x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 19 Januari 2021 11:44 WIB

Blokir Akun Twitter Trump: Antara Kebebasan dan Kepentingan Publik

Langkah Trump adalah untuk memengaruhi publik, khususnya para pendukungnya, agar mendukung klaim-klaimnya bahwa ia telah dicurangi. Tindakan Twitter adalah untuk “menjaga keselamatan publik” dengan membatasi kebebasan berbicara individu. Apa yang lazimnya dilakukan oleh lembaga peradilan kini dapat dilakukan oleh perusahaan teknologi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Setelah para pendukung Donald Trump menyerbu Gedung Capitol dan menimbulkan kerusuhan di sana, perusahaan Twitter memblokir akun Trump. Cuitan Trump dianggap oleh pimpinan Twitter telah sampai pada titik di mana harus diambil keputusan untuk, dalam kata-kata CEO Twitter Jack Dorsey, “menjaga keselamatan publik”.

Trump memrotes tindakan Twitter itu dan menganggapnya sebagai mengekang kebebasan berbicara—bayangkan, Trump masih seorang Presiden AS ketika melancarkan protes karena merasa kebebasannya dikekang. Banyak pihak di AS menilai cuitan dan pidato Trump yang berulang-ulang mempertanyakan keabsahan hasil pilpres telah mendorong sebagian besar pendukungnya untuk percaya bahwa ia benar-benar telah dicurangi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun apakah hal itu cukup menjadi dasar bagi manajemen Twitter memutuskan untuk memblokir akun Trump, mula-mula untuk sementara waktu tapi kemudian secara permanen? Benarkah dengan menutup akun Trump berarti bahwa Twitter telah “menjaga keselamatan publik”? Atau justru Twitter telah mengekang kebebasan berbicara Trump?

Jack Dorsey agaknya menyadari adanya dilema ini. Dorsey berpikir bahwa tindakan Twitter memblokir akun Trump, yang notabene salah satu pemakai media sosial ini, sesungguhnya tepat, tapi sekaligus berpotensi menjadi preseden yang berbahaya. Fenomena Trump, di satu sisi, dan Twitter, di sisi lain, memperlihatkan betapa individu ataupun perusahaan bisa memiliki kekuatan atas percakapan publik global.

Langkah Trump adalah untuk memengaruhi publik, khususnya para pendukungnya, agar mendukung klaim-klaimnya bahwa ia telah dicurangi. Tindakan Twitter adalah untuk “menjaga keselamatan publik” dengan membatasi kebebasan berbicara individu. Apa yang lazimnya dilakukan oleh lembaga peradilan kini dapat dilakukan oleh perusahaan teknologi.

Baik Trump maupun [perusahaan] Twitter adalah bagian kecil dari percakapan global, tetapi keduanya membangun narasi yang memengaruhi percakapan itu. Trump menciptakan keriuhan melalui protes-protesnya, sedangkan Twitter setelah beberapa waktu akhirnya membungkam akun Trump dengan mengatasnamakan publik.

Perbedaan posisi Trump dan Twitter dalam hal ini tidak sepenuhnya hitam dan putih. Twitter telah membuat pilihan dengan berpihak kepada mayoritas di AS yang sepakat bahwa kemenangan Biden adalah absah. Bagaimana seandainya—ya, seandainya—Trump atau siapapun yang tidak didukung mayoritas itu namun sesungguhnya benar, akankah Twitter berpihak kepada Trump atau siapapun itu, ataukah Twitter akan tetap berpihak kepada mayoritas, sebab mayoritas itu lebih banyak dan lebih kuat?

Pada akhirnya, Twitter akan semakin sering dihadapkan pada soal-soal pelik semacam ini yang membuat perusahaan—dalam hal ini manajemen dan pemilik—harus menentukan pilihan di saat-saat kritis. Situasi ini berpeluang menyeret mereka yang berada di balik teknologi untuk terlibat, dalam arti membuat pilihan-pilihan yang kadang dilematis. Persoalannya ialah apa yang menjadi alasan mendasar perusahaan teknologi ini dalam membuat keputusan untuk memilih ini atau itu? Kepentingan publik atau kepentingan siapa? Kebenaran atau kekuatan? Yang kalah atau yang menang? Yang nirdaya atau yang digdaya? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler