 2020 14:26 WIB

75 Tahun Berjuang Merdeka dari Korupsi

Hari ini, 17 Agutus 2020, Republik ini genap berusia 75 tahun terhitung sejak Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini dari kolonialisme. Namun, kita belum merdeka seutuhnya. Kita belum merdeka dari kemiskinan. Kita juga belum merdeka dari korupsi. Memerdekakan diri dari cengkeraman korupsi adalah tantangan yang tak kunjung mampu kita taklukkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Suatu ketika, pada tahun 1960, perwira polisi Hoegeng ditunjuk menjadi Kepala Jawatan Imigrasi. Sehari menjelang pelantikan, Hoegeng meminta isterinya, Merry Roselina, agar menutup toko bunganya. Padahal, dari toko yang menjual bunga itu, Hoegeng dan isteri memperoleh penghasilan tambahan untuk hidup. Isteri Hoegeng semula bertanya-tanya apa hubungan antara jadi pejabat imigrasi dan toko bunga. Kata Hoegeng, ia tidak mau orang-orang yang berurusan dengan imigrasi membeli bunga di toko mereka lantaran tahu ia pejabat; jangan sampai toko lain sepi pembeli. Itulah ‘jurus pencegahan’ terjadinya suap secara tidak langsung ala Hoegeng.

Walaupun sikapnya mengejutkan untuk ukuran waktu itu, apa lagi dibandingkan waktu sekarang, toh Hoegeng mengagumi orang yang ia anggap lebih jujur dan zuhud, yaitu Bung Hatta. Hoegeng pernah mengungkapkan kegetirannya mengetahui bahwa setelah mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, Bung Hatta hanya memiliki tabungan Rp 200 saja—gaji prajurit TNI dengan pangkat terendah waktu itu sekitar Rp 125 per bulan.

Gaji bulanan Bung Hatta yang secara periodik dipotong oleh bendahara negara karena Bung Hatta punya pinjaman. Sebagai wapres, ia tidak mau memperoleh keistimewaan agar dibebaskan dari kewajiban membayar pinjaman kepada negara.

Begitu pula setelah mundur dari jabatan wapres, Bung Hatta ditawari banyak orang untuk menjadi komisaris perusahaan, tapi ia menolak. Sebagai orang yang kenyang pengalaman dalam berurusan dengan berbagai jenis orang, bahkan sejak masa pergerakan, Bung Hatta niscaya tahu persis apa yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan itu: pengaruh dan perlindungan, bukan kompetensinya sebagai ekonom.

Hilanglah peluang Bung Hatta untuk memperoleh gaji besar serta fasilitas mewah. Ia kembali kepada habitat lamanya: menulis di berbagai media—kegiatan yang semasa pergerakan aktif ia lakukan. Penghasilan yang ia peroleh dari menulis ditambah uang pensiun digunakan Bung Hatta untuk menghidupi keluarga, membayar tagihan listrik, air, dan membeli buku. Hingga tersiar kabar bahwa Bung Hatta tak sanggup membayar listrik, air, dan Pajak Bumi dan Bangunan.

Di Republik yang tengah memasuki usia 75 tahun ini, rasanya semakin sukar menemukan pribadi pejabat-pemimpin dengan visi dan sikap seperti Bung Hatta dan Hoegeng. Bung Hatta dan Pak Hoegeng memberi teladan bahwa mencegah suap, gratifikasi, hingga korupsi sesungguhnya bisa dimulai dari diri sendiri dan tidak perlu dilakukan oleh orang lain secara paksa atau oleh lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Bung Hatta dan Pak Hoegeng telah memberi teladan bahwa kita tak akan pernah berhasil memerdekakan diri dari korupsi kecuali memulainya dari diri sendiri.

Kedua figur ini menyadari benar bahwa korupsi itu berawal bukan berawal dari kesempatan, melainkan dari niat dan pikiran. Andaikan keduanya masih bisa memberi nasihat bagaimana mencegah diri sendiri agar tidak korupsi dan tidak mau menerima suap dan gratifikasi, mungkin keduanya akan berkata: “Bersikaplah jujur sejak dalam hati dan pikiran.” Mampu bersikap jujur, inilah tantangan besar bagi kita di hari ini.

Hari ini, 17 Agutus 2020, Republik ini genap berusia 75 tahun terhitung sejak Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini dari kolonialisme. Namun, sesungguhnyalah, kita belum merdeka seutuhnya. Kita belum merdeka dari kemiskinan. Kita juga belum merdeka dari korupsi. Memerdekakan diri dari cengkeraman korupsi adalah tantangan yang tak kunjung mampu kita taklukkan.

Sungguh ironis bila korupsi dianggap dapat dilenyapkan dengan cara-cara biasa. Korupsi merupakan rintangan terbesar bagi pembangunan manusia maupun pembangunan demokrasi, hukum, ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan, maupun kemandirian. Bukan upah buruh yang menghambat masuknya investasi dan membuat investor enggan menanam kapitalnya di sini, tetapi suap dan korupsi yang menjadikan biaya-biaya invesasi menjadi jauh lebih mahal.

Adalah kekeliruan besar bila kita menganggap korupsi sebagai persoalan kecil yang dapat diselesaikan dengan pendekatan persuasif demi memperbaiki citra bahwa indeks korupsi turun. Kepemimpinan yang lemah dan kompromistis terhadap praktik-praktik suap, gratifikasi, maupun korupsi semakin mempersulit upaya memerdekakan diri dari korupsi. Sikap permisif terhadap praktik-praktik ini akan semakin mengakar di masyarakat.

Kita boleh merayakan 75 tahun kemerdekaan dari kolonialisme lama, tapi penting untuk kita senantiasa ingat bahwa hingga hari ini kita belum merdeka dari korupsi! >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu