x

Iklan

suhada ada

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Agustus 2020

Sabtu, 29 Agustus 2020 09:34 WIB

Kebakaran, Terlalu Naif Untuk Bersikap Lurus


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Musibah secara objektif dalam nilai kepasrahan adalah sebuah kententuan, ketetapan atau takdir. “Mungkin itu sudah seharusnya terjadi,” begitu kira-kira yang sering saya dengar dari orang-orang yang lahir sebelum saya, seakan harus menerima tanpa ada berdebatan. Wes, sing ikhlas, maka segala pertanyaan seketika terhenti dan hidup kembali normal. Namun, mohon diingan kehadiran kata “mungkin” sebenarnya memberikan peluang yang sama bagi setiap orang untuk melihat sebuah musibah dari macam sudut pandang.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Belakangan, kepasrahan itu jadi palagan narasi yang membendung pikiran kritis, keluasan dan keluwesan berpikir manusia. Seakan menyerahkan seluruhnya kepada kekuatan Tuhan, alias “kun fa ya kun”, atau dalam kejadian kebakaran di Kejaksaan Agung (Kejagung) Sabtu (22/8) dianggap karena sudah seharusnya terbakar, maka terbakarlah, dengan segala prediksi teknis, korsleting listrik atau percikan api yang membuat Kejaksaan Agung Burhanuddin harus mencari ruangan baru untuk bekerja.

Kalau itu rumah saya yang terbakar, bisa saja saya pasrah dengan jalan keluar kembali bekerja keras mendapatkan uang agar rumah bisa kembali berdiri. Namun, saya tidak kemudian harus atau sanggup membatasi pikiran orang lain yang melihat rumah saya terbakar. Satu, ada yang berpikir musibah, kedua bisa jadi berpikir dibakar karena saya banyak musuhnya atau ketiga seperti rumah saya dibakar yang dibuat seolah kebakaran. Poin satu tidak salah, benar itu musibah dan mereka tak ambil pusing untuk tahu detail lebih dalam. Poin selanjutnya adalah bagi mereka yang tertarik lebih dalam kenapa rumah saya terbakar.

 

Kebakaran di Kejaksaan Agung, negara punya otoritas untuk melakukan pengotakan atau klaster informasi, mitigasi isu dan lainnya. Negara punya kapasitas dan akses untuk itu. Apakah informasi pihak berwenang bisa dipercaya? Bisa iya, bisa tidak. Dalam teori post-truth saat ini, kebenaran adalah satu hal, dan narasi yang berkemban menjadi pergunjingan adalah hal yang lain.

 

Dengan keterbatasan informasi yang ada, individu, publik, rakyat atau masyarakat adalah entitas bebas dengan pemikiran tak terbatas. Hal ini kontradiktif dengan posisi negara yang mampu mengakses dan melakukan desiminasi atas informasi. Jangan salahkan rakyat jika menganggap yang terkait berita besar di negara ini penuh konspirasi, selama adanya ruang berdebat negara seharusnya berterima kasih atas pemikiran-pemikiran yang muncul dari akar rumput, termasuk soal kebakaran di Kejaksaan Agung, itu jadi ciri demokrasi, bukan sedikit-sedikit (lapor) polisi. Tinggal bagaimana negara bersikap, jika muncul narasi di masyarakat, maka lawan lewat narasi, bukan ancaman bui. Kuda Troya publik, saat ini relatif hanya media sosial, jangan kemudian negara atau pihak-pihak lain menghancurkan satu-satunya alat pencurah pikiran rakyat.

Dokumen rahasia di Amerika Serikat baru bisa diakses publik setelah 25 tahun kejadian itu, dengan alasan sudah hilangnya satu generasi yang sakit hati jika informasi itu dibuka ke publik, yang kemudian disadur menjadi budaya populer lewat buku, film atau lainnya. Dalam kasus Kebakaran Kejaksaan Agung pasti tidak semua informasi dibuka kepada publik dengan banyak alasan khususnya keamanan dan stabilitas negara, tapi jangan jadi membatasi pemikiran publik. Kejaksaan Agung kini menjadi ‘pahlawan super’ baru bagi rakyat, harapan dengan segala macam drama di dalamnya, menyalip kepopuleran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang redup dua tahun belakangan.

 

Teori peran menjadi satu dari banyak pisau dalam mengiris masalah untuk melihat lebih dalam. Pakar sosilogi Paul B.horton dan Chester L.Hunt menganggap, jika teori peran memungkinkan setiap individu tidak memandang sebuah peran dengan cara yang sama seperti orang lain. Ada rasionalisasi atas situasi, pengkotakan, ajudiksi dan kedirian (pembatasan diri/self) pada publik melihat dalam melihat sebuah kejadian, dalam hal ini Kebakaran Jaksa Agung.

 

Dan menjadi naif rasanya bagi saya, jika mengikuti narasi, kebakaran malam Minggu di Kejaksaan Agung hanya berupa masalah teknis kebakaran belaka. Seperti yang dikemukakan oleh mantan Jaksa Agung Antasari Azhar, yang meminta masyarakat agar tidak melebarkan isu yang macam-macam terkait kebakaran dengan kasus besar yang tengah diselesaikan Kejaksaan Agung. Pernyataan Antasari tidak salah, namun menjadi salah saat hal itu diungkapkan untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan yang ada.

 

Sebut kasus Cessie Bank Bali yang layaknya drama Korea paling populer saat ini, melibatkan terdakwa Djoko Tjandra sebagai pemeran utama yang merugikan negara Rp940 miliar,, dibantu Jaksa Pinangki dan melibatkan bintang-bintang di Kepolisian republik ini dan sudah dicopot jabatannya. Skenario kabur keluar masuk Indonesia tanpa pemeriksaan imigrasi, sudah pasti bukan orang biasa yang melakukannya, dugaan operasi plastik. Publik punya jejaring tersendiri bagi mereka yang ingin mencari informasi lebih dalam.

 

Menjadi kasus terbesar yang saat ini yang di pegang markas Adhyaksa adalah gagal bayar PT Jiwasraya, yang membuat perusahaan asuransi tertua ini mencatatkan kerugian delapan kali lipat skandal Bank Century. Perusahaan pelat merah ini mencatatkan sejarah kerugian perusahaan asuransi dengan nilai mencapai Rp52 triliun. Mencatatkan 5,5 juta nasabah terdaftar, dengan 13 perusahaan manajemen investasi telah menjadi tersangka dan enam orang tengah menjadi terdakwa.

 

Setali tiga uang dengan kasus Djoko Tjandra, gagal bayar Jiwasraya berpusar pada Benny Tjokro, taipan kakap pasar modal dan properti yang malang melintang berkarier mocer seperti seorang Jordan Belfort yang diperankan Leonardo Di Caprio dalam film biografi kriminal Wolf of Wallstreet. Dalam film itu, kriminal kerah putih nyaris mustahil dilakukan oleh hanya satu orang saja dan pasti melibatkan banyak pihak, pun dengan Benny yang kini didakwa bersama lima orang lainnya.

 

Benny selaku Direktur Utama PT Hanson International Tbk, bersama Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto dalam fakta persidangan terlibat langsung dengan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) periode 2008 - 2018 Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2008 - 2018 Hary Prasetyo dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan, sehingga mustahil jika kejahatan yang didakwakan kepada Benny tidak melibatkan orang dalam Jiwasraya, bahkan tidak menutup kemungkinan pejabat-pejabat lembaga keuangan terlibat, mengingat banyaknya saksi yang berstatus petinggi perusahaan atau lembaga dipanggil secara marathon ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

 

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD, seakan terlalu dini mengatakan berkas-berkas perkara aman, meskipun itu harapan saya berkas benar-benar aman dan tidak ikut terbakar. Namun, melihat masif nya api membakar gedung, sulit juga untuk percaya 100 persen atas pernyataan Mahfud, namun setidaknya itu pernyataan yang bisa publik tagih dikemudian hari jika kasus-kasus di Kejaksaan Agung mangkrak. Mahfud pun mencurigai kebakaran itu bukan hanya kebakaran biasa, namun sebagai pejabat negara terlebih dengan posisi yang sangat penting sebagai Menko, ia tak bisa serta merta membeberkan semuanya. Pihak Kejaksaan Agung saya pikir punya mekanisme tersendiri menanggapi kebararan gedung utama mereka. Enggan menyebutnya sabotase, selama belum mempunya bukti yang valid.

 

Di luar lingkar lembaga negara, biarlah ini menjadi diskursus publik. Publik dihadapkan untuk berpikir kritis, berdiskusi dan punya bahan obrolan kedai kopi. Selama bersifat narasi, prediksi dan kemugkinan biarlah rakyat menebak-nebak. Itulah yang terjadi saat akses informasi terbatas sedangkan pikiran manusia tak terbatas. Penanganan dan proses hukum lah yang akan membuat tebakan publik berhenti, saat hakim mengetuk palu, saat polisi mampu membongkar penyebab kebakaran. Namun apakah akan muncul narasi lain setelah semua proses ini sampai di ujung jalan? Pasti, karena drama kasus hukum lebih seru ketimbang putusan hukum itu sendiri.

 

Saya jadi teringat sebuah film, The American yang diangkat dari kisah nyata saat Perang Dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet, soal keluarga yang menjadi intelijen dan saling menyusup ke dua negara tersebut. Sampai akhirnya mereka tak sengaja bertemu.

 

“Kalian harus ingat, pekerjaan ini adalah soal membuat semuanya menjadi samar, abu-abu, tidak pasti.” dan pengaburan fakta juga sejarah hanya bisa dilakukan oleh negara, membuat rakyat merasa tahu banyak padahal tidak, negara yang memiliki hak membuka atau menutup, memberi atau meraup.

 

Apapun akhir sinetron kasus-kasus besar ini nantinya, Kejaksaan Agung pasti direpotkan dengan banyak kasus lain. Lewat peran vital lembaga pimpinan Burhanuddin ini, sangat sulit berpikir lurus-lurus saja juga polos soal kebakaran Sabtu malam itu, sulit untuk tidak berpikir ini merupakan bentuk perlawanan para koruptor atas negara. Saat meja hijau terlalu bertele-tele, koruptor melakukan serangan layaknya preman.

 

Negara sebagai institusi tidak boleh kalah melawan penjahat.

 

Ikuti tulisan menarik suhada ada lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu