x

Iklan

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Agustus 2019

Rabu, 30 September 2020 11:52 WIB

Undang-Undang tentang Sumber Daya Air Sudah Dijiwai Keadilan Sosial, Efisiensi Ekonomi, dan Keberkelanjutan Lingkungan Hidup?

Baru-baru ini Undang-Undang (UU) No 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) (kembali) digugat ke Makamah Konstitusi (MK), kali ini oleh Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) dan Serikat Pekerja Pembangkit Jawa Barat (SP PJB), dua anak perusahaan di bawah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN - Persero). Gugatan diajukan karena mereka menilai klausula Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA) telah dinyatakan inkonstitusional dengan dibatalkannya UU No 7 tahun 2004 tentang SDA, dan diberlakukannya kembali UU No 11 tahun 1974 tentang Pengairan, pada sidang Makamah Konstitusi tanggal 15 Februari 2015 yang silam. Tulisan ini setelah menjelaskan sejarah pungutan BJPSDA dengan dasar hukum UU N0 11 tahun 1974 di WS Citarum oleh Perum Otorita Jatiluhur tahun 1970; di WS Brantas oleh Perum Jasa Tirta tahun 1990. Kemudian penjelasan konsep dasar nilai atau harga air yaitu: (i) Bahwa air adalah unsur kunci pada lingkungan hidup yang sehat, artinya air adalah darah kehidupan dari lingkungan yang harus dirawat dan dilindungi. Dan (ii) Air adalah komoditi yang mempunyai nilai nyata yang harus dihargai dan digunakan dengan bijaksana dan hemat; yang sudah dianut di negara-negara lain. Akhirnya disimpulkan bahwa: Gugatan agar BJPSDA pemanfataan Air dan SDA untuk PLTA yang bersifat usaha komersial, dibebaskan dan disamakan dengan Pengguna SDA tidak dibebani BJPSDA dalam Pasal 58 ayat (1) adalah tidak adil secara sosial bagi rakyat Indonesia yang sudah membayar pajak sebagai sumber APBN yang digunakan untuk membiayi pembangunan sarana dan prasarana Pengelolaan SDA.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Baru-baru ini Undang-Undang (UU) No 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) (kembali) digugat ke Makamah Konstitusi (MK), kali ini oleh Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) dan Serikat Pekerja Pembangkit Jawa Barat (SP PJB), dua anak perusahaan di bawah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN - Persero). Gugatan diajukan karena mereka menilai klausula Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA) telah dinyatakan inkonstitusional dengan dibatalkannya UU No 7 tahun 2004 tentang SDA, dan diberlakukannya kembali UU No 11 tahun 1974 tentang Pengairan, pada sidang Makamah Konstitusi tanggal 15 Februari 2015 yang silam.

Sebelum mengulas gugatan PPIP dan SP PJB tersebut di atas ada baiknya kita meninjau apa yang terjadi dalam dua periode terkait masa berlakunya UU No 11 tahu 1974 tentang Pengairan yaitu (i) periode sejak terbitnya 1974 sampai tahun 2004 / terbitnya UU No 7 tahun 2004 tentang SDA; dan (ii) periode sejak tahun 2015, (MK membatalkan UU No 7 tahun 2004 tentang SDA) hingga 2019 diundangkanya UU No 17 tahun 2019 tentang SDA.

Kebijakan Pengelolaan Pengairan terkait pembiayaan sejak 1974 / terbit UU No 11 tahun 1974 sampai 2004 / diganti dengan UU No 7 tahun 2004 tentang SDA. Dalam UU No 11 tahun 1974 tentang Pengairan, Bab IX Pembiayaan, pasal 14 tersurat: ayat (2) Masyarakat yang mendapat manfaat langsung dari adanya bangunan-bangunan pengairan baik untuk diusahakan lebih lanjut maupun untuk keperluan sendiri, dapat diikut sertakan menanggung pembiayaan sebagai pengganti jasa pengelolaan; ayat (3) Badan hukum, Badan sosial dan atau perorangan yang mendapat manfaat dari adanya bangunan-bangunan pengairan baik untuk diusahakan lebih lanjut maupun untuk keperluan sendiri, wajib ikut menanggung pembiayaan dalam bentuk iuran yang diberikan kepada pemerintah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai turunan dari UU 7/1974 tentang Pengairan diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 4 tahun 1981 tentang Iuran Pembiayaan Eksploitasi (Operasi) dan Pemeliharaan  (E&P) Prasarana Pengairan. Dalam PP No 4 tahun 1981 tentang Pembiayaan E&P ini tersurat: Pasal 1 ayat (1) Perusahaan adalah badan usaha Negara yang oleh Pemerintah telah ditunjuk sebagai pengelola air dan sumber-sumber air serta prasarana pengairan; Pasal 2 Iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan meliputi: (1) Dana yang ditarik sebagai imbalan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) yang telah memperoleh manfaat penggunaan dan kenikmatan dengan tersedianya air, dari sumber-sumber air, dan dengan adanya bangunan-bangunan pengairan sebagai hasil pengelolaan Perusahaan baik untuk diusahakan sendiri atau yang akan diusahakan lebih lanjut untuk kepentingan pihak ketiga;

Pasal 3 ayat (1) Iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, dikenakan kepada badan hukum, badan sosial, dan perorangan yang meperoleh manfaat langsung dari tersedianya air sebagai hasil pembangunan prasarana pengairan baik untuk diusahakan sendiri atau yang akan diusahakan lebih lanjut untuk kepentingan pihak ketiga, yang penarikannya akan dilakukan oleh perusahaan; Pasal 5 ayat (1) Penentuan besarnya iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana sebagai tarif dasar, didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggung jawabkan, yakni dengan memperhatikan bagian-bagian biaya: a. Eksploitasi dan pemeliharaan, b. Amortisasi dan interst, c. Depresiasi, d. Cadangan untuk pengembangan.

Seiring dengan selesainya rehabilitasi dan pembangunan berbagai sarana pengairan meliputi: (i) Waduk Jatiluhur / Juanda dan perluasan Jaringan irigasi Jatiluhur di WS Citarum;  (ii) Waduk Karangkates, waduk Sengguruh, Waduk Lodoyo, waduk Kali Bening dan Sarana Pengendalian Banjir S. Brantas di wilayah sungai (WS) Brantas, muncullah kebutuhan perlunya unit kerja teknis khusus untuk mengoperasikan dan mengatur debit banjir selama musim hujan dan mengatur ketersediaan dan pembagian air sepanjag tahun beserta perlunya  memelihara sarana dan prasarana pengairan.

Untuk maksud tersebut di WS Citarum pada tahun 1970 setelah bendungan dan waduk Jatilugur berfungsi didirikan Perum Otorita Jatiluhur pada 21 Mei 1970 dengan PP No 20 tahun 1970. Kemudian disesuaikan dengan PP 35 tahun 1980; PP No 42 tahun 1990, dan PP No 13 tahun1998. Selanjutnya berdasarkan PP No 94 tahun 1999, nama Perum Otorita Jatiluhur diubah menjadi Perum Jasa Tirta II, yang kemudian disesuaikan kembali ruang lingkup tugas dan kegiatan usahanya dengan PP No 7 tahun 2010.  

Untuk WS Brantas pada tahun 1990 Pemerintah membentuk Unit Pengelola SDA sesuai PP No 5 tahun 1990 dengan nama Perum Jasa Tirta. Dalam perkembangannya pada tahun 1999 Perum Jasa Tirta berubah menjadi Perum Jasa Tirta I sesuai PP 93 tahun 1999. Peraturan Pemerintah ini mengandung pengertian strategis, sebab terdapat perencanaan untuk mengembangkan beberapa badan usaha sejenis di WS lain yang memungkinkan. Sebagai tindak lanjut dari PP tersebut pada tahun 2000 PJT I kembali ditugaskan Pemerintah untuk mengelola WS Bengawan Solo melalui Keputusan Presiden No 129 tahun 2000.

Seiring dengan perkembangan kebutuhan nasional untuk mencukupi kebutuhan listrik dan air bersih, dasar hukum Perum Jasa Tirta I disempurnakan dengan PP No 46 tahun 2010, yang di dalamnya mengatur salah satu tugas dan tanggung jawab mengoptimalkan kemanfaatan asset yang dikuasai untuk menghasilkan pendapatan guna menambah pembiayaan pelaksanaan tugas pokok seperti penyelenggaran SPAM dan penyediaan listrik. (sudah periode UU 7 tahun 2004 tentang SDA sebelum dibatalkan oleh Makamah Konstitusi tahun 2015).  

Cikal bakal staff dan pegawai operasional baik untuk Perum Otorita Jatiluhur maupun untuk Perum Jasa Tirta , direkrut dari staf dan para pelaksana pembangunan fisik yang sudah mulai phasing out waktu itu. Para staf dan pelaksana teknis operasional dan pemeliharaan sarana Pengelolaan SDA yang berlatar belakang ex pelaksana konstruksi tersebut sudah familiar dan kapabel melaksanakan tugas Eksploitasi (Operasi) dan Pemeliharaan sarana Pengelolaan SDA.

Terkait penerapan BJPSDA pada PLTA-PLTA di WS Brantas sebagai willayah kerja PJT telah dimulai pada tahun 1990 dengan nama Iuran Eksploitasi dan Pemeliharaan sesuai PP No 41 tahun1981 tentang  Iuran Eksploitasi dan Pemeliharaan sarana Pengairan. Pada tahun 2004 diganti nama menjadi BJPSDA.

Sama halnya untuk penerapan BJPSDA pada PLTA dan Penggunaan Air lainya di WS Citarum, sebagai wilayah kerja Perum Otorita Jatilihur / PJT – II telah dimulai sejak selesai dan berfungsi waduk PLTA Saguling dan Waduk dan PLTA Cirata.   

Selanjutnya paska  pembatalan UU N0 7 tahun 2044 tentang Sumber Daya Air pada tahun 2015 sampai tahun 2019 / terbitnya UU No 17 tahun 2019 tentang SDA, pungutan BJPSDA di Perum Jasa Tirta I WS Brantas dan WS Bengawan Solo, serta di Perum Jasa Tirta II WS Citarum, tetap berjalan sebagai sebelumnya. Pembayaran BJPSDA itu sudah sistematis , dan memiliki porses yang sudah berlangsung lama. Menjadi pertanyaan mengapa pada September 2020, mendadak ada gugatan BJPSDA inkonstitusional sehingga harus dihapus?.

Di seluruh dunia terlebih di Indonesia karena pesatnya pertambahan penduduk, peningkatan taraf hidup dan pembangunan/pertumbuhan ekonomi telah memicu terjadinya ekstraksi intensif sumber daya alam hutan, tanah, air dan minerba sehingga kuantitasnya terus menipis atau habis dan kualitasnya menurun/rusak tereksploitasi. Kenyataan yang kita hadapi sekarang di Indonesia pada musim hujan terjadi bencana banjir, tanah longsor, banjir bandang yang semakin meluas dan parah merusak berbagai harta benda (property), sampai menelan korban jiwa manusia. Setelah banjir diikuti pada musim kemarau terjadi bencana kekeringan, defesit air dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di banyak WS. Sepanjang tahun pencemarann limbah cair dan padat dari industri, rumah tangga dan perkotaan juga semakin berat, kualitas air di musim kemarau sangat kotor / rendah. Kerugian akibat bencana banjr, kekeringan dan pencemaran sudah berdampak pada penurunan Produk Domentik Bruto (PDB) yang semakin siknifikan tahun demi tahun.

Di Negara-negara lain keadaan air terlalu banyak, air terlalu sedikit dan air terlalu kotor, telah nyata mengubah pandangan rakyat mereka (manusia) terhadap nilai air. Air yang sebelumnya (Indonesia tahun 1969 sebelum Pelita I, era Orde baru) selalu bersih dan mudah didapat/diperoleh di sembarang tempat dan waktu, ternyata pada masa sekarang (Indonesia tahun 2019 setelah 50 tahun kegiatan pembangunan) telah berubah menjadi barang langka dan itupun kualitasnya sudah sangat rendah (tidak ada kelasnya). Bagaimana pandangan kita? tampaknya sudah tiba saatnya (walau terlambat) bagi bangsa Indonesia yang walaupun terletak di daerah tropis dengan curah hujan tinggi (natural endowment) harus menyadari dan menyepakati suatu konsep dasar tentang nilai atau harga air yaitu: (i) Bahwa air adalah unsur kunci pada lingkungan hidup yang sehat, artinya air adalah darah kehidupan dari lingkungan yang harus dirawat dan dilindungi. Dan (ii) Air adalah komoditi yang mempunyai nilai nyata yang harus dihargai dan digunakan dengan bijaksana dan hemat.

Tanpa mengesampingkan perlunya air untuk kehidupan, kesehatan rakyat dan ekosistem, sumber daya air umumnya telah diterima sebagai sesuatu yang tersedia (karunia Tuhan), dinilai rendah dan akibatnya digunakan boros dan terbuang-buang. Penggunaan air per kapita di kota-kota Indonesia dan untuk pertanian padi sawah termasuk tinggi dengan harga yang dikenakan rendah bahkan untuk air irigasi tidak/belum dikenakan iuran.

 Sampai sekarang kita telah menjadi biasa dengan penyediaan air yang berlebihan dari air yang berharga murah lewat subsidi pemerintah dengan penekanan hanya pada sisi penyediaan/pasok/suplai air saja. Akan tetapi suatu kenyataan telah menyongsong bahwa keadaan tanpa iuran air irigasi dan tanpa iuran pencemar air, atau tarif air minum nominal saja telah membantu perkembangan pemborosan air dan pencemaran air yang pada gilirannya mengakibatkan kebutuhan air yang lebih banyak dan lebih mahalnya biaya sarana pengolahan air minum karena limbah. Akan tetapi bermiliard rupiah yang diperlukan untuk pengembangan dan rehailitasi sistem pengelolaan sumber daya air dan Instalasi Pengolahan Air Limbah tidak sepenuhnya lagi dapat disediakan dari mekanisme pendanaan yang ada (APBN, APBD), karena itu penghargaan atau memberi harga atas air adalah pemecahannya.

Penetapan harga air yang realistik akan membuat pemakai air sadar akan nilai nyata sumber daya air dan sistem pengadaannya sehingga akan mengurangi permintaan (demand) pada sistem tersebut. Hal itu juga akan mendorong efisiensi lewat pebaikan tekonologi yang mengarah ke konservasi / penghematan air, dan mengurangi tekanan pada kebutuhan perluasan sistem yang mahal. Demikian juga pemberlakuan iuran (denda) bagi pencemar (polluter pay) akan melindungi sumber daya air dan lingkungan hidup pada umumnya.

Di hampir seluruh Negara di dunia sekarang Water Pricing sudah diterapkan, berikut dikutip data tahun 2000 antara lain: India, Pakistan, Sudan, Turki, Taiwan, China dan Yemen untuk suplai air domestic, industri bahkan untuk pertanian (The Political Economy of Water Pricing Reforms Edited by Ariel Dinar IBRD / WB 2000).

Sekarang mari kita simak apa yang tersurat dalam UU No 17 tahun 2019 tentang SDA, terkait nilai atau harga air (water pricing). Bab IX PENDANAAN, Pasal 57: ayat (1) Pendanaan Pengelolaaan Sumber Daya Air ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata Pengelolaan Sumber Daya Air; Ayat (3). Pendanaan Pengelolaan SDA dapat bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN); b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan / atau; c. Sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 58: ayat (1) Pengguna SDA tidak dibebani BJPSDA jika menggunakan SDA untuk: a. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari; b. pertanian rakyat; c. kegiatan selain memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat yang bukan merupakan kegiatan usaha; dan kegiatan kostruksi pada Sumber Air yang tidak menggunakan Air; Ayat (2) Pengguna SDA selain yang dimaksud pada ayat (1) menaggung BJPSDA; Ayat (3) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berhak atas hasil penerimaan BJPSDA yang dipungut dari para pengguna SDA; Ayat (4) BJPSDA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipergunakan untuk keberlanjutan Pengelolaan SDA pada wilayah sungai yang bersngkutan. Pasal 59 Pembayaran BJPSDA sebagaiman dimaksud dalam Pasal 58 harus memperhatikan prinsip pemanfaat membayar.

Yang tersurat dalam PENJELASAN: Pasal 57 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kebutuhan nyata” adalah dana yang dibutuhkan semata-mata untuk membiayai Pengelolaan SDA sehingga dapat menjamin keberlanjutan fungsi SDA. Jenis pendanaan Pengelolaan SDA meliputi: a. biaya sistem informasi; b. biaya Perencanaan; biaya pelaksanaan konstruksi dan non konstruksi; biaya operasi dan pemeliharaan (O&P); dan biaya pementauan, evaluasi,  dan pemberdayaan masyarakat. Ayat (3) huruf c. Yang dimaksud dengan “sumber lain yang sah” antara lain adalah anggaran swasta, hibah, dan BJPSDA. Pasal 58: Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA) merupakan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan Pengelolaan SDA agar SDA dapat didayagunakan secara berkelanjutan. Pasal 59: Prinsip pemanfaat membayar diterapkan untuk penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha secara komersial. Yang dimaksud dengan pemanfaat meliputi pemanfaat Air, pemanfaat Sumber Air, dan atau pemanfaat Daya Air, misalnya: a. penggunaan Air sebagai Air baku Air minum dan industri; b. memanfaatkan Sumber Air sebagai tempat tampungan limbah terolah (pencemar membayar) atau pelepasan Air ke Sumber Air; dan c. memanfaatkan Daya Air untuk pembangkitan tenaga listrik.            

Berdasarkan semua uraian di atas, berikut adalah ulasan atas sebuah pertanyaan terkait BJPSDA, sebagai renungan bagi para penggugat UU No 17 tahun 2019 tentang SDA, dan pertimbangan bagi Majelis Hakim Makamah Konstitusi dalam memutus perkara tersebut. Mengapa BJPSDA harus diberlakukan bagi pengguna / pemanfaat air untuk kegiatan usaha secara komersial terutama terkait pemanfaatan Daya Air untuk pembangkitan tenaga listrik? Siapapun pasti paham bahwa, agar Air dan SDA bisa tersedia secara berkelanjutan pada lokasi tertentu dimana pengguna Air dan Sumber Air untuk kegiatan usaha dapat memanfaatkannya, dibutuhkan dana untuk pembangunan dan operasi pemeliharaan (O&P) sarana dan prasarana Pengelolaan SDA. Dana untuk biaya pembangunan dan O&P sarana Pengelolaan SDA, selama ini hampir seluruhnya ditanggung APBN yang kita maklumi berasal dari pembayaran pajak oleh rakyat. Karena itu apabila badan usaha komersial pemanfaat Daya Air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dalam hal ini PT Indonesia Power dan PT Pembangkit Jawa Barat dan Bali, dibebaskan dari BJPSDA padahal yang memikul biaya pembangunan sarana Pengelolaan SDA adalah seluruh rakyat lewat pajaknya, maka jelas keadaan tersebut secara sosial adalah tidak adil.

Kemudian secara ekonomi karena terbatasnya APBN padahal kebutuhan terus meningkat, adalah akan tidak efisien bagi Negara mengeluarkan dana untuk membangun sarana Pengelolaan SDA tanpa ada pengembalian modal melalui penarikan BJPSDA dari badan usaha komersial (anak perusahaan PT PLN – Persero) yang nyatanya memperoleh keuntungan dari penjualalan listrik yang diproduksi PLTA-nya terutama nilai tambah dalam penyediaan listrik pada saat-saat beban puncak keperluan listrik di P. Jawa dan P. Bali mengingat fleksibitas pengoperasian PLTA.

Akhirnya secara lingkungan Pengelolaan SDA akan tidak berkelanjutan apabila tidak ada dana untuk membiayai pengelolaan kualitas air dan pemeliharaan ekosistem wilayah sungai. Pemberlakuan prinsip Pemanfaat membayar beserta Pencemar membayar dalam Pengelolaan SDA akan menjaga keselarasan fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup dari SDA, yang akan berujung terwujudnya sinergi dan keterpaduan antarwilayah, antarsektor, dan antar generasi guna memenuhi kebutuhan rakyat atas air.

Gugatan agar BJPSDA pemanfataan Air dan SDA untuk PLTA yang bersifat usaha komersial, dibebaskan dan disamakan dengan Pengguna SDA tidak dibebani BJPSDA dalam Pasal 58 ayat (1) adalah tidak adil secara sosial bagi rakyat Indonesia yang membayar pajak sebagai sumber APBN. Karena itu kami sarankan agar Majelis Hakim Makamah Konstitusi menolak atau tidak mengabulkan permohonan penggugat, dan memutus bahwa Usaha PLTA tetap termasuk Pengguna SDA yang wajib menanggung BJPSDA karena bersifat usaha komersial. Apabila oleh PLN cq Kementerian ESDM, diperkirakan tarifnya terlalu besar kenaikannya dari sebelumnya sehingga persentasenya terhadap harga jual listrik per KWH kurang wajar maka besaran tarif tersebut dapat direnegosiasi antara PJT – I dan PJT – II cq Kementerian PUPR, Kementerian BUMN, dan Kementeria Keuangan - bersama PLN cq Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan; di bawah koordinasi Kementerian Maritim dan Investasi.

Gugatan terkait Pasal 19 ayat (2) Pengelolaan SDA sebagimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa unit pelaksana teknis kementerian/unit pekasana teknis daerah atau badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan SDA. Dalam hal tersebut penggugat menginginkan BUMN PLTA mempunyai hak yang sama seperti PJT-I atau PJT–II untuk ditunjuk sebagai Pengelola SDA. Permohonan ini berlebihan karena jikalau semua BUMN PLTA - PLTA di Indonesia diberi kewenangan ikut mengelola SDA di WS akan terjadi kebingungan bagi semua pemangku kepentingan SDA WS. Dalam hal rekan-rekan anggota PPIP dan SP PJB suatu waktu ingin berkecimpung di Unit Pengelolaan SDA WS, tidaklah tertutup kemungkinan apabila PJT-PJT Baru nanti (hampir pasti) dibentuk, silahkan ikut nanti berkiprah di situ.  

 Akhirnya pertu disampaikan bahwa guna mewujudkan: (i) peningkatan pelayanan air untuk berbagai kebutuhan dan perbaikan / pelestarian ekosistem serta pengurangan risiko bencana terkait Air pada setiap WS secara keberlanjutan, (ii) keadilan sosial, dan (iii) efisiensi ekonomi maka Pemerintah perlu segera memberlakukan BJPSDA di seluruh WS di Indonesia, secara bertahap. Pada awalnya bisa melalui mekanisme PNBP Pengelolaan SDA (Peraturan Pemeritah perlu diterbitkan), yang kemudian setelah 3-4 tahun dilakukan evaluasi untuk menetapkan pilihan apakah menjadi BLU atau model PJT dengan menambah cakupan PJT-I dan PJT-II atau membentuk PJT – III dst secara bertahap untuk  seluruh Indonesia. Demikian yang dapat disampaikan semoga bemanfaat adanya. SEKIAN.

Ikuti tulisan menarik Napitupulu Na07 lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu