x

Tipu muslihat

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 19 November 2020 10:15 WIB

Rakyat Terus Disuguhi Pendidikan Pembunuhan Karakter dan Tipu Muslihat

Kasihan sekali rakyat dan masyarakat yang hingga kini masih melihat seluruh kejadian di Indonesia yang penuh drama tak santun yang faktanya hanya sandiwara dan rekayasa demi membunuh karakter lawannya, namun masyarakat pada umumnya banyak yang percaya akan tipu muslihat ini, khususnya menyoal sengkarut politik, masyarakat hanya melihat dari sudut pandang yang tersurat, yang nampak, yang terlihat. Padahal semua itu hanya skenario. Masyarakat masih banyak yang tak paham fakta di balik semuanya yang tersirat dan mengkambinghitamkan suatu pihak.  

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Demi kepentingan dan keuntungan pribadi, kelompok, dan golongan, kini dari rakyat biasa, artis, seleberitis, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh negara, elite partai, dan para politikus yang duduk di parlemen dan pemerintahan, terus berkubang pada perikehidupan dan perikemanusiaan yang jauh dari karakter asli bangsa Indonesia karena lebih mengagungkan berbagai pesanan yang bukan amanah rakyat dan saling membunuh karakter pihak yang tak searah dan tujuan.

Sampai-sampai semua peristiwa yang terus terjadi di negeri ini membikin masyarakat terlupa akan nawacita penguatan karakter yang digaungkan Presiden Jokowi demi melakukan revolusi karakter bangsa. Nawacita itu pun kini lenyap tak berbekas, sebab kalah saing dengan program pembunuhan karakter yang terus terjadi di Republik ini.

Yang sangat menggemaskan bahkan sangat menyedihkan dan memprihatinkan, kini ada orang yang labelnya hanya sekadar seleberiti pun, ikutan masuk dalam ranah pembunuhan karakter yang sejatinya diyakini oleh berbagai pihak dan masyarakat yang bersangkutan tak paham dan mengusai persoalan. Asal bicara dan asal "njeplak" karena merasa ada yang membela dan mendukung, bahkan ada yang berpikir menjadi bagian influencer dan buzzer.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara pembunuhan karakter di wilayah politik juga semakin subur. Malah kini juga masuk dalam sejarah di Republik ini, seorang pemimpin daerah diminta hadir ke kepolisian untuk sebuah klarifikasi karena suatu kejadian.

Ironisnya, polisi tak memanggil pihak dari pemerintah pusat yang justru memiliki kesalahan yang lebih fatal dari kejadian serupa namun justru masalahnya lebih besar.

Di media massa beberapa waktu lalu pun ada berita yang kesannya tak penting, menyoal calon pelamar kerja yang tak memiliki attitude, sikap sopan santun. Dan, berita ini sekadar terselip dari berita-berita yang lebih tak santun di ranah perseteruan politik yang terus diapungkan demi tujuan utama saling membunuh karakter lawan politiknya.

Sungguh, di tengah pandemi corona yang masih terus merajalela di negeri ini, di tengah penderitaan rakyat, pihak-pihak yang lebih diuntungkan karena situasi, kondisi, dan kedudukan, justru terus tak peduli dengan pikiran dan perasaan rakyat. Terus berjalan di relnya tanpa beban, buta dan tuli dari keadaan. Semua dilakukan sebagai kamuflase yang seolah membela rakyat.

Pemimpin negeri ini, kini justru semakin asyik dengan kepentingannya, semakin menjauh dari karakter bangsa yang santun dan berbudi pekerti luhur. Semakin jauh memberi teladan dan panutan yang tidak baik kepada masyarakat, terutama generasi muda, anak-anak bangsa yang masih usia SD, SMP, SMA, hingga mahasiswa dan orang dewasa.

Setiap hari hanya mempertontonkan perseteruan, permusuhan, saling ejek, saling hujat, saling menghina, dan semuanya drama itu sangat mudah dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyadakat melalui berbagai media massa dan sosial. Terlebih, kini media massa juga banyak yang hanya jadi alat kepentingan mereka yang mampu membayarannya.

Karenanya, tentu tak akan ada kabar tentang revolusi karakter bangsa yang niatnya dititipkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sementara Kemendikbud pun kini terus bermasalah sebab dipimpin oleh orang yang belum mumpuni.

Bagaimana Kemendikbud akan mampu mengimplementasikan penguatan karakter penerus bangsa melalui gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang digulirkan sejak tahun 2016 bila hingga kini, Kemendikbud saja masih berkutat dengan berbagai masalah pendidikan yang mendasar.

Dari sebab itulah, menyoal pendidikan di Indonesia, kini menjadi hal yang tak menarik dibahas dan diamati, serta diikuti perkembangannnya oleh para pakar pendidikan, akademisi, pemgamat, dan praktisi.

Sehingga, menyoal pendidikan karakter yang dititipkan pun tentu akan jauh panggang dari api, mustahil terwujud. Pasalnya, Kemendikbud sendiri hingga saat ini malah masih berkutat dengan masalahnya sendiri yang tak kunjung kelar.

Harus diingat kembali bahwa sesuai arahan Jokowi, Nawacita revolusi penguatan karakter ini, di jenjang pendidikan dasar mendapatkan porsi yang lebih besar dibandingkan pendidikan yang mengajarkan pengetahuan. Untuk sekolah dasar sebesar 70 persen, sedangkan untuk sekolah menengah pertama sebesar 60 persen.

Bahkan saat itu, Mendikbud Muhadjir Effendy dengan lantang mengungkapkan bahwa gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) adalah fondasi dan ruh utama pendidikan. PPK juga menyasar olah pikir (literasi), olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetik), olah raga (kinestetik)
Tak hanya olah pikir (literasi), PPK mendorong agar pendidikan nasional kembali memperhatikan olah hati (etik dan spiritual) olah rasa (estetik), dan juga olah raga (kinestetik).

Luar biasa, lugas bicara literasi, etika, spiritual, estetik, dan kinestetik, untuk anak-anak muda generasi bangsa, namun para orang tua yang duduk memimpin bangsa hanya mampu dan gemar bicara, namun tak pernah meneladani. Malah, mencontohkan hal-hal yang sebaliknya yaitu pendidikan berseteru, pendidikan adu domba, pendidikan pembunuhan karakter, dan semuanya justru sangat mudah merasuk dalam pikiran dan hati generasi muda kita hingga dalam pikiran dan hatinya lebih tertanam sikap tak santun, tak berbudi, handal dalam probokasi, pendendam, bermusuhan, membenci dan sejenisnya.

Sikap ini justru terus dikucurkan dan dicontohkan oleh pemimpin partai politik dan pemimpin-pemimpin lainnya. Para elite partai hingga artis dan seleberiti yang ikut ambil bagian namun "cetek" ilmu dan pengetahuan, hanya bermodal nekat dan bermodal dukungan pecintanya.

Kini, negeri ini sungguh penuh manusia-manusia yang tak berattitude. Bila ada yang mempersoalkan pelamar kerja tak berattitude, itu hanya potret kecil. Tapi lihatlah potret besarnya dari keseluruhan manusia-manusia di negeri ini.

Kasihan sekali rakyat dan masyarakat yang hingga kini masih melihat seluruh kejadian di Indonesia yang penuh drama tak santun yang faktanya hanya sandiwara dan rekayasa demi membunuh karakter lawannya, namun masyarakat pada umumnya banyak yang percaya akan tipu muslihat ini, khususnya menyoal sengkarut politik, masyarakat hanya melihat dari sudut pandang yang tersurat, yang nampak, yang terlihat. Padahal semua itu hanya skenario. Masyarakat masih banyak yang tak paham fakta di balik semuanya yang tersirat dan mengkambinghitamkan suatu pihak.

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler