x

Ilustrasi wartawan televisi. shutterstock.com

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 18 Januari 2021 06:03 WIB

Menimbang Permohonan Uji Materi UU Penyiaran oleh RCTI Group, Tamat (Oleh Kemala Atmojo)

Inilah akhir permohonan Uji Materiil UU Penyiaran yang diajukan oleh RCTI Group. Mahkamah Konstitusi teklah mengeluarkan putusannya: Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Bagaimana sebenarnya argumen pemohon dan MK itu? Tulisan ini sekaligus sebagai penutup dari serial 4 tulisan sebelumnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhirnya selesai juga perjalanan panjang perkara Nomor 39/PUU-­XVIII/2020 tentang Uji Materiil Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran terhadap UUD 1945. Pada Kamis 14 Januari 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan: “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.”

Putusan itu merupakan hasil kesepakatan sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota. Putusan tersebut diucapkan dalan Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada Kamis 14 Januari 2021.

Perkara yang dicatat dalam Buku Registrasi “Perkara Konstitusi” pada 9 Juni 2020 lalu itu diajukan oleh: (1) PT Visi Citra Mulia (INEWS) yang diwakili oleh David Fernando Audy (Direktur Utama0 dan Rafael Utomo (Direktur); dan (2) PT Rajawawali Citra Televisi (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo (Direktur) dan Dini Aryani Putri (Direktur). Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 1 angka (2) UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya sendiri sudah menulis 4 (empat) artikel sepanjang perjalanan perkara ini di MK. Maka, setelah putusan MK yang baru ini, sudah tidak diperlukan lagi aneka argumentasi saya untuk mendukung atau menentang permohonan RCTI Group. Namun, sebagai penutup artikel yang saya tulis sebelumnya, dan sebagai tanggung jawab moral saya sebagai penulis (karena di akhir artikel sebelumnya saya tulis “bersambung”), ada baiknya saya tuliskan apa yang menjadi permohonan RCTI Group dengan segala argumennya dan bagaimana MK bisa sampai pada kesimpulannya. Jadi anggap saja tulisan ini merupakan “salinan putusan” atau semacam transkrip dari putusan MK.

Pada intinya, menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menimbulkan multi-interpretasi yang pada akhirnya melahirkan kontroversi di tengah publik karena ketentuan tersebut belum mencakup aktivitas penyiaran berbasis internet sebagaimana dilakukan oleh “media baru”. Hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 serta bertentangan dengan kewajiban Negara untuk memberikan jaminan kepastian hukum yang adil kepada setiap warga negaranya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Lalu, menurut para Pemohon, perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau  Information and Communication Technology (ICT) yang begitu pesat telah membawa peradaban manusia modern memasuki era baru yang disebut dengan era digital (digital age). Hal tersebut ditandai salah satunya dengan berkembang pesatnya internet (interconnection-networking) sebagai salah satu media untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan atau informasi. Dengan adanya internet, industri TIK mengarah kepada konvergensi yang salah satu wujudnya adalah lahirnya berbagai macam platform digital yang dikenal dengan layanan Over the Top (OTT), yaitu layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi di atas jaringan internet milik sebuah operator telekomunikasi, yang mana layanan tersebut terbagi menjadi aplikasi, konten/video on demand/streaming, dan jasa.

Menurut para Pemohon, layanan OTT yang dalam Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 3 Tahun 2016 disebutkan sebagai Layanan Konten Melalui Internet sebenarnya masuk kategori “siaran” apabila merujuk pada definisi siaran dalam Pasal 1 angka 1 UU 32 Tahun 2002. Karena, berbagai macam layanan OTT khususnya yang masuk kategori konten/video on demand/streaming pada dasarnya juga memproduksi konten-konten siaran. Hanya saja perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional terletak pada metode pemancarluasan atau penyebarluasan yang digunakan. Apabila pada aktivitas penyiaran konvensional yang digunakan adalah pemancarluasan menggunakan spektrum frekuensi radio dan dipancarkan secara serentak dan bersamaan, sementara pada layanan OTT yang digunakan adalah penyebarluasan dengan sarana internet sehingga dimungkinkan tidak dipancarkan secara serentak dan bersamaan.

Namun, menurut para Pemohon, pengguna layanan OTT yang semakin meningkat seiring peningkatan pengguna internet itu tidak diikuti dengan dengan adanya kepastian hukum mengenai regulasi layanan OTT, khususnya yang masuk kategori konten/video on demand/streaming, sebagai metode baru penyelenggaraan penyiaran. Ketiadaan kepastian hukum dimaksud dikarenakan munculnya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002, yakni apakah pasal itu hanya mencakup aktivitas penyiaran konvensional atau mencakup pula aktivitas penyiaran berbasis internet.

Kementerian Kominfo sebagai representasi dari Pemerintah, menurut Pemohon, terbukti masih ragu-ragu dalam menyikapi ketidakpastian penafsiran atas ketentuan pasal a quo. Di satu sisi mengatakan definisi “Penyiaran” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 belum mencakup aktivitas penyiaran yang berbasis internet sebagaimana dilakukan oleh “media baru”. Akan tetapi, di sisi lain, dalam Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 3/2016 pada bagian ke-5 angka 5.5 poin 5.5.1 menyatakan bahwa layanan OTT masuk dalam rezim penyiaran, sehingga harus tunduk salah satunya pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran.

Pemohon menegaskan bahwa negara seharusnya hadir sebagai regulator yang memastikan keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara dalam memanfaatkan internet, termasuk menggunakan internet dalam aktivitas penyiaran. Kehadiran negara untuk mengatur internet dan cyberspace merupakan manifestasi dari tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini mengingat aktivitas penyiaran jelas dan nyata berkaitan langsung dengan kepentingan publik sehingga menjadi kewajiban negara untuk hadir di dalamnya sebagai bentuk pelindungan Negara terhadap warga negaranya dalam yurisdiksi virtual sebagai wujud kedaulatan negara. Dengan demikian, pengaturan terhadap internet, termasuk penyiaran menggunakan internet, tidak bisa hanya mengandalkan instrumen self-regulatory (swa-regulasi) dari penyedia layanan aplikasi (platform provider) atau etika (internet etiquette) dari warga net (netizen) sebagaimana dianut oleh kelompok liberal.  

Sebagai sesama penyelenggara penyiaran, baik para Pemohon maupun yang berbasis internet seperti halnya layanan OTT,  katanya, seharusnya mendapatkan status dan kedudukan yang sama sebagai subyek hukum dalam UU 32 Tahun 2002. Namun, apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 tidak dimaknai mencakup penyelenggaraan penyiaran berbasis internet, maka menyebabkan disparitas atau pembedaan status dan penyelenggara penyiaran berbasis internet sebagai penyelenggara sistem elektornik yang tidak dapat dikategorikan sebagai subyek hukum dalam UU 32 Tahun 2002, sehingga konsekuensinya tidak dapat terikat dengan seluruh ketentuan UU 32  Tahun 2002.

Kemudian, menurut para Pemohon, UU 32 Tahun 2002 sebagai rule of the game di bidang penyiaran harus ditaati oleh penyelenggara penyiaran. Dalam kaitan ini terdapat beberapa hal yang harus ditaati antara lain: (i) asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran di Indonesia; (ii) persyaratan penyelenggaraan penyiaran; (iii) perizinan penyelenggaraan penyiaran; (iv) pedoman mengenai isi dan bahasa siaran; (v) pedoman perilaku siaran; dan yang tidak kalah penting adalah (vi) pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran.

Oleh karena itu, terkait asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran, apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet maka konsekuensinya dapat saja penyelenggaraan penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD Tahun 1945, serta tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa, bahkan dapat memuat konten siaran yang memecah belah bangsa dan mengadu domba anak bangsa.

Menurut para Pemohon, mengingat penyelenggaraan penyiaran konvensional dan internet menggunakan metode yang berbeda, tentu persyaratan dan aspek perizinannya pun pasti berbeda. Kalaupun persyaratan dan perizinan penyelengaraan penyiaran menggunakan internet tunduk pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai penyelenggara sistem elektronik dan UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi karena terkait dengan pemanfataan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi, namun tetap diperlukan adanya bridging norm agar dapat mengakomodir konvergensi TIK dimaksud. Bridging norm dimaksud adalah dengan memaknai Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mencakup penyiaran menggunakan internet. Pemaknaan definisi “Penyiaran” dengan memasukkan penyiaran menggunakan internet bukanlah dalam rangka menambah subyek hukum baru, melainkan hanya memasukkan metode baru yaitu penyiaran menggunakan internet, sehingga sebenarnya tidak akan menimbulkan implikasi terhadap pasal-pasal lainnya di dalam UU 32 Tahun 2002.

Adapun terkait dengan pedoman mengenai isi dan bahasa siaran, UU 32 Tahun 2002 mengatur kewajiban bagi penyelenggara penyiaran konvensional untuk memberikan tayangan dan bahasa siaran yang layak bagi masyarakat. Namun, jika ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, konsekuensinya dapat saja konten siarannya memuat hal-hal yang mengarah kepada tindak kekerasan, pencabulan atau pornografi, berita bohong (hoax), hate speech, bahkan bisa memuat agitasi atau hasutan untuk melakukan hal-hal negatif terhadap bangsa dan negara.

Mernurut Pemohon,  dalam UU 32 Tahun 2002 ditentukan mengenai pedoman perilaku penyiaran dengan standar isi siaran yang harus dipenuhi penyelenggara penyiaran. Lebih lanjut, KPI menerbitkan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 yang mengatur tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (selenjutnya disebut “P3SPS”). Apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka jelas akan ada perbedaan berlakunya P3SPS antar-penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya, penyelenggaraan penyiaran yang menggunakan internet tidak terikat dengan P3SPS dan tidak bisa ditindak apabila melakukan pelanggaran terhadap P3SPS.

Dalam  dalam UU 32 Tahun 2002, kata Pemohon, menentukan pengawasan setiap aktivitas penyiaran oleh KPI. Apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka hal ini akan membedakan pengawasan antar-penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya penyelenggara siaran yang menggunakan internet akan luput dari pengawasan KPI.

Menurut Pemohon, fungsi-fungsi penyiaran yang berbasis internet menimbulkan ketidakpastian hukum yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat, bangsa dan negara karena konten “Lembaga” penyiaran yang berbasis internet tidak bisa diawasi secara preventif (pencegahan). Oleh karena itu, pemaknaan legislasi terhadap penyiaran melalui internet merupakan implementasi fungsi stabilitatif bahwa hukum berfungsi sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam kemajuan teknologi.

Pemohon juga menyatakan bahwa  terdapat berbagai definisi mengenai konvergensi TIK dari berbagai Ahli dan pendekatan hukum konvergensi dalam konteks telematika di Indonesia yang dapat dipahami dengan menyatupadukan penerapan setidaknya tiga undang-undang agar dapat menjangkau konvergensi TIK yang hendak diatur, yaitu: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU 36/1999), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU 32/2002), dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE).

Ruang lingkup dan objek pengaturan dari masing-masing UU yang disebutkan di atas, secara prinsip sudah sesuai dengan peruntukannya masing-masing. Dalam konteks konvergensi tatanan hukum, menurut para Pemohon, penyelenggara penyiaran menggunakan internet sebagai penyelengara sistem elektronik pada dasarnya tunduk pada setidaknya tiga undang-undang tersebut. Terkait dengan subyek hukum dan pengaturan secara umum maka penyelenggara penyiaran menggunakan internet tunduk pada UU ITE sebagai penyelengara sistem elektronik. Terkait dengan pemanfataan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi, maka penyelenggara penyiaran menggunakan internet tunduk pada UU 36/1999. Sedangkan terkait dengan konten siaran yang dihasilkan, maka penyelenggara penyiaran menggunakan internet tunduk pada UU 32/2002.

Namun, dalam kenyataannya, masih ada Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 yang tidak applicable dalam merespon konvergensi TIK. Apabila Pasal 1 angka 2 tidak ditafsirkan mencakup penyiaran menggunakan internet, maka sulit untuk dapat menyesuaikan dengan konvergensi TIK. Tantangan konvergensi teknologi informasi dan komunikasi adalah menghilangkan sekat antara telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran, pendidikan, dan etika moral.

Menurut para Pemohon, perlu juga dibedakan antara penyelenggara sistem elektronik sebagai service provider dan penyelenggara sistem elektronik sebagai content provider. Sebagai service provider, penyelengara sistem elektronik tunduk pada UU ITE dan UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Sementara itu, sebagai content provider untuk aplikasi video conference, aplikasi film/video streaming berlangganan, serta aplikasi “televisi” streaming media sosial yang  banyak digunakan oleh individu, komunitas, korporasi, dan institusi seharusnya sebagai penyelenggara siaran melalui internet, tunduk pada UU 32 Tahun 2002.

Lalu, dengan adanya pemaknaaan baru terhadap Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002, menurut Pemohon, tidak akan menimbulkan perubahan terhadap jasa penyiaran dan lembaga jasa penyiaran karena tetap terdiri atas penyiaran televisi dan penyiaran radio. Lembaga penyiaran juga tetap terdiri dari 4 (empat) lembaga yaitu: Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas dan Lembaga Penyiaran Berlangganan. Oleh karena yang berbeda dari penyiaran menggunakan internet adalah metode teknologinya sehingga dapat saja penyelenggara siaran melalui internet dimasukkan ke salah satu atau lebih dari keempat jenis lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud sebagai salah satu pilihan metode platform yang dipergunakan. Begitu juga tidak akan ada perubahan mengenai perizinan, sebab sebagai penyelenggara sistem elektronik perizinannya tunduk pada UU ITE dan sebagai telecommunication service operator/provider rezim perizinannya tunduk pada UU 36/1999.

Menurut para Pemohon, walaupun terkait dengan penyelenggaraan sistem elektronik secara umum telah diatur dalam UU ITE, tetapi khusus untuk konten siaran, pengaturan dalam UU ITE belum cukup memadai. Alasan: Pertama, UU ITE hanya mengatur sebatas pada penyelenggaraan sistem elektronik dan belum menjangkau pada aktivitas penyiaran dan konten siaran karena tidak bisa menggunakan rezim UU ITE untuk melakukan kontrol terhadap aktivitas penyiaran dan konten siaran. Kedua, UU ITE merupakan instrumen hukum pidana, sehingga kurang tepat apabila digunakan sebagai sarana kontrol terhadap aktivitas penyiaran dan konten siaran. Mengingat instrumen hukum pidana merupakan ultimum remidium/sarana pamungkas. Ketiga, pengaturan di bidang penyiaran tidak hanya mencakup aspek represif (penindakan) tetapi yang lebih penting adalah aspek preventif (pencegahan), sementara di UU ITE hanya mengakomodir aspek represifnya saja.

Menurut para Pemohon, pembedaan-pembedaan yang timbul sebagaimana dijelaskan di atas membuktikan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

Begitu kiranya argumen dari para Permohon. Mereka memohon agar MK mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menyatakan Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “… dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran”, sehingga selengkapnya Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 akan menjadi berbunyi: “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.”

Untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan bukti surat atau tulisan dan mengajukan dua orang ahli bernama, Iswandi Syahputra dan Danrivanto Budhijanto, yang telah didengar dan dibaca keterangannya dalam sidang tanggal 1 Oktober 2020. Pemohon juga menyerahkan  kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 November 2020.

Sepanjang  proses persidangan, MK telah mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang tanggal 14 September 2020 dan membaca keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan MK pada tanggal 22 September 2020. MK juga telah mendengar keterangan Presiden (Pemerintah) dalam sidang tanggal 26 Agustus 2020 dan membaca keterangan tertulis Presiden yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 Agustus 2020 dan keterangan tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 2 November 2020. Selain itu, Mahkamah juga telah mendengar keterangan ahli yang diajukan Presiden (Pemerintah) yakni Adrian E. Rompis yang memberikan keterangan dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan Agung Harsoyo yang memberikan keterangan dalam persidangan pada tanggal 4 November 2020 serta kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 November 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara).

MK juga telah mendengar keterangan Pihak Terkait PT Fidzkarana Cipta Media dalam sidang tanggal 14 September 2020 dan membaca keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Agustus 2020. Selain itu Mahkamah juga telah mendengar keterangan ahli Ade Armando yang diajukan Pihak Terkait PT Fidzkarana Cipta Media pada persidangan tanggal 16 November 2020 serta kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 November 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara).

Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon bukti surat/tulisan dan keterangan para ahli yang diajukan para Pemohon, dan kesimpulan para Pemohon; keterangan DPR; keterangan Presiden, keterangan ahli yang diajukan oleh Presiden, dan kesimpulan Presiden; keterangan, bukti surat/tulisan dan kesimpulan Pihak Terkait PT. Fidzkarana Cipta Media, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:

Bahwa penyiaran dalam perkembangannya telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi yang strategis bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis, dan pemerintah. Terlebih lagi dalam perkembangan kekinian teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi dengan tuntutan yang semakin besar akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia karena informasi dianggap telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Oleh karena itu, penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum diharapkan semakin mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat tersebut dengan kualitas siaran dan keterjangkauannya sejalan dengan sistem penyiaran nasional yang harus tetap menjaga integrasi nasional dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Sejalan dengan sistem penyiaran nasional tersebut maka penyelenggaraan penyiaran harus pula mampu menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial (vide Pasal 1 angka 10 UU 32/2002). Hal ini yang menjadi salah satu dasar menimbang dibentuknya UU 32/2002 yakni penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa dengan berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab karena siaran yang dipancarluaskan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas ini memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak.

Penyiaran dalam UU 32 Tahun 2002 ditentukan sebagai kegiatan pemancarluasan siaran yang dilakukan dengan menggunakan spektrum frekuensi radio secara terestrial, kabel dan atau media lainnya, misalnya satelit, untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Prinsip keserentakan dan kebersamaan itu yang menunjukkan karakter komunikasi penyiaran secara doktriner bertipe synchronous, oleh karenanya komunikasinya bersifat real time karena berlangsung dalam waktu yang sama antara pengirim dan penerima siaran. Hal ini terlihat dalam sistem televisi free to air. Layanan penyiaran pun dibatasi yaitu hanya di televisi dan radio.

Selanjutnya, dalam penyelenggaraan penyiaran harus dilakukan oleh lembaga penyiaran sebagai subjek hukum yang berbadan hukum. Lembaga tersebut untuk dapat melaksanakan kegiatan penyiarannya harus memeroleh izin terlebih dahulu. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kegiatan usaha penyiaran bersifat eksklusif. Adapun lembaga penyiaran yang dapat menyelenggarakan penyiaran adalah Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), Lembaga Penyiaran Publik (LPP), dan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) yang berbadan hukum Indonesia di mana bidang usahanya khusus di bidang penyiaran dengan wilayah layanannya dibatasi sesuai dengan izin yang diberikan. Berkaitan dengan hal itu, kegiatan penyiaran oleh lembaga-lembaga penyiaran tersebut hanya dilakukan melalui infrastruktur yang dibangun dan/atau disediakan secara khusus untuk keperluan penyiaran. Dikarenakan penyiaran bersifat keserentakan dan bersamaan dalam siaran maka masyarakat hanya dapat memilih program siaran sesuai dengan program yang disediakan oleh lembaga penyiaran. Dengan demikian penyiaran bersifat one to many yakni penyalurannya bersifat masif didorong (push) dari suatu sumber (lembaga penyiaran) ke seluruh penjuru (pemirsa) secara serentak dan bersamaan waktunya. Artinya, masyarakat tidak dapat memilih waktu menonton program siaran karena penayangan program siaran sudah ditentukan oleh lembaga penyiaran yang bersifat satu kali dalam satu waktu (push service).

Bertalian dengan penyelenggaraan kegiatan penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran adalah dengan menggunakan spektrum frekuensi radio yakni gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan. Spektrum frekuensi ini diposisikan sebagai milik masyarakat atau ranah/domain publik karena merupakan bagian dari sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional. Oleh karena itu, pemanfaatan spektrum frekuensi radio harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sehingga penggunaannya harus dilakukan secara efektif dan efisien. Sebagai konsekuensinya pengaturan penyiaran dilakukan secara ketat dan rigid agar dalam perkembangannya tetap dapat menjamin terpenuhinya hak asasi manusia untuk mendapatkan informasi.

Pengaturan yang demikian ini senyampang dengan dasar pemikiran dibentuknya UU 32 Tahun 2002 yang menghendaki agar penyelenggaraan penyiaran harus: (1) mampu menjamin dan melindungi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis, termasuk menjamin kebebasan berkreasi dengan bertumpu pada asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum; (2) mencerminkan keadilan dan demokrasi dengan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban masyarakat ataupun pemerintah, termasuk hak asasi setiap individu/orang dengan menghormati dan tidak mengganggu hak individu/orang lain; (3) memerhatikan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara serta mempertimbangkan penyiaran sebagai lembaga ekonomi yang penting dan strategis, baik dalam skala nasional maupun internasional; dan (4) mampu mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel, satelit, internet, dan bentuk-bentuk khusus lain dalam penyelenggaraan siaran (vide Penjelasan Umum UU 32/2002).

Dalam konteks mewujudkan penyelenggaraan penyiaran dalam sistem penyiaran nasional maka diperlukan adanya sistem pengawasan penyiaran oleh kelembagaan independen yang melibatkan peran serta masyarakat yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar dalam penyelenggaraan penyiaran dapat dicegah terjadinya upaya konglemerasi sehingga isi siaran yang sampai pada masyarakat tidak dipengaruhi baik oleh pemerintah pusat, daerah, atau pemilik modal.

Dalam perkembangan penyelenggaraan penyiaran tidak dapat dipungkiri bahwa penyiaran saat ini berkembang seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang berbasis internet. Internet yang dimaksud adalah suatu sistem (arsitektur) jaringan komunikasi berbasis Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP) yang menghubungkan berbagai macam perangkat melalui jaringan telekomunikasi. Namun demikian, jaringan-jaringan komputer yang saling terhubung satu sama lain tersebut tidak bersifat serentak dan bersamaan dalam satu waktu saja karena prinsip teknis transmisi internet bersifat any to any, yaitu pihak manapun dapat mengirim dan/atau menerima/mengambil (pull) komunikasi tersebut dalam waktu kapanpun (vide Angka 5.1 Surat Edaran Menkominfo Nomor 3/2016).  

Dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi yang berbasis internet maka saat ini semakin marak dan eskalatif pemanfaatan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet yakni layanan OTT. Layanan OTT tersebut dapat diakses oleh pengguna layanan melalui jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet sehingga dapat diterima sesuai dengan permintaan, pilihan atau kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, secara doktriner layanan OTT merupakan komunikasi tipe asynchronous, berlangsung dalam komunikasi yang termediasi komputer (computer mediated communication). Layanan tersebut tidak terbatas hanya audio atau video saja tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti comment/chat dan menggunakan perangkat apapun sepanjang terkoneksi dengan internet serta mempunyai aplikasi yang dibutuhkan. Penyelenggara layanan OTT dapat perseorangan atau badan hukum yang apabila menggunakan sistem elektronik dan menyelenggarakan layanannya di Indonesia maka wajib mendaftarkan sistem elektroniknya pada pemerintah. Lebih lanjut, lingkup teritorial layanan OTT sebagai bagian dari kegiatan ruang siber (cyber space) tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu negara karena dengan mudah dapat diakses kapan pun dan dari mana pun (vide Penjelasan Umum UU 11/2008). Dengan demikian, jika kegiatan layanan penyiaran dilakukan melalui infrastruktur yang khusus untuk itu maka hal ini berbeda dengan kegiatan layanan OTT yang bergerak di atas jaringan telekomunikasi dengan menggunakan protokol internet dan aplikasi untuk mengaksesnya serta infrastrukturnya tidak terbatas hanya untuk layanan audio visual semata. Oleh karena itu, bagi masyarakat pengguna layanan OTT dapat mengakses layanan/konten dari platform OTT, memilih konten yang diinginkannya, serta menentukan waktu dan durasi untuk menonton layanan yang diakses secara berulang-ulang (pull service). Oleh karena itu kegiatan penyaluran layanan OTT bersifat privat dan eksklusif yang hanya dapat dinikmati layanannya dengan menyediakan anggaran oleh penggunanya dengan cara berlangganan baik langganan konten atau berlangganan internet.  

Dalam konteks penyediaan layanan berbasis internet ini dapat dibedakan antara layanan aplikasi melalui internet, layanan konten melalui internet, penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet (layanan OTT). Ketiga hal ini pengertiannya masing-masing secara doktriner berbeda. Layanan aplikasi melalui internet adalah pemanfaatan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet yang memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, dan daring percakapan (chatting), transaksi finansial dan komersial, penyimpanan dan pengambilan data, permainan (game), jejaring dan media sosial, serta turunannya. Sedangkan, layanan konten melalui internet adalah penyediaan semua bentuk informasi digital yang terdiri dari tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, permainan (game) atau kombinasi dari sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh (download) dengan memanfaatkan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet. Adapun pengertian penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet (Over the Top) atau layanan OTT adalah penyediaan layanan aplikasi melalui internet dan/atau penyediaan layanan konten melalui internet (vide angka 5.1 Surat Edaran Menkominfo Nomor 3/2016).

Selah mencermati uraian mengenai aspek-aspek terkait dengan penyiaran dan penyediaan layanan berbasis internet sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan rumusan pengertian atau definisi “Penyiaran” dalam Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 yang menurut para Pemohon inkonstitusional karena multitafsir apabila tidak diubah dan/atau ditambah pengertiannya dengan frasa “.…..dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran”.

Pertimbangan MK sebagai berikut: Bahwa Pasal 1 angka 2 UU 32  Tahun 2002 yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah bagian dari Bab Ketentuan Umum. Jika merujuk pada sistematika pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12 Tahun 2011), Ketentuan Umum suatu undang-undang pada dasarnya berisikan pengertian atau definisi yang akan menjadi rujukan keseluruhan substansi ayat, pasal atau bab suatu undang-undang (vide lampiran II UU 12 Tahun 2011). Adapun unsur-unsur pokok definisi “Penyiaran” dalam Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 adalah: (1) kegiatannya berupa pemancarluasan; (2) menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel dan/atau media lainnya; (3) diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Unsur-unsur ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh karenanya suatu aktivitas baru dapat dikatakan sebagai penyiaran jika memenuhi ketiga unsur tersebut. Oleh karena itu, apabila dilakukan perubahan terhadap pengertian atau definisi dalam “Ketentuan Umum” maka konsekuensinya akan mengubah secara keseluruhan substansi undang-undang, in casu UU 32/2002.

Terlebih lagi istilah penyiaran yang pengertiannya mendasarkan pada definisi Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 digunakan sebanyak 278 kali dalam UU a quo. Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar dalil para Pemohon yang menyatakan dengan menambah norma dalam pengertian atau definisi “Penyiaran” dalam Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 tidak akan mengubah pasal-pasal UU a quo sulit untuk dipahami, baik dari sisi teknis pembentukan peraturan perundang-undangan maupun substansinya. Karena, memasukkan begitu saja penyelenggaraan penyiaran berbasis internet dalam rumusan pengertian atau definisi “penyiaran” sebagaimana didalilkan para Pemohon tanpa mengubah secara keseluruhan UU 32/2002 justru akan menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum.

Terlebih lagi layanan OTT pada prinsipnya memiliki karakter yang berbeda dengan penyelenggaraan penyiaran konvensional. Hal ini berarti tidak dapat menyamakan antara penyiaran dengan layanan OTT hanya dengan cara menambah rumusan pengertian atau definisi “Penyiaran” dengan frasa baru sebagaimana yang diminta para Pemohon, karena internet bukanlah media (transmisi) dalam pengertian pemancarluasan siaran dikarenakan dalam sistem komunikasi dasar pada sistem komunikasi terdiri atas pemancar (transmitter), media atau kanal, dan penerima. Sementara itu, jika dikaitkan dengan frasa “media lainnya” yang dimaksudkan dalam pengertian Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 adalah terestrial (media udara), kabel, dan satelit. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam penyelenggaraan penyiaran yang dilakukan oleh LPB (vide Pasal 26 UU 32/2002) di mana penyelenggaraannya ditujukan untuk penerimaan langsung oleh sistem penerima penyelenggara siaran berlangganan dan hanya ditransmisikan kepada pelanggan (vide Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan).

Namun demikian, LPS dapat pula menyelenggarakan siarannya melalui sistem terestrial untuk klasifikasi penyiaran radio AM/MW, penyiaran radio FM, dan penyiaran televisi, di mana ketiga penyeleggaraannya dilakukan secara analog atau digital, serta penyiaran multipleksing. Sedangkan, penyelenggaraan penyiaran LPS dengan sistem satelit ditentukan untuk penyiaran radio dan televisi yang keduanya dilakukan secara analog atau digital, serta penyiaran multipleksing (vide Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta). Sementara itu, bagi LPK dalam menyelenggarakan penyiaran hanya melalui sistem terestrial dengan cakupan untuk penyiaran radio AM/MW, penyiaran radio FM dan penyiaran televisi, di mana ketiganya dilakukan secara analog dan digital (vide Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas). Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang menjabarkan lingkup media lainnya sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 dalam peraturan pelaksana maka media (transmisi) secara nirkabel pada pokoknya adalah satelit, bukan internet.  

Internet dan penyiaran konvensional adalah dua hal yang berbeda karena dalam internet terjadi suatu keterhubungan berbagai perangkat yang berbeda dengan basis protokol TCP/IP, sedangkan penyiaran merupakan kegiatan pemancarluasan siaran namun keduanya menggunakan media dalam penyaluran atau pemancarluasannya akan tetapi media lainnya yang dimaksud dalam kegiatan penyiaran bukanlah internet. Dengan demikian, ketidaksamaan karakter antara penyiaran konvensional dengan penyiaran berbasis internet tersebut tidak berkorelasi dengan persoalan diskriminasi yang menurut para Pemohon disebabkan oleh adanya multitafsir pengertian atau definisi “Penyiaran”. Terlebih lagi, Mahkamah telah berulangkali menegaskan mengenai batasan pengertian diskriminasi misalnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 028-029/PUU-IV/2006, bertanggal 12 April 2007 yang pada pokoknya menyatakan “…diskriminasi harus diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, kesatuan politik...”. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengertian atau definisi “Penyiaran” dalam Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 unsur-unsurnya tidak bersifat multitafsir karena menjadi basis pengaturan penyiaran konvensional. Oleh karenanya, tidak relevan menggunakan dalil diskriminasi terhadap perbedaan antara penyiaran konvensional dengan layanan OTT yang memang memiliki karakter berbeda. Sebaliknya, justru jika permohonan para Pemohon dikabulkan akan menimbulkan kerancuan antara penyiaran konvensional dengan layanan OTT.  

Dengan demikian dalil para Pemohon yang menyatakan pengertian atau definisi “Penyiaran” dalam Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 multitafsir yang menimbulkan adanya ketidakpastian hukum dan bentuk dikriminasi atas berlakunya norma pasal a quo sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum.  

Tentang dalil bahwa apabila penambahan rumusan pengertian atau definisi Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 tidak dikabulkan sebagaimana yang diminta para Pemohon akan menyebabkan terjadinya ketidakadilan karena penyiaran berbasis internet tidak ada pengaturan pengawasannya sebagaimana halnya penyiaran yang diawasi oleh KPI secara ketat. Ihwal demikian ini juga menimbulkan perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antara penyiaran dan layanan OTT. Terhadap dalil para Pemohon tersebut sebagaimana pertimbangan Mahkamah, ternyata terdapat adanya perbedaan karakter antara penyiaran konvensional dengan layanan OTT.

Dengan adanya perbedaan tersebut bukan berarti terjadi kekosongan hukum pengawasan untuk layanan OTT sebagaimana didalilkan para Pemohon karena pengawasan atau pengendalian terhadap konten layanan OTT yang ditransmisikan melalui sistem elektronik sejatinya tunduk pada ketentuan UU ITE. Dalam UU ITE telah ditentukan mekanisme pengawasan terhadap konten layanan OTT agar tetap sejalan dengan falsafah dan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945, Pemerintah, in casu Menteri Kominfo, memiliki kewenangan untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik (konten internet) yang muatannya melanggar hukum.

Hal demikian dilakukan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum yang lebih luas akibat adanya penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum (vide Pasal 40 ayat (2), ayat (2a), ayat (2b) UU 19 Tahun 2016). Bertolak pada ketentuan ini, penegakan hukum yang dilakukan atas pelanggaran konten layanan OTT tidak hanya ditekankan pada aspek represif (penindakan) sebagaimana dalil para Pemohon tetapi justru pada tindakan preventif (pencegahan) karena ketentuan Pasal 40 UU 19 Tahun 2016 sebagai perubahan atas UU 11/2008 justru meletakkan dasar-dasar tindakan preventif dalam rangka melindungi kepentingan umum yang lebih luas guna menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis sesuai dengan prinsip negara hukum yang dimaktubkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Sementara itu, pengawasan atas konten layanan OTT yang melanggar hukum merupakan bagian dari peran pemerintah dalam memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik agar dalam pemanfaatan teknologi tersebut benar-benar dilakukan berlandaskan atas asas kehati-hatian dan itikad baik (vide Pasal 90 huruf a UU 19/2016). Berkenaan dengan aspek pengawasan ini, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019) sebagai peraturan pelaksana UU ITE telah ditentukan lebih lanjut mengenai langkah-langkah melakukan pencegahan penyebarluasan dalam penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang (konten elektronik yang ilegal). Dalam konteks inilah, pemerintah dapat melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap konten elektronik yang ilegal (vide Pasal 90 huruf c dan Pasal 95 PP 71/2019). Pemutusan akses tersebut dilakukan terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan klasifikasi: (1) melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum dan (3) memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 96 PP 71/2019).

Ihwal tata cara mengajukan permohonan pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik telah diatur pula dalam Pasal 97 PP 71/2019 bahwa masyarakat dapat mengajukan permohonan pemutusan akses tersebut kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Selanjutnya, Kemenkominfo atau lembaga terkait berkoordinasi dengan Menkominfo untuk melakukan pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut. Selain masyarakat, aparat penegak hukum dapat meminta pemutusan akses, termasuk lembaga peradilan pun dapat memerintahkan pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dengan diputusnya akses tersebut maka penyelenggara sistem elektronik yang mencakup penyelenggara jasa akses internet, penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi, penyelenggara konten, dan penyelenggara tautan yang menyediakan jaringan lalu lintas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik wajib melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, sebagai bentuk dari penegakan sanksi administratif (vide Pasal 98 dan Pasal 100 PP 71/2019). Dengan adanya pengaturan sanksi administratif ini menunjukkan bahwa tidak ada persoalan kekosongan hukum pengawasan terhadap layanan OTT sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.

Selain sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada penyelenggara sistem elektronik, UU ITE juga menentukan bentuk sanksi pidana (ultimum remidium) kepada setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman. Termasuk perbuatan yang dilarang dan diancam pidana adalah tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan/atau tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. (vide Pasal 28 dan Pasal 29 UU 11/2008). Apabila tindak pidana menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak maka pemidanaannya diperberat dengan sepertiga dari pidana pokok. Pemberatan ini juga dikenakan kepada korporasi yang melanggar perbuatan yang dilarang dalam UU 11/2008 yang dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga (vide Pasal 52 ayat (1) dan ayat (4) UU 11/2008).

Selain pengawasan terhadap konten layanan OTT dilakukan berdasarkan UU ITE juga didasarkan pada berbagai undang-undang sektoral lainnya sesuai dengan konten layanan OTT yang dilanggar. Misalnya UU 36/1999 menentukan adanya larangan penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum dengan menentukan kewajiban bagi penyelenggara jasa telekomunikasi memblokir konten-konten yang melanggar larangan tersebut setelah diperoleh informasi yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan telekomunikasi tersebut melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum (vide Pasal 21 UU 36/1999). Tindakan ini dilakukan sejalan dengan asas yang melandasi dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang harus mendasarkan pada asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan pada diri sendiri. Dalam kaitan dengan asas etika menghendaki agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan dan keterbukaan (vide Pasal 2 dan Penjelasan UU 36/1999).  

Dengan demikian, penegakan hukum atas pelanggaran konten layanan OTT telah ternyata tidak hanya ditentukan dalam UU ITE dan UU 36/1999 tetapi juga didasarkan pada berbagai undang-undang sektoral lainnya yang berkorelasi dengan konten yang dilanggar sebagaimana telah ditentukan mekanisme penegakan hukumnya misalnya dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU 44/2008), Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU 7/2014), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU 40/1999).

Dengan telah ditentukannya aspek penegakan hukum atas pelanggaran konten layanan OTT dalam UU ITE, UU 36/1999 dan berbagai undang-undang sektoral baik dengan pengenaan sanksi administratif maupun sanksi pidana maka berlakunya Surat Edaran Menkominfo Nomor 3 Tahun 2016 yang substansinya mengatur larangan sebagaimana didalilkan para Pemohon adalah tidaklah dapat dibenarkan karena pengenaan sanksi sebagai bagian dari pembatasan hak asasi manusia pengaturannya harus dituangkan dalam undang-undang sebagai wujud representasi kehendak rakyat. Dimuatnya aspek larangan dalam Surat Edaran tersebut yang menyatakan larangan bagi penyedia layanan OTT untuk menyediakan muatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menimbulkan konflik atau pertentangan antar kelompok, antar-suku, antar-agama, antar-ras, dan antar-golongan (SARA), menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama; mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, kekerasan, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, merendahkan harkat dan martabat manusia, melanggar kesusilaan dan pornografi, perjudian, penghinaan, pemerasan atau ancaman, pencemaran nama baik, ucapan kebencian (hate speech), pelanggaran hak atas kekayaan intelektual (vide angka 5.6 Surat Edaran Menkominfo Nomor 3/2016), pada pokoknya merupakan substansi yang telah diatur dalam UU ITE, UU 36/1999, dan berbagai undang-undang sektoral sebagaimana diuraikan di atas.

Apabila Surat Edaran tersebut sesuai dengan maksud dan tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman kepada penyedia layanan OTT dan para penyelenggara telekomunikasi untuk menyiapkan diri dalam mematuhi regulasi penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet (OTT) yang saat ini sedang disiapkan oleh Pemerintah c.q Kemenkominfo serta bertujuan untuk memberikan waktu yang memadai bagi para penyedia layanan OTT untuk menyiapkan segala sesuatunya, terkait dengan akan diberlakukannya regulasi penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet maka untuk maksud dan tujuan yang demikian tersebut seharusnya substansinya dituangkan dalam peraturan pelaksana undang-undang. Atau, jika pembentuk undang-undang hendak mengatur secara komprehensif substansi penyiaran konvensional dan layanan OTT termasuk perkembangan kekiniannya dalam suatu undang-undang maka hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang sangat dimungkinkan mengingat saat ini UU 32/2002 telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 (vide Keputusan DPR Nomor 46/DPR-RI/I/2019-2020). Namun demikian, berkenaan dengan Surat Edaran a quo yang dipersoalkan oleh para Pemohon bukanlah merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya.

Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan tidak adanya tindakan preventif terhadap layanan konten ilegal karena tidak diaturnya dalam UU 32/2002 sehingga meminta Mahkamah untuk mengubah pengertian atau definisi “Penyiaran” agar terhadap konten ilegal layanan OTT dapat dikenakan tindakan preventif merupakan dalil yang tidak berdasar. Oleh karena itu, tidak ada persoalan konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 sepanjang berkaitan dengan dalil para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

Setelah menimbang semua argumen dan berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas,  MK berkesimpulan, antara lain, bahwa pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Maka, MK pun mengeluarkan Amar Putusan: Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.”

 

(Tamat)

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler