x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 13 Maret 2021 18:55 WIB

Sisi Kemanusiaan yang Kita Lupa dalam Berpolitik

Kekuasaan memang penuh pesona. Dalam setiap periode politik lima tahunan, di sini, kita membiarkan diri terjebak dalam isu meraih kekuasaan dan atau mempertahankan kekuasaan. Ketika pemerintahan baru berjalan satu tahun, sebagian orang sudah sibuk merancang strategi memenangkan kompetisi 2024. Kasak-kusuk mulai berjalan meskipun kewajiban dan tanggung jawab kenegaraan belum lagi beres ditunaikan. Ironis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bila politik itu kotor, puisi membersihkannya

Jika politik itu bengkok, sastra meluruskannya

-- John F. Kennedy (1917-1963) 

 

Di saat inaugurasinya sebagai Presiden AS ke-35, pada Januari 1961, John F. Kennedy mengundang penyair Robert Frost untuk hadir. Meski sudah sepuh, usia 88 tahun, di hadapan khalayak Frost membacakan puisinya, The Gift Outright, dengan bersemangat:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

The land was ours before we were the land’s 
She was our land more than a hundred years 
Before we were her people
.

Dua tahun kemudian kedua orang itu berpulang: Frost pada Januari 1963, sedangkan Kennedy November pada tahun yang sama dalam usia 46 tahun.

Apakah puisi sanggup membersihkan politik yang kotor dan apakah sastra akan meluruskan politik yang bengkok? Kennedy mungkin sekedar ingin mengingatkan bahwa politik hendaknya tidak dilepaskan dari sisi-sisi kemanusiaan yang terdalam: keindahan, kesantunan, empati, dan kepekaan hati. Janganlah politik menjadikan manusia terpaksa menanggalkan kemanusiaannya demi meraih yang diinginkan. Puisi Frost memberi sentuhan kemanusiaan.

Namun kuasa memang penuh pesona. Dalam setiap periode politik lima tahunan, di sini, bukan di negerinya Kennedy, kita membiarkan diri terjebak dalam isu meraih kekuasaan dan atau mempertahankan kekuasaan. Ketika pemerintahan baru berjalan satu tahun, sebagian orang sudah sibuk merancang strategi memenangkan kompetisi 2024. Kasak-kusuk mulai berjalan meskipun kewajiban dan tanggung jawab kenegaraan belum lagi beres ditunaikan—bahkan, nyaris-selesai pun belum. Kita mulai menimang-nimang tentang kemungkinan ini dan itu; berpaling ke kiri, bertukar pandang ke kanan.

Itulah daya pikat kekuasaan yang membuai sebagian orang—khususnya elite dan yang ingin naik kelas menjadi bagian dari elite politik, belum kelas negarawan. Mereka yang sedang berkuasa ingin mempertahankan genggamannya, sedangkan yang belum berkuasa ingin meraihnya. Apapun cara untuk meraih tahta akan dilakukan; dan ini bukan dongeng menjelang tidur. Kennedy ingin puisi membersihkan politik dengan menghaluskan hati pelakunya, mengasah rasa empatetiknya, dan menajamkan kepekaan nalar budinya—agar nilai-nilai baik kemanusiaan tak berkarat jadi legam.

Kita terlihat sibuk mengurusi peranti keras—infrastruktur, industri, perdagangan, pariwisata, dan seterusnya, namun kurang serius menangani peranti lunak manusianya: karakter, perilaku, cara berpikir, etika—segala sesuatu yang membuat kita jadi manusia, bukan yang lain. Hidup bermasyarakat terus berjalan tanpa kesantunan; bukan hanya caci maki, tapi juga fitnah, membalik kata dalam sekejap, ketidakjujuran, hingga ketidakpedulian yang kian dianggap sebagai hal lumrah di tengah hidup yang semakin sukar.

Jagat politik tak ubahnya tempat menumpahkan hasrat kuasa. Hasrat kuasa yang demikian besar telah membuat banyak orang gelap mata—melakukan apa saja yang bisa dilakukan agar hasrat terpenuhi tak peduli dengan kesantunan politik. Argumen dibangun untuk membenarkan cara yang melabrak aturan yang dibuat sendiri. Bila yang dominan menghendaki, dibuatlah pedoman: aturan bukanlah kitab suci yang tak bisa diubah; aturan dibuat manusia, bukan Tuhan. Bila yang dominan tidak menghendaki, dibuatlah pedoman lain: aturan itu dicoba saja dulu; cukup dibuat pedoman penafsiran, tak usah direvisi. Puisi ingin menghalau hasrat memanipulasi dan menajamkan rasa keadilan homopolitikus.

Lihatlah media sosial, yang kini menjadi pelantang suara politisi dan para pendukungnya. Medsos bukan lagi jagat virtual, melainkan jagat riil—di sini pujian dan cacian tumpah; dan itu bukan pujian dan cacian maya, melainkan nyata. Media sosial bagaikan rimba tempat menghamburkan sumpah serapah ketika gagal membangun percakapan argumentatif. Perselisihan di dunia maya menjadi kepanjangan tangan pertikaian di dunia nyata, dan sebaliknya.

Lantas apa yang hendak diteladani oleh rakyat bila tindak-tanduk politik kaum elite bagaikan tanpa kendali?

Masyarakat kita miskin keteladanan: mereka yang disebut atau menyebut diri pemimpin melakukan apa saja yang mereka sukai karena merasa tidak akan ada orang yang sanggup menghentikannya, tidak ada orang yang mampu menyentuhnya. Elite semakin sukar dipegang kata-katanya: bermain lidah, berkelit, bersiasat, menelan ludah, sehingga kata-kata kehilangan bobotnya lantaran begitu mudah meluncur dari mulut dan segera menguap ke udara.

Di saat seperti itu, kita rindu pada percakapan yang bermartabat, pada narasi yang jujur dan beradab, pada diskusi yang berbobot, inspiratif, dan visioner. Mengembalikan kemanusiaan kita pada tempat yang selayaknya, inilah tugas mendesak yang jadi tanggungjawab bersama. Mumpung belum tergerus hingga tandas. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler