x

Iklan

Era Sofiyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 30 Agustus 2020 21:28 WIB

Layar Terkembang, Merdeka Belajar Membentang di Depan


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Merdeka Belajar dan Guru Penggerak yang digaungkan menteri Nadiem Makarim beberapa waktu lalu sejatinya bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia pembelajaran. Adalah Carl Rogers, seorang psikologi berkwarganegaraan Amerika, mempublikasikan sebuah buku berjudul Freedom to Learn. Pada pengantar buku tersebut, diuraikan, “Sekolah kita umumnya sangat tradisional, konservatif, birokratis dan resisten terhadap perubahan. Satu cara yang harus dilakukan untuk menyelamatkan generasi muda ini adalah melalui kemerdekaan belajar.”

Demikian pula founding fathers pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara dalam (buku Peringatan Taman-Siswa 30 Tahun, 1922-1952) menyatakan “Dalam pendidikan harus senantiasa diingat bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur diri sendiri.”

Berangkat dari pemahaman diatas, maka dapat dipastikan, input pendidikan berkualitas akan tercermin dari masyarakat merdeka, bermartabat, maju, damai dan mengarah pada sifat-sifat yang konstruktif. Masyarakat merdeka yang kaya akan kreatifitas dalam pengaktualisasian ilmunya sendiri dan memaksa supaya tidak melulu berpikir monoton.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Merdeka belajar, juga bisa dimaknai bahwa semua anak bisa belajar. Anak dengan disabilitas, anak dengan kebiasaan yang berbeda, dengan minat berbeda, dengan status ekonomi berbeda dan riwayat pendidikan berbeda. Mereka bisa belajar dengan cara beragam untuk memastikan bakat, minat, intelegensi serta karakter anak didik.

Namun faktanya tidaklah sesederhana itu. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak guru selama ini berakar pada standar global, sehingga kecenderungan lebih terstigma oleh pengejaran angka-angka semata, pencapaian target materi kurikulum dan lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang lebih didominasi oleh guru.

Dalam penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah yang dalam pelaksanaannya peserta didik hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikan guru dan sedikit peluang bagi mereka untuk bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi kaku, suasana tidak kondusif sehingga peserta didik akhirnya hanya jadi pengekor.

Jika secara psikologis peserta didik kurang tertarik dengan metode yang digunakan guru, maka dengan sendirinya mereka akan memberikan umpan balik psikologis yang kurang mendukung dalam proses pembelajaran. Indikasinya adalah timbul rasa tidak simpati terhadap guru, tidak tertarik dengan materi-materi pembelajaran, dan lama-kelamaan timbul sikap acuh tak acuh terhadap mata pelajaran.

Visi Merdeka Belajar yang digaungkan menteri Nadiem tentunya memberikan angin segar kepada peserta didik untuk sepenuhnya mengembangkan kemampuan sesuai dengan talentanya anak didik, dan pada akhirnya akan berimplikasi positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik secara alamiah (nature).

Secara keseluruhan, merdeka belajar besaran menteri Nadiem terdiri atas empat isu penting, yakni penggantian format ujian nasional (UN), pengembalian kewenangan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) ke sekolah, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang hanya satu lembar, dan naiknya kuota jalur prestasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) dari sebelumnya 15% menjadi 30%.

Dalam ranah ini, pendidikan berbasis budaya (culture based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap peserta didik untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup.

Konsep pendidikan berbasis budaya dilaksanakan dan diselenggarakan dalam rangka memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasar nilai-nilai luhur budaya. Tujuannya, agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi diri sehingga menjadi manusia yang unggul, cerdas, visioner, peka terhadap lingkungan dan keberagaman budaya. Selain itu juga tanggap terhadap perkembangan dunia. Sehingga bisa dikatakan, kebudayaan adalah unsur fundamental dalam pengembangan pendidikan secara utuh.

Hal ini juga dipertegas teori konstruksi sosial yang menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) dan intrapersonal (internalisasi yang terjadi pada diri sendiri).

Dalam pembelajaran berbasis budaya, guru berfokus untuk: 1) Dapat menjadi pemandu siswa, negosiator makna yang andal, dan pembimbing siswa dalam eksplorasi, analisis, dan pengambilan keputusan. 2) Menahan diri agar tidak menjadi otoriter atau menjadi satu-satunya sumber informasi bagi siswa. 3) Dapat merancang proses pembelajaran yang aktif, kreatif dan menarik sehingga guru tidak hanya berceramah dan siswa hanya mendengarkan. 4) Merancang strategi secara kreatif agar dapat mengetahui kemampuan dan keterampilan yang dicapai persiswa dalam proses belajar. 5) Merancang strategi yang memungkinkan siswa agar terbiasa berpikir ilmiah dalam mengutarakan ide atau gagasan, menjelaskan rasional, berargumentasi dan menghasilkan karya tulis ilmiah.

Disinilah penting hadirnya guru penggerak, yakni untuk dapat mencetak sebanyak mungkin agen-agen transformasi dalam ekosistem pendidikan. Tujuannya, agar mampu menghasilkan murid-murid berkompetensi global dan berkarakter Pancasila. Selain itu, mampu mendorong transformasi pendidikan Indonesia, mendorong peningkatan prestasi akademik murid, mengajar dengan kreatif, dan mengembangkan diri secara aktif.

Program Guru Penggerak merupakan bentuk kolaborasi dari seluruh pihak dengan fokus pada murid. Sehingga Guru Penggerak bisa berperan lebih dari peran guru saat ini. Guru Penggerak harus bisa menginspirasi untuk terus belajar dan menggali potensi serta menjadi teladan bagi siswa.

Layar sudah terkembang. Apapun perubahan kecil itu, jika setiap guru melakukannya secara serentak, kapal besar bernama Indonesia ini pasti akan bergerak. 

Demikian, pemerintah melalui kementerian pendidikan telah mengambil langkah penting yang nyata-nyata dapat memfasilitasi keberlanjutan belajar bagi peserta didik dimasa depan, antara lain dengan menyederhanakan kurikulum, fokus kepada pembangunan karakter serta peningkatan keterampilan siswa.

Implikasinya, menjadikan pendidikan sebagai sarana membangun peradaban bangsa, tak bisa tegak tanpa usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi dan peran kearifan sistem nilai budaya di dalamnya. Partisipasi dalam konteks ini berupa kerjasama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikan.

Sebagai sebuah kerja sama, maka masyarakat dengan budayanya diasumsikan mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan yang berpondasi dari akar sistem nilai budayanya sendiri.

Harapan bersama, dermaga bernama pendidikan tersebut nantinya tidak hanya mampu melahirkan generasi emas di hadapan, namun juga terbangun suasana yang membahagiakan. Bahagia buat guru, bahagia buat peserta didik, bahagia buat orang tua, dan bahagia untuk semua orang.

 

 

Ikuti tulisan menarik Era Sofiyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler