x

Supartono JW

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 11 Januari 2021 17:20 WIB

Bila Pembina dan Pelatih Sepak Bola Akar Rumput Memenuhi Kompetensi

Coba simak apa yang diungkap oleh Yusuf Kurniawan (Yuke), komentator sepak bola nasional yang sekaligus Direktur Kompetisi Sepak Bola Akar Rumput Swasta melalui pesan WA kepada saya, Rabu (6/1/2021) "Sepakbola banyak mengajari kita bagaimana memaknai hidup yang bermanfaat, tidak harus selalu menjadi pemain bola pro endingnya, tapi seberapa bermanfaatnya kita (dan anak-anak kita nanti) untuk kehidupan di sekitar kita. Itulah esensi hakiki yang menurut saya sebagai parameter sukses kita berkecimpung di sepakbola." Pertanyaannya, mampukah pembina/pelatih sepak bola akar rumput yang tak berkompeten menjadi guru di lapangan mengantar siswa/pemain seperti yang diungkap oleh Yuke untuk kehidupan bila tak berbekal ilmu dan berwawasan cukup standar baik yang didapat secara formal dan nonformal?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat pandemi corona masih terus berlangsung dan sekolah formal (TK, SD, SMP, SMA, hingga bangku kuliah) masih terus dilakukan dengan daring/online, olah raga khususnya sepak bola justru semakin diminati.Meski PSSI dengan tangannya PT LIB tak berkutik dan tak mampu mewujudkan kompetisi sepak bola nasional dengan alasan dan masalah yang publik juga tahu akarnya, beberapa klub membubarkan timnya, namun geliat pembinaan, festival, kompetisi sepak bola akar rumput di tangan operator swasta justru terus bergulir.

Momentum SSB dan sejenisnya

Bila sekolah formal tak bisa tatap muka, berbanding terbalik dengan Sekolah Sepak Bola (SSB) atau sejenisnya. SSB terus beroperasi pun orang tua mendukung anak-anaknya yang berusia dini dan muda, tetap berlatih di lapangan dan mengikuti kompetisi khususnya di seputar Jabotabek dan umumnya di seantero Indonesia tanpa takut virus corona, meski kegiatannya jelas bertatap muka. Namun, sepanjang virus corona hadir, klaster corona dari sepak bola, terutama dari sektor akar rumput ini tetap tak terdengar.

Bisa jadi, karena tetap berolahraga sepak bola, anak-anak tetap terjaga imunnya dan tetap sehat.

Saat sekolah formal tak berkutik untuk belajar tatap muka, tetapi SSB malah terus berkegiatan tatap muka. Sementara hasil pendidikan formal di Indonesia sebelum corona hadir saja terus "jeblog", tercecer di Asia Tenggara, Asia, hingga dunia. Maka, dalam kondisi pandemi dan SSB serta sejenisnya bisa berkegiatan tak terbatas seperti layaknya sekolah formal yang dibatasi, maka stakeholder terkait dapat melihat celah dan momentum ini.

Apa celah dan momentum yang saya maksud? Lewat kegiatan SSB yang nonformal namun bisa bertatap muka, para pembina, pelatih, hingga orang tua dapat berkontribusi turut "mendidik" anak-anak di luar persoalan teknik dan speed sepak bola. Terlebih anak usia dini dan muda adalah pondasi bagi sepak bola nasional, pun pondasi bagi bangsa dan negara di segala bidang. Sebab, tidak semua anak usia dini dan muda yang kini menekuni sepak bola akan tertampung dalam tim nasional maupun klub.

ISEAKI dan TIPS

Selama ini saya menggaungkan bahwa bila di sekolah formal dalam mendidik siswa, saya menerapkan ISEAKI sebagai tolok ukur keberhasilan "kemanusiaan" siswa. Apa itu ISEAKI? Dia adalah akronim dari Intelektual, Sosial, Emosional, Analitis, Kreatif-Imajinatif, Iman.

Siswa yang berhasil dalam menjalani proses pendidikan dan mampu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, maka saya akan sebut siswa ini sudah ISEAKI.

Sebagai gambaran, "manusia" yang ISEAKI itu, karena keilmuannya mumpuni, maka kecerdasannya dapat mengendalikan mental dan emosi hingga cerdas mental. Lalu pandai berinteraksi, bersosialisasi, dan mampu menempatkan diri. Cerdas dalam menganalisis masalah, kejadian, hingga mampu menyelesaikannya. Kreatif-imajinatif yang sama dengan inovativ. Semua dilakukan atas dasar kuatnya Iman.

Manusia ISEAKI ini bisa sudah bawaan sejak lahir, bisa hasil pembinaan dan pendidikan dalam keluarga, namun harapan terbesarnya adalah hasil dari pendidikan di sekolah formal dan dari pendidikan umum yang di dapat dalam kehidupan nyata di lingkungan dan masyarakat. Itu sekilas ISEAKI yang saya petik dari Buku ISEAKI yang saya tulis.

Selanjutnya menyoal TIPS. Ini saya adopsi dari Akademi Sepak Bola Ajax Amsterdam Belanda dan saya terapkan pula dalam pembinaan sepak bola usia dini dan muda.

TIPS juga akronim dari Teknik, intelegensi, personaliti, dan speed. Ternyata baik ISEAKI maupun TIPS ada kesamaan. Sama-sama ada intelektual/intelegensi dan ada emosi/personaliti.

Dalam TIPS, karena untuk sepak bola, maka ada teknik dan speed (kecepatan/fisik).

Karena pemahaman keilmuan dan pemahaman ranah pendidikan ini, maka saat di sekolah formal, TIPS pun saya pakai untuk mendidik siswa. Sementara ketika di lapangan bola, ISEAKI pun saya terapkan untuk mendukung TIPS.

Dalam sekolah formal, bagian TIPS, teknik dan speed saya terapkan untuk setiap kegiatan pendidikan agar siswa selalu memiliki, menemukan, inovatif dll dalam teknik dan kecepatan berdasarkan daya kecerdasan otaknya, kecerdasan emosinya, serta kecerdasan analisisnya.

Begitu pun saat di lapangan bola, selain siswa cerdas otak dan mental, maka dengan kecerdasan otak dan mentalnya, maka mampu cerdas teknik dan speednya.

Pelatih=Guru

Pertanyaanya, khususnya di sepak bola akar rumput kita yang menjamur tak beraturan dan PSSI pun adem ayem membiarkan, padahal sektor ini menjadi pondasi dan kawah candradimukanya sepak bola nasional dan kemajuan bangsa.

Cukupkah bekal keilmuan para pembina dan pelatih mentransfer keilmuan ISEAKI dan TIPS untuk anak-anak? Saya sudah tahu, setingggi-tingginya materi kepelatihan lisensi A, khususnya untuk konsumsi Indonesia, tidak menjangkau kebutuhan dasar ISEAKI dan TIPS anak. Apalagi materi kepelatihan di bawahnya.

Ironinsya, sektor akar rumput kita justru banyak diampu oleh pembina/pelatih berlisensi D/C yang kebanyakan para pembina/pelatihnya pun berpendidikan formal SMP/SMA atau mantan pemain.

Sudah begitu, sepanjang pengamatan saya, mereka sangat yakin dan sudah merasa cukup dengan bekal itu, dan dengan mudahnya menjadi pelatih SSB yang siswanya bila sekolah di sekolah formal, gurunya minimal harus Sarjana, pun sesuai bidangnya.

Saya juga mengamati, banyak pembina/pelatih di akar rumput, meski pendidikan formalnya hanya SMP/SMA dan lisensinya pelatihnya D/C/ bahkan di atasnya, mau belajar, mau membaca, sebab yang dihadapi anak usia dini yang asupannya bukan melulu di teknik dan speed bermain bola.

Namun, hitungan saya, masih terlalu banyak pembina/pelatih di akar rumput yang tak memenuhi syarat, bahkan hanya modal lisensi D dan pendidikan formal tak tinggi, sudah "bergaya" seperti pelatih profesional. Padahal tak paham ilmu  pedagogi yaitu ilmu atau seni dalam menjadi seorang guru. Istilah ini merujuk pada strategi pembelajaran atau gaya pembelajaran. Pedagogi juga kadang-kadang merujuk pada penggunaan yang tepat dari strategi mengajar. Pelatih=guru.

Sehingga, seorang pembina/pelatih akar rumput wajib menguasai keilmuan pedagogi sesuai taksonomi Bloom (kognitif, afektif, psikomotor) yang saya padukan dengan ISEAKI dan TIPS.

Untuk itu, menjadi keharusan para pembina/pelatih akar rumput kita memiliki kompetensi-kompetensi keilmuan tersebut yang lebih dari sekadar lisensi pelatih sepak bola yang materi kepelatihannya belum mengakomodir dan sangat tidak cukup seperti yang tergambar dari Kurikulum Filanesia.

Lihat, sekolah formal yang diampu oleh para guru yang sesuai standar saja, hasil pendidikan kita terus tercecer. Bagaimana sepak bola kita? Sama terus tercecer karena para pembina dan pelatihnya banyak sekali yang tak layak ada di sektor sepak bola akar rumput.

Yang lucu, saat para pembina/pelatih akar rumput ini sudah tergabung dalam grup-grup whatsapp (WA), sudah tak jelas lagi, semuanya sudah merasa berada di tempat yang benar, padahal dari bekal keilmuannya masih jauh dari harapan.

Sudah begitu, untuk belajar dan membaca pengetahuan umum di luar sepak bola tidak mau. Apalagi bila disuguhi bacaan berbau politik yang masih sangat nyambung dengan sepak bola. Maunya fokus sepak bola saja. Dikasih bacaan atau berita atau untuk nambah ilmu kompetensi di luar sepak bola, malah hanya baca judul, langsung bisa komentar, ambil kesimpulan, sok tahu bak ahli atau pengamat sepak bola.

Bagaimana orang-orang seperti itu bisa ada di sepak bola akar rumput, dan masuk grup pula. Tidak tahu kompetisi sepak bola kita terhenti karena politik. PSSI juga hanya jadi kendaraan politik. Lihat Ketua Umum PSSI kita sekarang, apa yang sedang dirintisnya di luar sepak bola? Mau jadi Gubernur, mengikuti pendahulunya. Apa namanya? Sepak bola untuk politik atau politik numpang sepak bola?

Lewat artikel ini, saya mengetuk PSSI, lihat pembina dan pelatih akar rumput kita. Dan, harus diingat, ini Indonesia, bukan negara lain Asia Tenggara, Asia, dan Dunia. Maka, pembina/pelatih sepak bola akar rumput adalah ujung tombak.

Saat sekolah formal tak tatap muka, SSB dan sejenisnya bisa menggantikan ikut mendidik siswa yang sama.

Tapi bila fakta dan kondisinya seperti ini, apa yang bisa diharapkan dari akar rumput sepak bola?

Pembina dan pelatih sepak bola akar rumput wajib memiliki kompetensi menjadi pendidik yang secara berkala pun ada uji kompetensinya karena yang dihadapi anak-anak pondasi bangsa.

Lihatlah, guru sekolah formal yang berkompeten saja, berkali-kali saat ikut Uji Kompetensi Guru (UKG) tak lulus, lho.

Coba simak apa yang diungkap oleh Yusuf Kurniawan (Yuke), komentator sepak bola nasional yang sekaligus Direktur Kompetisi Sepak Bola Akar Rumput Swasta melalui pesan WA kepada saya, Rabu (6/1/2021)

"Sepakbola banyak mengajari kita bagaimana memaknai hidup yang bermanfaat, tidak harus selalu menjadi pemain bola pro endingnya, tapi seberapa bermanfaatnya kita (dan anak-anak kita nanti) untuk kehidupan di sekitar kita. Itulah esensi hakiki yang menurut saya sebagai parameter sukses kita berkecimpung di sepakbola."

Pertanyaannya, mampukah pembina/pelatih sepak bola akar rumput yang tak berkompeten menjadi guru di lapangan mengantar siswa/pemain seperti yang diungkap oleh Yuke untuk kehidupan bila tak berbekal ilmu dan berwawasan cukup standar baik yang didapat secara formal dan nonformal?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler