x

Ilustrasi aktivitas pertambangan

Iklan

Era Sofiyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 25 Mei 2023 08:24 WIB

Jejak Hitam Kapitalisme Karst Kendeng

Kesadaran kritis masyarakat Samin menghapus jejak hitam kapitalisme Karst Kendeng sudah semestinya dibangkitkan untuk menghargai apa yang saat ini mereka miliki, karena itu adalah alas dan kapital organik setempat yang harus digunakan untuk mewujudkan jejaring produksi dan konsumsi yang berdaya-pulih. Ketika masyarakat tidak dapat lagi berharap bahwa negara akan menjamin keselamatan mereka, masyarakat sendiri yang mampu menentukan apakah mereka akan selamat atau harus menyingkir dari ruang hidup mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pegunungan Kendeng, merupakan sebuah Karst dengan beberapa gua dan siklus air di bawah tanah, berfungsi melayani ribuan manusia, hewan dan tumbuhan dengan air, makanan dan udara bersih. Hutannya yang tumbuh di daerah terhuni mempunyai arti penting bagi ekologi dan iklim.

Tak heran, mereka yang tergabung dalam JM-PPK terutama warga Sukolilo, Kayen, dan Tambakromo di kabupaten Pati, Jawa Tengah gigih menunjukkan penolakan terhadap penambangan batu gamping sebagai bahan baku semen. Apalagi, jika melihat krisis ekologi hari ini yang semakin mengkhawatirkan. Melindungi kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara dan mempertahankannya sebagai wilayah konservasi  air sama saja artinya mempertahankan hidup mati masyarakat Samin sebagai sebuah kelompok sosial budaya. Sementara, mempertahankan ekosistem Karst dari kehancuran yang disebabkan oleh eksploitasi alam untuk kebutuhan pabrik semen adalah upaya mempertahankan “kepunahan” dari akumulasi kapital yang bersandar pada nilai “cheap Nature” 

Tak tanggung-tanggung, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan (JM-PPK) berkirim surat kepada Kantor Staff Presiden (KSP) untuk merespon beberapa kali kejadian bencana banjir yang melanda Pati, setidaknya dalam 3 bulan terakhir (November 2022 s/d Januari 2023). Dikatakan dalam surat tersebur, banjir yang terjadi sampai dengan saat ini memberikan duka mendalam bagi masyarakat terdampak, khususnya petani. Selain berdampak terhadap rumah dan hewan, terganggunya pelayanan publik, tidak berfungsinya sarana dan prasarana publik, terganggunya aktifitas pendidikan, serta terputusnya jalur-jalur distribusi dan pasar. Ancaman paling parah tentu saja gagal panen akibat lahan yang terendam banjir. Akibatnya krisis pangan dan kesengsaraan terlihat jelas di depan mata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lebih jauh, berdasarkan data sementara BPBD Kabupaten Pati 2023, terdapat 4.559 rumah terdampak banjir.  Dampak kerugian Pertanian Sawah seluas 3.807 Hektar di 7 Kecamatan. Sementara kalau dihitung berdasarkan nilai produktifitas data BPS November 2022, menunjukkan harga Gabah (GKP) rata-rata di petani Rp 5.397 per Kg, dimana setiap hektar lahan pertanian sawah produktif dapat menghasilkan 3 – 6 ton/hektar. Dengan asumsi rata-rata per hektar 4 ton atau 4.000 kg maka total kerugian yang ditimbulkan pada sektor pertanian Rp 123.278.274.00 atau 123,2 Milyar Rupiah.

JM-PPK dalam isi suratnya juga menyampaikan bahwa kejadian bencana banjir di akhir 2022 lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Bukan tanpa sebab. Sejak tahun 2010, pertambangan di wilayah Pegunungan Kendeng terjadi secara masif dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Penyebabnya adalah karst sebagai sebuah ekosistem ditambang secara masif sehingga menjadi tidak maksimal resapannya dan berdampak terhadap banjir yang semakin tinggi. Tambang-tambang yang hadir di Pati bukan hanya dilakukan oleh korporasi besar tapi juga kecil, baik yang berizin maupun tidak. Selain itu, alih fungsi lahan juga terjadi secara besar-besaran sehingga berpengaruh terhadap daerah resapan.

Hal tersebut, semakin diperparah dengan adanya Perda RTRW Pati yang disahkan pada April 2021. Penetapan semua kecamatan sebagai kawasan tambang adalah yang paling parah termasuk pemerintah yang tidak lagi mempercayai hasil-hasil kajian ilmiah. Sebagai contohnya, Tambakromo yang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri. Padahal dalam dokumen KLHS Pati, Tambakromo menjadi kawasan dengan kerawanan bencana yang tinggi.

 

Oleh – Oleh Negara Ex-Kolonial

Salah satu alasan negera kolonial meluaskan sayap ke east indie adalah untuk mendapatkan sumber daya alam mentah agar dapat di proses kembali di negaranya. Hal ini menjadi dasar munculnya colonial mode of production dimana negara dengan sumber daya alam yang melimpah namun kurang dalam hal teknologi, serta keterbatasan kekuatan politik dan ekonomi, hanya dapat menjual bahan baku mentah kepada negara – negara besar.

Indonesia merupakan wilayah bekas jajahan pemerintahan kolonial. Oleh karena itu, dari sisi perkembangan beragam aspek, serta sebagai negara yang baru saja merdeka, Indonesia cenderung tertinggal dari berbagai negara di belahan dunia lainya misalnya, negara – negara di Eropa. Disamping itu, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah.

Hal diatas turut mendorong lahirnya industri ekstraktif sebagai modal pembangunan dimana pertambangan sebagai kasus utamanya. Ekstraktivisme lahir dari sebuah model ekonomi berdasarkan pada eksploitasi  yang disebut “sumber daya alam” dan rakyat. Sementara pertumbuhan hanya akan muncul di sisi elit – elit yang menguasai sumber daya tertentu dan tidak menguntungkan sekitarnya lagi. 

Namun, seiring perkembangan, era abad 20 menampilkan bentuk baru dari konsep ekstraktivisme, yaitu meningkatnya harga komoditas atas tingginya permintaan pasar dunia yang menyebabkan suatu negara menyusun ulang kebijakan sektor pertambangan, sehingga menjadikannya sebagai sektor utama bagi perekonomian dan pembangunannya, yang mana menimbulkan berbagai persoalan pada skala sosial, ekonomi, dan politik. Dan pada saat bersamaan memunculkan perebutan dan perampasan lahan masyarakat lokal, permasalahan teritorial, krisis lingkungan, dan pelapukan kelembagaan (the rotten institution)

Kembali lagi. Krisis ekologi yang kita saksikan hari ini dapat dilihat sebagai produk dari sistem nilai yang digunakan dalam logika kapitalisme ekstraktif. Sistem nilai ini didasarkan atas konstruksi alam yang terpisah dari relasi sosial dan budaya masyarakat. Hal ini menempatkan alam sebagai “cheap Nature” yang menjadi sekedar objek dari akumulasi kapital demi menghasilkan profit serta keuntungan segelintir pihak. Pada akhirnya, sistem nilai “cheap Nature” yang mendasari kebijakan pertumbuhan ekonomi hanya akan menghasilkan krisis ekologi yang kian serius dan masalah perubahan iklim.

Seturut dengan faktor kesejarahan yang melingkupinya, kapitalisme Indonesia memiliki akar kolonial.  Terlihat dalam “riders pasal titipan” maupun praktik ijon politik, secara sistematis menjadi bukti bahwa kapitalisme memiliki relasi intim dengan negara, khususnya para politisi dan pejabatnya yang sedang berkuasa. Mereka akan saling bertukar kepentingan, seperti keluarnya Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan sejenisnya. Sedangkan para kapitalis bergerilya menyokong kerja politisi dan pejabat dengan mendanai kampanye politik dan proyek pemenangan suara lainnya.

Di sisi lain, dukungan terhadap industri pertambangan, seringkali ditopang oleh narasi penciptaan lapangan pekerjaan, pembangunan maju, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan. Tak ayal banyak kebijakan pertambangan di Indonesia yang mendasarkan alasannya dengan menempatkan aktivitas korporasi sebagai jawaban atas kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat lokal. Masyarakat lokal dianggap kurang mampu mengembangkan sendiri kehidupan ekonominya.

Narasi tersebut dipertegas dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2020 sebagaimana perubahan dari Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba yang menyebutkan bahwa tujuan pertambangan adalah untuk meningkatkan pendapat masyarakat lokal, daerah dan negara serta menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat.

Terjemahan konkret dari kebijakan negara untuk masyarakat dari pertambangan dapat dilihat dalam istilah Dana Bagi Hasil (DBH) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase sesuai peraturan perundang-undangan. Seperti pelaksanaan desentralisasi, dalam aspek perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Sementara kontribusi sosial ditandai oleh adanya pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Tentu di samping itu juga dengan mewajibkan pemegang IUP dan IUPK agar menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) serta mewajibkan pihak penambang untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial dengan melakukan kegiatan reklamasi dan kegiatan pasca tambang.

 

Menghapus Jejak Hitam Kapitalisme Karst Kendeng 

Seperti kita saksikan, di banyak tempat muncul perlawanan masyarakat yang terbuka mempertahankan tanahnya dari penguasaan korporasi maupun pemerintah. Meskipun tidak selalu ditandai dengan protes terbuka, namun bukan berarti tidak ada perlawanan masyarakat sama sekali. Pertanyaannya, sejauh mana perlawanan ini berpeluang untuk melawan logika kapitalisme “dari bawah”? 

Di mulai dari Ajaran Samin (disebut juga Pergerakan Samin atau Saminisme) adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep. Kata sedulur adalah saudara dan sikep merupakan senjata. Sedulur sikep bermakna ajaran Samin yang mengedepankan perlawanan tanpa senjata atau tidak menggunakan kekerasan. Karena pada mulanya ajaran Samin merupakan bentuk perlawanan penduduk bumi putera terhadap kolonialisme Belanda. Bukan dengan cara fisik, tetapi melalui tindakan pembangkangan terhadap segala macam peraturan pemerintah kolonial Belanda. Salah satunya, menolak membayar pajak, karena mereka beranggapan bahwa bumi yang dipijak dan digunakan adalah milik Tuhan dan warisan nenek moyang. 

Demikian ajaran Samin mengurat, mengakar, mengikat masyarakat Kendeng. Tak berlebihan jika Gerakan perlawanan Samin Sedulur Sikep yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) menjadi contoh bagaimana Mempertahankan ekosistem Karst dari kehancuran yang disebabkan oleh eksploitasi alam sebagai upaya mempertahankan “kepunahan” dari akumulasi kapital yang bersandar pada nilai “cheap Nature.”

Alih-alih dibungkam dengan dalih apapun. Kesadaran kritis masyarakat Samin menghapus jejak hitam kapitalisme Karst Kendeng sudah semestinya dibangkitkan untuk menghargai apa yang saat ini mereka miliki, karena itu adalah alas dan kapital organik setempat yang harus digunakan untuk mewujudkan jejaring produksi dan konsumsi yang berdaya-pulih. Ketika masyarakat tidak dapat lagi berharap bahwa negara akan menjamin keselamatan mereka, masyarakat sendiri yang mampu menentukan apakah mereka akan selamat atau harus menyingkir dari ruang hidup mereka.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tentu juga harus lebih serius dalam menetapkan Kawasan Karst sebagai kawasan esensial. Kawasan karst merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana krisis air dan krisis pangan akibat pertambangan. Memaksakan penambangan di wilayah Karst, sama halnya dengan mengingkari komitmen dalam memerangi krisis air, krisis pangan dan perubahan iklim.

 

Referensi :

https://islambergerak.com/2023/05/wajah-industri-ekstraktif-flores-dalam-ekonomi-politik-ruang-kapitalisme/

https://www.jatam.org/petani-kendeng-surati-jokowi-menyoal-banjir-bandang-jawa-tengah-menagih-tanggung-jawab-klhs-pegunungan-kendeng/

https://iconic.kebudayaan.online/menyoal-konstruksi-sosial-tentang-alam-dalam-logika-kapitalism-sebagai-akar-penyebab-krisis-ekologi-di-indonesia-apakah-ada-peluang-untuk-perubahan-suraya-a-afiff-department-of-anthropology-univ/



 

 

Ikuti tulisan menarik Era Sofiyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler