x

Iklan

Putu Suasta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Juli 2019

Rabu, 21 Oktober 2020 15:57 WIB

Saatnya Memberi Perhatian Lebih Pada Kesehatan Mental Masyarakat


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita dapat memahami bahwa pemerintah (dan juga masyarakat) sekarang ini lebih berfokus pada tindakan-tindakan darurat berorientasi jangka pendek dalam menghadapi keadaan darurat pandemi Covid-19. Dua bidang utama yang diberi perhatian dan penanganan dalam tindakan darurat tersebut adalah kesehatan fisik dan kesehatan ekonomi. Penanganan kesehatan mental hampir tak mendapat perhatian sama sekali terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena (mungkin) dipandang bukan sebagai bagian dari kebutuhan mendesak dalam keadaan darurat. Kalaupun ada langkah-langkah antisipasi dan penanganan krisis di bidang kesehatan mental, gaungnya sangat kecil, nyaris tak terdengar. Kalah jauh dengan gaung kampanye pemakaian masker, cuci tangan dan program-program stimulus ekonomi.

Ekspos media tentang dampak dari pandemi juga hampir semuanya berfokus pada gangguan kesehatan fisik dan gangguan ekonomi. Jarang sekali media menurunkan laporan tentang ancaman gangguan mental selama masa darurat ini dan langkah-langkah apa yang telah ditempuh pemerintah untuk menanganinya. Padahal kita tahu, kerusakan kesehatan mental dapat membawa akibat lebih buruk (jangka panjang) daripada gangguan kesehatan fisik dan kehancuran ekonomi. Ancaman itu begitu nyata sekarang karena sebagian besar masyarakat sesungguhnya tidak siap menghadapi disrupsi radikal hampir di semua lini kehidupan yang terpaksa dijalani dan diterima selama pandemi ini.

Sebagai gambaran bahwa ancaman gangguan mental ini sungguh nyata, baru-baru ini para peneliti dari New York University merekomendasikan kepada pemerintah (AS) agar menambah anggaran untuk fasilitas-fasilitas kesehatan mental dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien gangguan mental yang terus mengalami peningkatan sejak Covid-19 menyerang Amerika Serikat. Jika negara maju dengan tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dan sistem perlindungan sosial lebih kokoh seperti Amerika Serikat tetap was-was terhadap ancaman gangguan kesehatan mental masyarakat, seharusnya negara-negara yang jauh kurang makmur seperti Indonesia harus lebih was-was lagi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak Ada yang Siap

Ancaman gangguan mental di masa darurat seperti sekarang ini tidak dipicu oleh faktor tunggal seperti masalah ekonomi saja, tetapi karena akumulasi sejumlah perubahan drastis dalam pola kehidupan keseharian, pola komunikasi, pola interaksi dan pola-pola lain yang selama ini telah kita jalani dengan nyaman dan tiba-tiba dipaksa harus berubah. Dalam perspektif ini sesungguhnya tak seorangpun siap.

Kaya atau miskin, orang biasa atau pejabat tinggi, anak-anak hingga orang-orang sepuh “dipaksa” tunduk pada pola-pola baru yang secara drastis berbeda dengan pola-pola sebelumnya. Jika kita gambarkan dalam kiasan, kita semua seakan menjadi objek dari proyek percobaan atau eksperimen sosial berskala global di mana teknologi yang belum teruji keampuhannya dipaksanakan untuk kita peluk sebagai motor kehidupan kita. Kita bisa bayangkankan guncangan mental anak-anak sekolah yang sebelumnya bisa dengan riang berkumpul bersama teman-temannya, tiba-tiba harus berdiam diri di rumah dengan setumpuk PR yang dijejalkan melalui perangkat digital.

Bisa kita bayangkan guncangkan mental para buruh harian yang sebelumnya sudah cukup pusing memikirkan ekonomi keluarga, sekarang dibuat tambah pusing mengurusi anak yang mengeluh tentang jaringan internet sehingga terlambat mengumpulkan tugas. Bisa kita bayangkan beban mental para tenaga medis yang sebelumnya dapat membagi waktu cukup untuk keluarga, sekarang harus menghabiskan lebih banyak waktu di tempat kerja, menghabiskan waktu lebih banyak menjalani protokol kesehatan sebelum bertemu keluarga dan seterusnya.

Daftar ini masih bisa kita perpanjang untuk menunjukkan bahwa tak ada lapisan masyarakat yang tak terdampak oleh keadaan ini. Benar bahwa sebagian cukup tangguh dari segi mental menghadapi keadaan ini, tapi tak sedikit yang sangat tergoncang dari sisi mental tapi perhatian terhadap soal tersebut teralihkan ke soal-soal yang dinilai lebih urgen untuk disoroti.

Dunia Baru

Telah banyak kita baca kajian dengan kesimpulan meyakinkan bahwa dunia yang akan kita huni setelah pandemi ini tidak akan sama lagi mengingat sejumlah perubahan radikal yang telah dipaksa diterapkan dalam beberapa bulan ini. Tidak dikatakan secara jelas apakah kita akan berada dalam dunia yang lebih baik atau buruk, tapi cukup logis mengatakan bahwa keputusan-keputusan yang dibuat sekarang ini akan menentukan wajah dunia yang akan kita songsong berikutnya. Karena itu tidak tepat untuk terus-menerus mengorientasikan seluruh keputusan sekarang ini pada kepentingan-kepentingan jangka pendek.

Kini saatnya memikirkan langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk meminimalisir dampak-dampak jangka panjang dari pandemi ini. Salah satunya adalah pentingnya memulihkan kesehatan mental masyarakat yang terdampak secara serius baik melalui promosi hidup sehat (secara mental) maupun dengan mengefektifkan lembaga-lembaga yang selama ini memberi perhatian pada kesehatan mental masyarakat.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa anak-anak sekolah akan mengalami disorientasi ketika kelak kembali ke bangku sekolah, para pekerja menjadi gamang setelah sekian lama berdiam diri di rumah dan berbagai ekses-ekses lain. Semua ini butuh pemulihan. Sebagian mungkin bisa dipulihkan melalui promosi-promosi dan ajuran-anjuran kesehatan mental, sebagian mungkin membutuhkan penanganan lebih serius. Saatnya sekarang untuk memikirkan persoalan ini secara lebih serius agar kita menyongsong dunia yang lebih baik paska pandemi ini.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler