The Last Words of Chrisye: Rahasia, Keputus-asaan, dan Kejayaan Sang Legenda

Sabtu, 27 Februari 2021 06:02 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penuturan Chrisye kepada Alberthiene Endah saat dia sakit dan berkeinginan menyusun biografi. Chrisye berkisah tentang keputusasaannya karena sakit dan hal-hal yang selama ini disimpan rapat sebagai rahasia. Chrisye juga menyampaikan tentang makna karier musikalnya, sahabat-sahabatnya dan makna kejayaan.

Judul: The Last Words of Chrisye

Penulis: Albertine Endah

Tahun Terbit: 2010

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama                                                                    

Tebal: 405

ISBN: 978-979-22-5655-0

 

Alasan Chrisye menulis buku adalah salah satu caranya bernyanyi setelah tak ada lagi panggung untuknya (hal. 33). Ketika keputusan untuk menulis buku biografi, Chrisye sudah dalam kondisi lemah karena tubuhnya digerogoti oleh kanker paru stasium 4. Albertine Endah (AE) terpilih untuk menuliskan pengalaman hidup (baca bermusik) dari Chrisye. AE mula-mula dihubungi oleh Raam Pujabi di hari pernikahannya. Kemudian Alex Kumara secara lebih serius mengajak AE dalam proyek menulis pengalaman hidup Chrisye tersebut. Sejak itu AE berkesempatan mewawancarai Chrisye di kamar tidurnya atau kadang-kadang di ruang tamu. Tergantung dari kondisi fisik Chrisye.

Proses penulisan biografi pun tidak mudah. Sebab Chrisye sudah dalam kondisi fisik yang lemah. Namun semangatnya yang tinggi akhirnya biografi tersebut bisa diselesaikan. Biografi Chrisye berjudul “Chrisye – Sebuah Memoar Musikal” akhirnya terbit. Tak disangka 40 hari setelah biografinya terbit, Chrisye tiada. Ya, Chrisye tiada. Ia meninggal pada tanggal 30 Maret 2007. Betul saja, keinginannya untuk terus bernyanyi terpenuhi melalui biografi yang ditulis oleh AE.

Buku ini adalah catatan-catatan AE dari proses wawancara dengan Chrisye selama setahun. Chrisye seperti menumpahkan segala hal tentang siapa dirinya. Ia mengungkapkan apa yang dirasakannya. Ia menyampaikan apa yang selama ini disimpannya begitu rapat, bahkan kepada Yanti istrinya (hal. 34). Jika dalam biografinya – yang juga ditulis oleh AE, Chrisye mengungkapkan hidup bermusiknya, maka di buku ini AE mengisahkan tentang napas batin yang mengitari wawancarannya, mengungkap yang tak tersurat tetapi tersirat dan menyampaikan gambaran nyata tentang oerjuangan manusia menyikapi vonis kematian (hal. 36).

Chrisye memilih ungkapan “sebuah era yang terasa gelap dan dingin” saat-saat setelah mengetahui bahwa ia mengidap kanker paru-paru stadium 4. Kekalutan itu dimulai pada tanggal 19 Juli 2005. Chrisye yang sedang dirawat di rumah karena megidap TBC tiba-tiba tak sadarkan diri. Setelah ditidurkan selama dua hari di RSPI, Chrisye dirawat di ruang UGD. Sampai akhirnya pada tanggal 31 Juli 2005 Chrisye dikirim ke Singapura untuk pemeriksaan lebih lanjut. Chrisye melaksanakan pemeriksaan rinci di Mount Elisabeth Hospital di Singapura. Dan, pada tanggal 1 Agustus 2005, akhirnya dokter Ang menyampaikan hasil biopsi bahwa Chrisye mengidap kanker paru-paru stadium 4 kankernya sudah menyebar. Perkiraan dokter bahwa Chrisye akan bertahan paling lama satu tahun. Walaupun dokter juga menyatakan bahwa sisa umurnya sangat tergantung dari kualitas hidupnya.

Emosi kecemasan dan ketakutan melanda Chrisye dan keluarganya. Mereka harus menerima kenyataan pahit dalam waktu yang tiba-tiba. Saat Chrisye dan anggota keluarganya tidak siap untuk menerima kenyataan tersebut. Saat-saat seperti itulah ide untuk menulis biografi Chrisye muncul. Ide itu muncul dari Alex Kumara sang sahabat.

Pemilihan AE sebagai penulis biografi Chrisye adalah sebuah keputusan yang sangat tepat. Sebab AE mempunyai banyak pengalaman dalam mewawancara narasumber yang sedang dalam kondisi bermasalah secara psikologi. AE pernah mewawancara ibu yang anak gadisnya yang masih kecil dibunuh. Ia pernah mewawancara korban bom dan sebagainya. Meski sudah mempunyai pengalaman mewawancara dalam kondisi sulit, AE merasa bahwa proses wawancara dengan Chrisye adalah sebuah proses yang sangat berat. Pertama, Chrisye adalah seorang introvert yang sulit percaya kepada orang lain. Kedua kondisi kesehatan Chrisye yang sangat buruk memperparah proses wawancara. Namun entah mengapa Chrisye begitu nyaman dengan AE.

Sekarang mari kita lihat bersama, apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh Chrisye berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh AE melalui seri wawancara tersebut?

Pertama, adalah perasaan “tak lagi penting karena tak bisa lagi bermusik.” Vonis kanker stadium 4 telah membuat Chrisye merasa tak akan bisa lagi menjalani kehidupan bermusiknya. Kehilangan karirnya karena sakit menjadi momok bagi Chrisye. Ia menjadi sangat apatis. Namun di saat itulah ia tersadar bahwa apa yang dimilikinya dalam bermusik itu belum diajarkan kepada orang lain. Itulah sebabnya ia ingin berbagi tentang music melalui buku yang akan ditulisnya (hal. 131).

Meski demikian Chrisye diliputi dengan keraguan yang luar biasa. Apakah bukunya akan ada yang membaca? Itulah sebabnya pada wawancara pertama, Chrisye menyampaikan kepada EA bahwa niatnya untuk menulis buku belum pasti. Di sini terlihat sekali bagaimana Chrisye begitu mencintai musik, tetapi sekaligus frustasi dengan kondisinya. Saat sakit Chrisye menjauhi musik, tidak mau menonton TV dan membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan musik. Pokoknya ia berusaha untuk melupakan identitas yang selama ini melekat kepadanya. Musik!

Chrisye mengungkapkan tentang masa kecilnya dan apa-apa yang selama ini dipendamnya. “Saya seperti diajak untuk menilik kembali hal-hal yang pernah terjadi, dan meninggalkan banyak emosi. Seperti ada yang membawa saya untuk melihat dan merenungi kembali masalah itu, di mana saja saya melakukan kesalahan, di mana saja saya melakukan kebenaran, dan di mana saja saya meninggalkan persoalan tanpa pernah menyelesaikannya,” demikian Chrisye mengungkapkan perasaannya saat akan menceritakan masa kecilnya (hal. 180). Chrisye menceritakan masa kecilnya yang bahagia. Ia mengagumi ayahnya sebagai ayah yang sempurna. Ia menyesal tidak bisa menjadi ayah seperti ayahnya.

Dalam wawancara ini Chrisye mengakui bahwa dirinya adalah keturunan Tionghoa. “Saya orang Cina. Ya, saya berdarah Cina. Dari ayah, juga ibu saya” (hal 196). Rahasia yang selama ini dipendamnya dan berusaha dilupakannya justru disampaikannya kepada AE untuk ditulis di bukunya. Ia berupaya menghilangkan ke-cina-annya karena pernah mengalami trauma di masa kecilnya.

Hal lain yang dikisahkan oleh Chrisye adalah tentang para sahabatnya. Orang-orang yang menurutnya sangat berjasa dalam kehidupannya. “Saya punya kesimpulan tentang persahabatan … Sebetulnya lebih dari separuh keberhasilan saya dibentuk oleh lingkungan pertemanan saya. Benar, saya memang memiliki modal suara yang kata orang, bagus. Saya juga punya konsep, punya niat dan semangat. tetapi jika tidak ada tangan-tangan yang menjamah saya dan ikut memberi pengaruh pada jalan musical saya, belum tentu hari ini saya menjadi Chrisye yang kamu kenal.” (hal. 225). Ia menyebut satu per satu orang-orang yang dianggapnya berjasa dalam hidupnya dengan detail kualitas teman-temannya tersebut.

Chrisye berupaya mencari sumber semangat dalam kondisi sakitnya. Ketika teman-temannya menggagas konser di Indosiar, ia mengupayakan supaya fisiknya cukup baik untuk melaksanakan gagasan konser tersebut. Ia kesakitan. Tapi dengan semangat ia bisa tampil di konser tersebut. Melaksanakan konser tersebut adalah sebuah perjuangan yang sangat berat bagi Chrisye. Tetapi konser tersebut juga memberi makna yang sangat besar dalam kesakitannya. Semangat.

Bagi Chrisye karier musiknya adalah sebuah anugerah. “Satu hal yang saya syukuri dari karier saya adalah karena Tuhan memberi kesempatan bagi saya untuk mencicipi semua fase.” (hal 320). Karier musik baginya adalah kehidupannya itu sendiri. Seperti dalam kehidupan, karier juga adalah proses take and give. Kadang ada persaingan. Baginya persaingan harus ditempatkan untuk mengupayakan karya terbaik. Bukan untuk saling membunuh karier. Sedangkan kejayaan dimaknainya sebagai sebuah rasa bahagia. “Bagi saya kejayaan adalah ketika seseorang merasa betul-betul bahagia degan apa yang diperbuatnya.” (hal. 339).

Apakah Chrisye merasa takut akan hari akhir? Ya dia merasa takut dan cemas (hal. 357). Namun saat-saat akhir hidupnya. “Hal yang paling tepat yang harus saya lakukan adalah menikmati saja ketenangan sebelum Tuhan memanggil saya.” (hal 360).

Chrisye wafat pada jam 4 pagi tanggal 30 Maret 2007. Tepat 40 hari setelah biografinya diluncurkan. Usaha Chrisye untuk berbagi tentang kehidupan musikalnya telah berhasil. Meski tidak melalui pita rekaman. Meski tidak melalui konser di panggung. Namun buku biografinya bisa menjadi cara bagi dia untuk berbagi tentang hidupnya. Selamat jalan Chrisye. Selamat menikmati kehidupan barumu yang penuh ketenangan. (577).

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler